NovelToon NovelToon
Dilema Raisa

Dilema Raisa

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Keluarga / Ibu Mertua Kejam / Pihak Ketiga / Chicklit
Popularitas:963
Nilai: 5
Nama Author: ayuwine

Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

07

Beberapa minggu setelah kejadian itu, baik Iwan maupun Raisa tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Atun. Motor yang selama ini sering diperebutkan keluarganya, kini dibawa Iwan dan disimpan di rumah mertuanya.

Senyum Raisa kini tak pernah luntur. Bahkan, ia sering bersenandung kecil saat memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, seolah menikmati semua itu.

Melihat itu irah sangat senang,dia tidak pernah lagi melihat air mata sang putri setelah berada di rumah nya.

"pak lihat putri kita,sekarang ibu tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah apalagi memasak. Semua dia yang kerjakan."ucap irah kepada suaminya.

"anak kita tiga bu ,tapi yang paling perduli yaitu raisa. bapak sangat beruntung memiliki putri seperti raisa, makasih ya buk sudah melahirkan nya kedunia ini."jawab roni yang membuat istrinya tersipu malu.

Raisa lahir dari keluarga yang harmonis. Bahkan, kedua kakaknya sangat menyayanginya. Namun, Irah selalu berpesan agar Raisa tidak melibatkan kakak-kakaknya lagi karena kini mereka telah memiliki keluarga masing-masing.

Raisa duduk di teras depan, menunggu suaminya pulang. Ia duduk di kursi dengan kaki menyilang. Kini, penampilannya lebih cantik dan anggun.

Setelah menerima penghinaan dari iparnya, Raisa mulai merawat diri lagi, seperti saat ia masih lajang. Suaminya kini benar-benar berpihak kepadanya. Bahkan, gaji yang biasanya habis untuk membeli bensin dan memperbaiki motor, kini utuh. Hidup Raisa terasa sempurna.

Saat Raisa sedang fokus menatap jalan, ponselnya berdering. Cepat-cepat ia mengangkatnya.

"Halo, Raisa. Bagaimana kabarmu?" sapa Sari, kakaknya.

"Baik, Teh. Teteh sendiri bagaimana?" balas Raisa.

Mereka berdua asyik mengobrol, tawa dan canda sesekali mewarnai percakapan mereka. Namun, perlahan Sari mulai menyampaikan maksud sebenarnya ia menelepon.

"Teh mau bilang sesuatu, Sa... Maaf kalau Teh kesannya kurang mengerti perasaan kamu. Tapi, sekarang istri Udin sedang mengandung. Kita semua diundang untuk syukuran di rumah Ibu," ucap Sari pelan.

Hening. Raisa terdiam, pikirannya bercampur aduk. Haruskah ia menolak atau menerima undangan itu? Di satu sisi, hatinya belum siap bertemu semua orang, tapi di sisi lain, ia juga tidak enak hati pada Sari, satu-satunya orang yang selama ini membela dan selalu ada untuknya.

Saat Raisa hendak menjawab, suara motor Iwan terdengar memasuki pekarangan rumah.

"Teh, sebentar ya. Suami aku baru pulang," ucap Raisa lirih sebelum akhirnya menutup pembicaraan dan bergegas menemui Iwan.

Raisa langsung menghampiri suami nya,tidak lupa dia meraih dan mencium tangan suaminya.

Iwan tersenyum manis,betapa bahagianya sekarang dia. Apalagi raisa yang semakin hari semakin cantik dan manis.

Raisa memang tidak berkulit putih. Namun, kulit sawo matangnya sangat cocok dengan parasnya.

"Siapa tadi yang menelepon?" tanya Iwan penasaran, karena dari kejauhan dia melihat istrinya berbicara lewat ponsel.

"Itu, Mas... Teteh mengajak kita untuk datang ke acara syukuran di rumah Ibu," jelas Raisa yang sibuk melepaskan jaket suaminya.

Iwan mengerutkan dahinya. "Acara apa?" tanyanya sambil memeluk pinggang ramping istrinya.

"risma hamil mas."jawab nya sambil tersenyum manis.

"Istri Udin mengandung?" tanya Iwan memastikan. Nadanya terlihat khawatir dan tidak senang.

Raisa memperhatikan ekspresi suaminya yang berubah menjadi murung dan tidak senang.

"Kenapa, Mas? Ada masalah?" tanya Raisa dengan dahi berkerut, heran.

"bagaimana udin bisa memiliki anak,sementara dia saja masih menganggur. Bagaimana dia nanti membiayai anak nya?"tanya iwan merasa heran,seolah-olah itu adalah beban baginya.

Senyum raisa menjadi luntur ,tangan suaminya yang masih memeluk pinggang nya dia lepaskan dengan paksa.

"kenapa kamu sampai memikirkan sejauh itu mas? Itu bukan urusan kita!" jawab riasa dengan tatapan berkilat marah, setelah mengatakan itu raisa pergi begitu saja meninggalkan suami nya yang masih diam mematung di luar.

"menyebalkan!"gumam nya dengan menghentak-hentakan kaki berjalan masuk kedalam rumah.

