NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penyelidikan

“Mbak, beneran pakai Indo Contractor buat bangun rumah ini?” Renaya mengulangi pertanyaannya, memastikan tak ada kekeliruan dalam jawaban yang Kinasih ucapkan barusan.

“Ada apa memangnya? Kenapa kamu nanya soal itu?” celetuk Bagantara, pria itu muncul dari arah tangga dengan kemeja rapi, aroma parfum maskulin menguar samar. Rupanya ia hendak berangkat kerja.

Renaya segera menoleh cepat, kakinya melangkah ringan menghampiri Bagantara. “Jawab saja, Mas,” pintanya datar namun sarat ketegasan.

Bagantara mengernyitkan dahi, tak menemukan alasan untuk mencurigai sesuatu. Ia hanya mengangguk santai. “Iya, memang pakai Indo Contractor buat renovasi rumah ini. Ada apa memangnya?”

Sudut bibir Renaya terangkat kecil, helaan napasnya terdengar lirih. Tangannya bergerak cepat mengaduk-aduk isi tas selempang yang ia bawa.

“Berarti ini punyamu, Mas Bas?” ujarnya sambil mengacungkan sebuah pulpen berlogo perusahaan yang ia temukan di kamar Sandrawi.

Kerutan di kening Bagantara semakin dalam. Ia mengambil pulpen itu dari tangan Renaya, memperhatikan logo yang terpatri jelas di sisi pulpen, matanya membaca pelan tulisan tipis di sana. Tapi ia tidak buru-buru menjawab.

“Kamu nemu pulpen ini di mana?” tanya Bagantara, tatapannya tak lepas dari Renaya, ekspresi wajahnya mulai berubah awas.

Renaya menarik sudut bibirnya, menyimpan sebersit senyum penuh tantangan.

Bagaimana ekspresi Bagantara bila ia tahu benda kecil ini ditemukan di kamar Sandrawi? Kita lihat saja.

“Seharusnya aku yang nanya, Mas. Kenapa pulpen ini bisa ada di kamar Sandrawi?” Suara Renaya mengeras, nyaris terdengar seperti interogasi.

Bagantara sempat diam, tubuhnya kaku sejenak. Wajahnya tampak netral, terlalu tenang hingga sulit terbaca.

“Oh, itu…” Bagantara mengusap rambutnya ke belakang, langkahnya bergeser perlahan menjauh dari dapur, menuju ruang tamu.

“Itu cuma hadiah dari perusahaan. Aku dapet beberapa. Waktu itu Sandrawi sempat minta satu,” jawab Bagantara, nadanya ringan seperti ingin menutup perkara. Namun bagi Renaya, semua itu justru terdengar terlalu mudah.

“Boleh aku lihat sisa pulpennya?” pinta Renaya dengan nada mengunci, menuntut bukti konkret dari ucapan Bagantara.

Bagantara mendecak kecil, melirik sekilas jam tangannya yang melingkar di pergelangan.

“Maaf, Ren. Aku buru-buru banget,” dalih Bagantara, hendak melangkah pergi.

Namun Renaya lebih gesit. Tubuhnya melangkah cepat, menutup akses pintu, menghalangi Bagantara yang hendak berlalu.

“Ada apa sebenarnya ini, Mas? Apa Mas terlibat dalam kematian Sandrawi?” Nada suaranya tajam, matanya menusuk. Pertanyaan itu menghantam dada Bagantara, membuat pria itu sedikit menggeliat gugup.

Bagantara lebih dulu memalingkan pandangan, menghindari kontak mata dengan Renaya.

“Terlibat apanya? Semua orang juga tahu kalau adikmu itu memang bunuh diri. Kamu nggak baca surat yang Sandrawi tinggalkan?” jawabnya santai, seolah kalimat itu tak mengandung luka.

Renaya mengerjapkan mata, dadanya berdebar keras. Ia terkekeh pelan, bukan karena geli, tapi karena kalimat Bagantara menyelipkan kejanggalan. Bagaimana bisa Bagantara tahu tentang surat itu? Padahal yang tahu hanyalah dia, Adibrata, dan Yudayana.

