"Aku nggak punya pilihan lain." ucap adel
"Jadi kamu memang sengaja menjebakku?" tanya bima dengan nada meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Bima membuka matanya perlahan. Kamarnya gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menyelinap melalui tirai jendela.
"Kok gue bisa tidur dikamar Adel sih?" Tanya bima, mengerjabkan matanya, kemudian melirik jam dinding.
Jam kini menunjukkan pukul 12 malam, bima menghela nafas kasar, mengalihkan pandangannya kedepan, kaos kaki dan sepatunya terlepas. Mungkin Adel yang melepasnya, pikir bima.
"Astaga! Kebelet kencing lagi!" Gerutu bima turun dari kasur beranjak keluar dari kamarnya.
Ia masuk kedalam kamar mandi, membuang air kecil, menuntaskan hajatnya.
"Lega juga! Huftt!" Bima menghembuskan nafas lega. Hendak melangkah, namun suara familirar terdengar, menghentikan langkahnya sesaat.
Suara desahan lembut memecah kesunyian malam. Awalnya, ia mengira itu hanya suara seseorang yang tengah menangis,
"Masa suara orang nangis sih?" Bima mencoba berpikir positif. Seiring berjalannya waktu.
suara itu terus terdengar, berulang-ulang, seperti bisikan yang memanggil.
Dengan hati berdebar, Bima menoleh kesumber suara, kemudian berjalan pelan ke arah sumber suara. Suara itu berasal dari kamar Adel, anak angkatnya yang berusia 18 tahun. Pintu kamarnya sedikit terbuka, memberikan celah kecil untuk mengintip.
'adel! Apa yang kamu lakukan!' batin bima syok, melihat Adel yang memainkan miliknya dengan jari. Mata anaknya itu merem melek, menikmati ritme permainan Solonya.
Bima menahan napas. Ia tahu ini salah, tapi rasa penasarannya mengalahkan akal sehatnya. Perlahan, ia mulai mendekat dan mengintip lebih dalam lagi melalui celah pintu.
Adegan yang ia lihat membuat jantungnya berdegup kencang. Adel sedang berbaring di tempat tidurnya, wajahnya memerah, bibirnya mengerang lembut. Tangannya bergerak di bawah selimut, dan Bima bisa menebak apa yang sedang terjadi. Ia merasa seperti terpaku, tak bisa bergerak, tak bisa berpaling.
"Daddy...shhhhh, Daddy mhhhhhh! Daddy bima, ahhhhh, ini nikmat sekali" desis Adel tiba-tiba, suaranya lembut namun jelas terdengar.
Bima terkejut. Ia hampir saja mundur, tapi kakinya seperti tertanam di lantai. Adel mengucapkan namanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak, seolah-olah ia sedang memanggilnya dalam mimpinya.
"Apa ini? Kenapa Adel menyebut-nyebut nama ku? Ada apa dengan dia? Aku baru kali ini melihat perempuan bermain sol*! Tapi, mengapa harus Adel!" Lirih bima kecewa dan janggal, bercampur menjadi satu.
"Ahhhhh, mas bima! Lebih dalam lagi, mas..... Membayangkan m*likmu menyentuhku, rasanya pasti nikmat sekali!" Des*h Adel mengganti penyebutan dari Daddy ke mas, sontak bima yang mendengarnya, hampir terjengkang dilantai.
'what? Ke-kenapa dia memanggilku mas.... Apa jangan-jangan...... Gak, gak mungkin dia......' batin bima tak bisa meneruskan lagi, sekuat apapun ia berpikir positif, tetap tak bisa. Suara Adel ketika menyebut namanya, terus terngiang-ngiang didalam benaknya.
'gak mungkin Adel menyukaiku! Dia hanya halusinasi! Dia hanya halusinasi!' batin bima mencoba terus menangkal.
Semakin lama mengintip, Bima merasa darahnya mendidih. Ia tahu ini salah, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa mengabaikan perasaan itu. Ia mencoba mengingatkan dirinya bahwa Adel adalah anak angkatnya, bahwa ini adalah batasan yang tak boleh dilanggar. Tapi godaan itu terlalu kuat.
Dengan hati yang berat, Bima akhirnya memutuskan untuk menutup pintu perlahan dan kembali ke kamarnya. Ia berbaring di tempat tidur, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Tapi gambar Adel, wajahnya yang memerah, suaranya yang mendesah, terus menghantui pikirannya.
"Adel! Ayah gak nyangka kamu melakukan tindakan itu," lirih bima mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Jika aku tinggal bersama dia terus, bisa-bisa aku kepancing dan melakukan tindakan diluar batas!" Ujar bima, berbaring memeluk Guling, mencoba untuk terlelap kembali.
Keesokan harinya, suasana di rumah terasa canggung. Adel duduk di meja makan, wajahnya tenang seperti biasa. Bima mencoba bersikap normal, tapi setiap kali pandangan mereka bertemu, ia merasa seperti ada sesuatu yang tak terucapkan menggantung di antara mereka.
"Ayah, kenapa diem-diem aja? Ayah baik-baik saja?" tanya Adel tiba-tiba, matanya penuh perhatian.
Bima mengangguk cepat, mencoba tersenyum. "Ya, baik. Kenapa?"
Adel mengangkat bahu. "Ayah terlihat agak aneh pagi ini."
Bima merasa dadanya sesak. Ia tahu ini tidak bisa terus berlanjut. Ia harus berbicara dengan Adel, tapi bagaimana caranya? Bagaimana ia bisa menjelaskan apa yang ia lihat tadi malam tanpa membuat semuanya menjadi lebih rumit?
"Adel," ucap Bima akhirnya, suaranya serius. "Kita perlu bicara."
Adel mengerutkan kening, tapi ia mengangguk. "Tentu. Ayah mah bicara apa sama aku?"