Iwan masih berdiri terpaku di teras, pikirannya melayang jauh. Rasa cemas makin memenuhi dadanya. Ia takut, benar-benar takut, jika Udin kembali menyusahkan semua orang.

Sudah bertahun-tahun Udin menganggur, tidak pernah mau berusaha memperbaiki hidup. Selalu saja Risma, istrinya, yang banting tulang kerja keras demi memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Iwan tahu betul itu.

"Risma tuh udah capek-capek kerja, Udin malah ongkang-ongkang kaki. Sekarang mau punya anak? Apa mereka pikir gampang?" gerutunya pelan, sambil mengusap wajahnya yang penuh kekhawatiran.

Iwan tahu Udin hanya beruntung dapat istri seperti Risma. Perempuan pendiam, mudah ditindas, dan selalu menuruti suaminya meski harus memeras keringat sendirian. Sifat Risma itulah yang membuat Udin menjadi semena-mena, merasa dirinya laki-laki paling berkuasa tanpa harus ikut berjuang.

Semakin dipikir, hati Iwan semakin berat. Bagaimana nanti jika Udin datang meminta bantuan? Bagaimana kalau Raisa kembali dikorbankan seperti dulu?

Namun, Raisa yang sudah terlanjur marah dan salah paham tidak pernah tahu isi hati Iwan.

Di dalam rumah, Raisa duduk di tepi ranjang sambil melipat tangan di dada. Wajahnya cemberut, kesal luar biasa.

"Masih aja mikirin kakaknya...," gumam Raisa pelan, matanya menerawang. "Aku kira sekarang mas Iwan udah berubah, ternyata masih juga mau ngurusin Udin."

Raisa menghela napas kasar. Dalam hatinya, ia kecewa. Dia merasa semua perjuangannya selama ini seperti tidak ada artinya, apalagi jika Iwan masih saja mau peduli pada kakaknya yang selalu menyusahkan.

Padahal, andai saja Raisa tahu, Iwan bukannya ingin membantu, tapi justru takut kalau mereka nanti ikut terbebani lagi.

Iwan, yang masih di teras, akhirnya menghembuskan napas panjang dan masuk ke dalam rumah. Ia tahu harus bicara dengan Raisa, tapi ia juga tahu, istrinya itu sedang marah dan salah paham.

"Aku harus cari waktu yang tepat buat jelasin semua ke Raisa...," batinnya.

Kini, dua hati itu sama-sama dipenuhi kegelisahan, hanya saja tak ada yang tahu apa isi hati masing-masing.

Raisa masih menggerutu di dalam kamar. Hatinya penuh dengan rasa kesal yang makin menjadi-jadi. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri, sementara pikirannya terus diselimuti prasangka.

"Kenapa sih dia harus mikirin Udin terus?!" gumam Raisa pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Dia tuh tahu, aku yang paling disakitin sama kakaknya sendiri. Masih aja mau peduli."

Tangannya meremas ujung baju yang dikenakannya sampai kusut, pelampiasan rasa marah yang sulit dia tahan.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar dibuka pelan. Iwan muncul dengan wajah lelah, tapi masih tetap menampakkan raut sayang pada istrinya.

Raisa langsung memalingkan wajah, pura-pura sibuk dengan lipatan kain di sampingnya. Wajahnya masam, tidak ada sedikit pun senyum.

Iwan mendekat perlahan, lalu duduk di sebelah Raisa. Tangannya terulur, mengusap lembut rambut sang istri yang mulai berantakan.

"Sayang..." panggil Iwan lirih.

Raisa hanya diam, meski hatinya bergetar karena sentuhan lembut itu.

Iwan menarik napas panjang, berusaha meredakan ketegangan. "Kamu salah paham, Sa. Mas bukan mau ngurusin Udin, apalagi peduli sama dia kayak dulu. Mas malah khawatir, takut dia nyusahin kita lagi."

Perlahan Raisa menoleh, menatap Iwan dengan mata yang sedikit memerah.

"Mas takut, nanti dia datang-datang minta bantuan. Kamu tahu sendiri, Risma aja kerja banting tulang, Udin cuma ongkang-ongkang kaki. Mas bukannya mau ikut campur, justru mikirin kamu... Mas takut kamu capek, takut kita jadi korban lagi," lanjut Iwan dengan suara pelan, penuh ketulusan.

Raisa tercekat. Ada rasa bersalah menyusup dalam dadanya. Ternyata selama ini dia salah paham.

"Jadi... mas nggak mau bantu mereka?" tanya Raisa ragu, suaranya melembut.

Iwan tersenyum kecil, mengelus pipi Raisa lembut. "Mas cuma mau jagain kamu. Nggak mau kamu terluka lagi karena Udin. Sekarang hidup kita udah cukup bahagia, kan? Mas mau itu terus ada. Kamu cukup mikirin mas aja, jangan yang lain."

Perlahan senyum muncul di bibir Raisa. Ia menunduk, malu sendiri karena terlalu cepat marah.

"Maaf ya, mas..." bisiknya pelan.

Iwan mengangguk, lalu menarik tubuh Raisa ke dalam pelukannya.

"Jangan minta maaf, sayang. Kamu kan istri mas, mas ngerti kok...," jawab Iwan sambil mengusap punggung Raisa bermaksud menenangkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!