“Dari mana Mas tahu soal surat itu?” Renaya menyipitkan mata curiga. “Jangan-jangan Mas Bas yang bantuin Sandrawi nulis surat itu?” tudingnya tajam.

Adam’s apple Bagantara tampak bergerak saat ia menelan ludah. Tapi wajahnya tetap dipahat datar, terlalu lihai menyembunyikan gelagat.

“Jangan asal tuduh, Ren,” ucap Bagantara dingin. “Kamu kira aku nggak tahu soal surat yang kamu sembunyikan demi nyelametin harga diri adikmu itu, hah?”

“Udahlah, jangan mengait-ngaitkan sesuatu yang belum jelas. Lagi pula, pulpen itu gak cukup jadi bukti buat menuduh siapa pun. Faktanya, Bapak juga pakai kontraktor yang sama waktu bangun rumah,” ucap Bagantara santai, seolah ingin menutup percakapan.

Renaya menghela napas panjang, disertai dengusan kecil yang menguar dari bibirnya. Ada geli yang muncul, seperti menertawakan diri sendiri karena merasa dipermainkan oleh Bagantara. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu Bagantara bukan satu-satunya nama yang berkelindan dalam pikirannya. Ada Saras, dan juga Baskoro, yang sama-sama masuk dalam daftar kecurigaannya.

Dengan gerakan cepat, Renaya merampas kembali pulpen itu dari tangan Bagantara. Matanya menatap tajam, penuh janji akan kebenaran yang suatu saat akan terkuak.

“Pulpen ini memang belum cukup jadi bukti, Mas. Tapi kalau suatu hari aku temukan bukti yang lebih kuat, bersiaplah… siapa pun yang terlibat dalam kematian Sandrawi pasti bakal aku bongkar!” suaranya datar namun tegas, membawa tekanan dalam setiap katanya.

“Maksudmu apa? Kamu lagi ngancam aku, ya?” Bagantara merenggut pergelangan tangan Renaya, matanya melirik ke belakang, memastikan Kinasih tak mendengar percakapan mereka.

Namun Renaya hanya menggeleng ringan, menyunggingkan senyum tipis yang tak kalah menekan.

“Gak usah merasa terancam kalau memang gak ada apa-apa, Mas,” balas Renaya pelan, tapi cukup tajam untuk membungkam Bagantara yang mendadak bungkam.

“Mbak! Aku pulang dulu ya!” seru Renaya, melongokkan kepalanya ke ruang makan tempat Kinasih berada.

“Loh, gak makan dulu?” sahut Kinasih dari arah dapur.

Renaya menggeleng, menahan senyum. Pada akhirnya, ia memilih untuk tidak mengadukan perihal Saras kepada Kinasih. Tapi setidaknya, kedatangannya hari ini tak sia-sia. Ada titik terang yang mulai menyibak tirai misteri tentang kematian Sandrawi yang selama ini ia rasa janggal.

......................

Sementara itu, di ruang tamu, Baskoro tengah duduk bersama Saras. Wajahnya dipenuhi tanda tanya, suara nadanya berat kala melempar pertanyaan.

“Jelaskan ke aku… kenapa Renaya sampai nuduh kamu seperti itu?”

Saras hanya menggeleng. “Aku gak tahu, Mas… Tapi sejak dulu Renaya memang gak pernah suka sama aku. Wajar aja kalau dia fitnah aku kayak gini,” dalihnya, mencoba menahan rona gugup di wajahnya.

“Soal obat yang kamu kasih ke Ibu… boleh aku lihat?” pinta Baskoro tenang, namun sarat kehati-hatian.

Saras sontak bangkit dari duduknya, matanya melebar, nada suaRanya meninggi.

“Mas… Mas juga curiga ke aku?” tanyanya dengan nada getir.

“Bukan begitu,” jawab Baskoro, berusaha tetap kalem, “Aku cuma mau lihat obatnya aja.”

Namun mereka sama sekali tak menyadari, sosok Renaya sudah berdiri bersandar di ambang pintu. Matanya tajam, senyumnya menyeringai dingin menyaksikan percakapan itu dari balik daun pintu.

“Percuma, Pak,” celetuk Renaya, membuat keduanya menoleh terkejut. “Paling juga yang dikasih ke Ibu racun, bukan obat!”