Bima menarik napas dalam-dalam. "Ayah.... tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi... Ayah mendengar sesuatu tadi malam. Dan aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat."
Adel terdiam sejenak, wajahnya berubah. Ia menatap Bima dengan tatapan yang sulit dibaca. "Apa yang ayah lihat?" tanyanya bingung, dengan perasaan was-was.
Bima merasa tenggorokannya kering. "Ayah melihat kamu... dan kamu mengucapkan namaku."
Adel menunduk, wajahnya memerah. Ia tampak malu, tapi juga ada sesuatu yang lain dalam ekspresinya. "Apa?" Pekik Adel, sedetik kemudian ia menggelengkan kepalanya, "mungkin ayah salah denger kali, Adel aja semalem tidur loh, masa ayah denger suara Adel sih yah?" Elak Adel, menahan nafasnya dengan keringat dingin yang mengucur dikeningnya.
Bima menghela napas. Tak menjawab pertanyaan Adel. Ia menggaruk kepalanya bingung, mana mungkin dirinya salah dengar, jelas-jelas ia mendengar dan sempat melihat, bagaimana Adel melakukannya.
"Masa sih aku salah denger?" Tanya bima tanpa sadar.
Adel mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. "Yah!" Panggilnya lirih.
Bima mengerutkan keningnya. "Ada apa?"
Adel menarik napasnya dalam-dalam, meremas jemarinya gugup, memberanikan dirinya dan menguatkan tekadnya. Dengan air mata yang menetes, ia menatap bima. "Yah! Se-sebenarnya, aku mencintai ayah! Bukan sebagai ayah, tapi sebagai seorang pria." Lancang Adel mengungkapkan perasaannya untuk yang kedua kali, tak peduli dengan wajah bima yang kini syok.
"Ahhhh, tidak mungkin! Tidak mungkin!" Bima malah tertawa.
"A-aku serius yah! Aku cinta sama ayah!" Ucap Adel dengan suara tinggi.
Bima menghentikan tawanya, ia menatap Adel tak percaya, seketika ia merasa hancur mendengar kata-kata itu. Kemudian ia tertawa keras, menggangap perkataan Adel barusan hanya candaan,
"Ayah kenapa ketawa?" Tanya Adel mengusap air matanya.
"Kamu ini lucu banget sih, Del! Kalo bercanda jangan gitu! Ayah gak suka!" ucap Bima akhirnya, suaranya tegas. "Kalo bercanda pilih-pilih dong Del! Kamu itu harus melupakan ini. Karena ini bukan candaan yang pantas! Kamu adalah anakku, dan aku adalah ayahmu. Itu saja. Ayah dan kamu itu, tidak lebih dari anak ayah! Hubungan kita hanya sebatas itu! Oke" jelas bima membuat hati Adel hancur berkeping-keping.
"Lupakan perasaan itu! Ayah tau kamu lagi bercanda! Dan ayah menggangap itu semua candaan! Karena ayah......" Lanjut bima menggaruk keningnya, bingung mau mengatakan apa.
Adel menatapnya dengan tatapan yang penuh keputusasaan. "Tapi aku tidak pernah bercanda yah! Aku tidak bisa, yah. Aku tidak bisa melupakan perasaanku. Ini perasaan serius! Kenapa ayah menggangap aku ini bercanda! Kenapa?" Teriak Adel tak terima dengan perkataan bima yang menggangap dirinya bercanda. Hatinya sakit sekali, air mata menetes kembali.
Bima terdiam, merasa seperti terjebak dalam dilema yang tak berujung. Ia tahu apa yang harus dilakukan, tapi hatinya memberontak.
"Udahlah bercandanya! Mana kameranya? Kamu lagi ngeprank ayah kan?" Tanya bima celingak-celinguk mencari kamera, berharap prank.
Adel mengepalkan kedua tangannya, memukul meja sangking kesalnya dan beranjak pergi meninggalkan bima dengan perasaan kecewa. Tak bisa dipungkiri ia kesal sama bima yang tak pernah serius dan selalu menggangap semua perkataannya sebatas candaan saja.
"Dia kenapa marah-marah sih? Aneh banget jadi anak!" Gerutu bima bangkit dari duduknya.
"Suka sama gue lah! Aneh-aneh aja nih anak gue! Gaje bener! Dasar bocah labil kamu nak!" Ejek bima pelan, nyengir.
Malam itu, ia berbaring di tempat tidurnya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Tapi gambar Adel, wajahnya yang memerah, suaranya yang mendesah, terus menghantui pikirannya.
"Setan lah! Pikiran gue kenapa jorok gini!" Gerutu bima, berjalan menuju kamar mandi, seperti biasa bermain solo disana.
Dan di kamar sebelah, Adel juga berbaring, matanya tertutup, mencoba melupakan perasaannya yang tak terbalas. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa cintanya pada Bima tidak akan pernah pudar.
'ayah kenapa gak peka-peka sih! Apa karena hubungan kita itu sebatas ayah dan anak?' batin Adel, sakit hati dengan bima yang menghubungkan ikatan ayah dan anak. Tak pernah menggangap lebih dari itu.
'apa karena ayah menggangap aku ini anak kecil? Yang gak pantes untuk dijadikan pasangan? Apa jangan-jangan ayah punya cewek baru? Lesa? Bianca? Atau siapa? Argggghhhh!! Pokoknya gue gak akan biarin siapapun Deketin dia! Kecuali gue doang!' batin Adel, meninju-ninju bantal, melampiaskan amarahnya.
Malam itu, rumah mereka dipenuhi oleh keheningan yang berat, seperti bayangan cinta yang tersembunyi, tak bisa dibalaskan oleh satu orang yang tak lain dan tak bukan, bima Erlangga.