Saras seketika berbalik, tatapannya menusuk.

“Jangan asal ngomong kamu! Mana buktinya, hah?!” bentaknya mulai kehilangan kendali, tapi suaranya terdengar gamang.

Renaya menyipitkan mata, lalu mendekat satu langkah.

“Kalau aku punya bukti, kamu siap masuk penjara?” tanya Renaya pelan namun menghantam telak. Saras terdiam. Bibirnya terkunci, tubuhnya gemetar tak mampu berkata-kata.

Saras menghentakkan kakinya kesal, lalu berlalu begitu saja melewati Renaya tanpa sepatah kata pun. Sementara Renaya tetap berdiri tegak, menatap punggung wanita itu sebelum akhirnya melangkah ke kamar sang ibu, disusul Baskoro yang berjalan perlahan di belakangnya.

“Masih mau percaya sama perempuan itu?” ucap Renaya tajam, matanya menyapu kondisi Ratih yang kian ringkih di atas ranjang. Tubuh sang ibu kian kurus, napasnya sesak, hanya terbaring lemah tanpa daya.

Renaya menggeser pandangannya ke sisi lain, menatap wajah Baskoro yang dipenuhi kekhawatiran. Ada secercah iba, namun tak bisa menghapus kekecewaan yang terlanjur mengakar di hati Renaya.

“Kalau dibiarkan terus begini, Bu Ratih bisa-bisa nyusul Sandrawi, Pak!” kata Renaya lantang, nadanya menahan amarah.

Baskoro sontak membalas tatapan putrinya dengan tatapan keras, suaranya meninggi. “Hush! Jangan asal bicara kamu!” tegurnya geram, tak terima dengan ucapan tersebut.

“Mulai hari ini, aku sendiri yang bakal rawat Ibu. Bapak sama Saras nggak usah ikut campur apa-apa lagi!” tegas Renaya tanpa bisa ditawar.

Baskoro hanya mengangguk setuju. Bagi dia, seharusnya memang begitu—Renaya sebagai anak kandung harusnya lebih banyak mengurus ibunya, bukan keluyuran dan pulang larut malam seperti sebelumnya.

“Terserah kamu sajalah. Yang penting, ibumu bisa cepat sehat!” ucap Baskoro, berusaha menahan ego yang masih mendesak di dadanya.

Renaya menyeringai tipis. “Ibu memang harus cepat sehat… supaya bisa segera tahu hubungan gelap Bapak sama Saras,” tukasnya menusuk tanpa ampun.

Baskoro hanya berdeham pendek, memilih pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Renaya segera menghampiri Ratih, duduk di tepi kasur. Kelopak mata sang ibu perlahan terbuka begitu menyadari kehadiran putrinya.

“Ren… obat Ibu mana?” lirih Ratih, suaranya nyaris tak terdengar.

Renaya tersenyum tipis, jemarinya menyisir lembut rambut kusut sang ibu yang tak sempat terurus beberapa hari terakhir.

“Mulai hari ini, Ibu nggak usah minum obat dulu ya… Rena mau lihat kondisi Ibu tanpa obat-obatan itu,” ucapnya lembut. Ia sengaja tidak menjelaskan alasan sebenarnya—tak ingin menuduh sebelum mengantongi bukti kuat.

Ratih hanya mengangguk pelan, matanya terpejam kembali. Hari itu, Renaya benar-benar mengambil alih seluruh perawatan sang ibu. Dari menyuapi makan, membersihkan badan, hingga mengganti popok karena Ratih sudah tak mampu berjalan ke kamar mandi.

“Gimana perasaan Ibu sekarang?” tanya Renaya lembut, tangannya memijat kaki sang ibu dengan minyak oles.

“Entahlah… tapi rasanya Ibu agak mendingan dibanding tadi pagi…” lirih Ratih.

Jawaban sederhana itu cukup membuat dada Renaya menghangat. Keyakinannya semakin menguat bahwa Saras memang menyimpan niat buruk.

“Semoga besok Ibu lebih baik lagi ya, Bu…” bisik Renaya. Ratih mengangguk dengan senyum tipis penuh harap.

Malam harinya, Ratih meminta Renaya menyudahi kegiatannya. Ia sudah mulai mengantuk, tubuhnya terasa lebih ringan. Namun sebelum Renaya meninggalkan kamar, sang ibu sempat berpesan lirih.

“Ren… tolong panggilkan Bapakmu.”

Renaya mengangguk. Di ruang tamu, ia menemukan Adibrata sedang menatap layar laptop.

“Adib, lihat Bapak nggak?” tanyanya santai.

“Paling di rumah selirnya…” sahut Adibrata enteng, memastikan suara cukup rendah agar tak terdengar oleh sang ibu.

Renaya menghela napas berat, matanya berkilat kesal. Dengan langkah cepat ia melangkah keluar, langsung menuju rumah Saras.

“Bapak! Keluar, Pak!” teriaknya lantang dari halaman rumah Saras, mengundang perhatian para tetangga yang sedang duduk di teras mereka.

Di dalam rumah, Baskoro yang baru saja masuk lewat pintu belakang langsung kelabakan. Tubuhnya tegap namun pikirannya panik. Tangannya menyapu rambut yang mulai memutih, frustrasi dengan situasi yang semakin rumit.

“Hah… apalagi si bocah itu!” desis Baskoro geram, mendorong Saras menjauh dari pelukannya.

Memalukan, pikir Renaya. Istri sedang terbaring sakit, namun suami masih sibuk mencari pelukan perempuan lain. Tak tahu diri—tua bangka bau tanah!

“Pak, keluar!” teriak Renaya lagi, makin lantang. Para tetangga makin ramai memperhatikan.

Namun Baskoro bukan orang bodoh. Ia tak keluar lewat pintu depan, melainkan mundur lewat jalan yang sama, pintu belakang. Ia bergegas pulang tanpa sepengetahuan warga.

Meski begitu, Renaya sempat menangkap bayangan sang bapak melintas di belakang rumah Saras.

“Lihat saja, Saras… aku akan bongkar semua kelakuan busukmu,” bisik Renaya dalam hati, lalu melangkah pulang.

Di rumah, Baskoro sudah menunggunya dengan wajah merah padam. Adibrata memilih naik ke kamar, tahu benar suasana di bawah mulai memanas.

“Renaya! Kamu keterlaluan! Sengaja mau bikin Bapak malu di depan orang-orang, ya?!” bentak Baskoro keras, emosinya sudah mendidih di ubun-ubun.

Renaya memilih mengabaikan ocehan itu. Jemarinya sibuk menyusuri layar ponsel, menggulirkan galeri foto demi menemukan gambar yang sempat ia tangkap—gambar yang memuat Bagantara dan Saras dalam satu bingkai.

Baskoro yang melihat Renaya sibuk dengan ponselnya semakin naik pitam. Amarah menggelegak, menembus batas kesabarannya.

“Kurang ajar kamu, ya! Bapak lagi ngomong, kamu malah asyik main ponsel!” hardik Baskoro tajam.

Tanpa menunggu lebih lama, Renaya segera menyodorkan layar ponselnya ke depan wajah sang ayah. Gambar terpampang jelas—Saras tersenyum manis di sebuah ruangan, dan di sisinya berdiri Bagantara.

“Coba lihat baik-baik, Pak. Siapa yang ada di foto ini?” Suara Renaya tenang, tapi matanya menusuk tajam.

Baskoro memicingkan mata, mencondongkan badan untuk melihat lebih jelas. Dahinya berkerut perlahan, semakin dalam tatkala mengenali sosok pria dalam gambar.

“Bagantara…?” gumam Baskoro tak percaya.

Renaya mengangguk pelan, senyum tipis terbit di sudut bibirnya. “Bapak pikir, apa yang dilakukan menantu Bapak bersama Saras di tempat seperti itu?” ujarnya dengan penekanan.

Pertanyaan itu menusuk tajam ke hati Baskoro. Ia tercekat, lidahnya kelu. Pikirannya dipenuhi pusaran tanya yang menyesakkan dada. Renaya menarik ponselnya tanpa menunggu reaksi lebih lanjut. Kakinya melangkah ringan, meninggalkan Baskoro yang masih terpaku di tempat, dihantui pertanyaan yang tak mampu ia jawab.

Ada keinginan di dada Baskoro untuk langsung menyeret Saras dan meminta penjelasan, namun ia tahu—Ratih lebih membutuhkan kehadirannya saat ini. Pergi hanya akan membuat semuanya semakin berantakan.

Renaya keluar dari rumah, menyalakan motornya, mengarahkan kendaraan menuju satu nama yang muncul di benaknya, Yudayana. Malam itu ia mengenakan pakaian sederhana, menutup tubuhnya rapat-rapat. Ia tak mau kejadian tempo hari terulang kembali.

Baru saja hendak masuk ke dalam klub, langkah Renaya terhenti ketika berpapasan langsung dengan Yudayana yang tampaknya hendak pulang lebih awal.

“Loh, Yudayana… udah mau pulang?” sapanya, sedikit terkejut.

Yudayana mengangguk, bahu santai namun matanya memancarkan rasa ingin tahu. “Iya, Mbak. Malam ini saya pulang lebih cepat. Mbak Renaya ke sini ada urusan apa?”

Renaya menghela napas. “Ada yang mau aku obrolin sama kamu… penting,” jawabnya tanpa bertele-tele.

Yudayana mengangguk, mengarahkan langkah ke sebuah kafe kecil tak jauh dari tempat kerjanya. “Di sana aja, Mbak. Lebih tenang,” ujarnya.

Renaya menyetujui. Tak masalah baginya di mana pun asalkan tujuan malam ini tercapai.

“Begini, Yud… aku sudah tahu siapa pemilik pulpen yang aku temukan di kamar Sandrawi,” Renaya membuka pembicaraan setelah keduanya duduk.

Alis Yudayana terangkat, ketertarikan tergambar jelas di wajahnya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menunggu penjelasan.

“Punya siapa, Mbak?” tanyanya.

“Bagantara,” Renaya menjawab mantap. “Aku yakin, dia yang menulis surat itu dan berpura-pura seolah Sandrawi yang menulisnya.”

Yudayana bersandar, menatap kosong ke arah cangkir kopi di depannya. Segalanya mulai masuk akal. Kematian Sandrawi memang terasa janggal sejak awal.

“Kalau begitu… setelah tahu semua ini, Mbak mau ngapain?” tanyanya pelan.

Renaya menatap lurus ke depan. “Aku butuh bantuanmu buat cari bukti lebih kuat… Kamu bersedia, ‘kan?”

Yudayana menghela napas panjang. Ia berpikir keras. Kalau bukan ia, siapa lagi? Tapi ia juga tahu konsekuensinya.

“Maaf, Mbak. Bukan saya nggak mau bantu… tapi kalau saya yang turun tangan, Bagantara bakal langsung curiga. Dia sudah hafal wajah saya,” ujarnya jujur.

Renaya menepuk jidat, menyesali keteledorannya yang tak memikirkan hal itu sejak awal. Yudayana pernah dihajar Bagantara hanya karena mencium gelagat aneh—mustahil bisa menyelidik tanpa ketahuan.

Tiba-tiba Yudayana bersuara lagi, “Tapi… saya punya kenalan polisi, Mbak. Orangnya bisa dipercaya, saya yakin dia bisa bantu.”

“Mungkin kamu bisa hubungi dia sekarang?” Renaya menatap penuh harap.

Yudayana mengangguk, segera mengeluarkan ponselnya dari saku dan menghubungi seseorang. Tak lama, ia menutup telepon.

“Dia lagi patroli di dekat sini, Mbak.”

Renaya dan Yudayana menghabiskan waktu menunggu sambil memesan minuman. Beberapa menit kemudian, suara deru motor polisi terdengar. Seorang pria dengan seragam lengkap memasuki kafe, melangkah mantap ke arah mereka.

“Dodi, sini!” panggil Yudayana.

Renaya menoleh ke belakang, senyum telah siap mengembang di bibirnya untuk menyapa rekan Yudayana. Namun, begitu matanya menangkap paras pria itu, senyum itu langsung membeku, berganti tatapan terkejut.

“Kamu…!” desis Renaya tak percaya.

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!