NovelToon NovelToon
Godaan CEO Serigala Hitam

Godaan CEO Serigala Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Manusia Serigala
Popularitas:3
Nilai: 5
Nama Author: Lily Benitez

Saat tersesat di hutan, Artica tidak sengaja menguak sebuah rahasia tentang dirinya: ia adalah serigala putih yang kuat. Mau tak mau, Artica pun harus belajar menerima dan bertahan hidup dengan fakta ini.

Namun, lima tahun hidup tersembunyi berubah saat ia bertemu CEO tampan—seekor serigala hitam penuh rahasia.

Dua serigala. Dua rahasia. Saling mengincar, saling tertarik. Tapi siapa yang lebih dulu menyerang, dan siapa yang jadi mangsa?

Artica hanya ingin menyembunyikan jati dirinya, tapi justru terjebak dalam permainan mematikan... bersama pria berjas yang bisa melahapnya bulat-bulat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Benitez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 6

[POV RODRIGO]

Menjadi keturunan ras manusia serigala adalah tanggung jawab besar, terutama sebagai anak sulung.

Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik di akademi tempat kami dilatih, di mana kami sudah tahu siapa yang akan menjadi Alfa, Beta, atau Omega berikutnya.

Bersama temanku, Brandon, kami unggul dalam segala hal. Dia adalah satu-satunya orang yang aku percayai, yang mengenalku sejak kecil, dan tahu betul beban yang aku pikul.

Suatu hari, aku tenggelam dalam pikiranku saat melihat seorang wanita muda berambut putih menyeberang jalan tanpa melihat, sementara sebuah van melaju kencang ke arahnya. Tanpa berpikir panjang, aku keluar dari mobil dan melompat untuk menariknya ke sisi jalan.

"Harusnya kau lihat sebelum menyeberang!" aku menegurnya, tapi mataku terfokus pada air mata yang mengalir di pipinya.

Tatapan kami bertemu sesaat. Aku merasa lengannya menegang, dan aku menarik napas dalam untuk menenangkan diri.

"Apa yang kau lakukan jauh-jauh dari rumah sakit?" tanyaku, merasa kebingungan.

"Mengapa kau tidak di rumah sakit? Apa yang terjadi?" aku melanjutkan, mengarahkan dia ke mobilku untuk menjauhi jalan yang berbahaya.

"Nenekku... Dia tidak akan bersamaku lagi." Suaranya berbisik, matanya menatap tangan yang terus memutar gelang di pergelangan tangannya.

"Itu bukan alasan untuk bertindak ceroboh. Apakah kau tidak diajari cara menyeberang jalan?" Aku bertanya dengan sedikit kesal.

Aku tahu aku tidak bisa bersikap lembut saat berbicara dengan seseorang yang sedang berduka, namun aku tidak dibesarkan dengan cara itu. Di dunia kami, kami diajari bahwa emosi adalah kelemahan, dan keputusan harus diambil dengan kepala dingin, bukan hati.

"Itu tidak disengaja... Aku sudah terbiasa dengan desa," jawabnya dengan suara pelan, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi sambil melihat ke kejauhan.

"Aku akan mengantarmu kembali. Mereka pasti sedang mencarimu," kataku sambil menyalakan mesin mobil. Aroma khas dari tubuhnya tercium, segar dan alami, tidak seperti parfum yang biasa dipakai orang. Kami tiba di rumah sakit, dan aku turun untuk membukakan pintu untuknya.

"Artica! Ya Tuhan, kau membuat kami khawatir," seorang wanita berlari ke arah kami, terengah-engah.

"Aku menyelamatkannya dari tabrakan," jelasku dengan nada serius.

"Terima kasih telah menyelamatkannya," seorang pria muncul di belakang wanita itu, wajahnya tampak lega.

"Tenanglah," kata pria itu sambil memeluk Artica dan mencoba menghiburnya. "Nenekmu beristirahat dalam damai mengetahui bahwa kau akan bersatu kembali dengan orang tuamu... Kami akan membantumu," tambahnya.

"Jadi dia mencari orang tuanya," pikirku dalam hati.

Aku menyaksikan mereka membawanya pergi dan kemudian pergi mencari tas ibuku di ruang tunggu. Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan dokter yang merawat ayahku.

"Dokter, ibuku lupa tasnya," kataku padanya.

"Ah… ya… Aku baru saja ingin menelponnya. Ikutilah aku," jawab dokter sambil mengarahkanku untuk mengikuti langkahnya.

"Apakah anda tahu tentang gadis muda yang mendonorkan darah untuk ayah saya?" aku bertanya padanya.

"Ya… Sangat disayangkan. Neneknya meninggal. Sepertinya dia keluarganya satu-satunya, tapi keluarga Gutierrez akan merawatnya. Tn. Gutierrez dari kesatuan, dia yang menemukan mereka di tempat terpencil itu," jawab dokter itu sambil menyerahkan tas ibu kepadaku.

"Apakah anda tahu nama keluarganya?" tanyaku penasaran.

"Gadis muda itu?" tanya dokter itu, dan aku mengangguk. "Ah… Seperti… Lobos... Ya, seperti itu yang dokter Gustavo katakan padaku. Nama keluarganya Lobos," jawabnya.

"Terima kasih," kataku sambil berpamitan padanya. Saat berbalik, aku melihat keluarga Gutierrez sedang berbicara dengan Dokter Gustavo di ruang tunggu.

"Rumah duka akan mengurus pemindahannya. Anda hanya perlu menyerahkan surat-surat ini," kata dokter itu sambil menyerahkan beberapa salinan.

"Terima kasih banyak," kata Tn. Gutierrez.

"Artica, kami akan membawamu pulang. Ketika semuanya sudah siap. Kami akan memberitahumu," kata mereka padanya, dan aku melihat mereka pergi. Aku berpikir, aku harus bisa membantu menemukan orang tuanya, setelah dia membantu ayahku pulih. Aku segera menghubungi Brandon.

📱"Bagaimana keadaan ayahmu?" tanya Brandon begitu dia mengangkat telepon.

📱"Lebih baik... Dia sudah di rumah... Aku menelponmu untuk hal lain," kataku serius.

📱"Jika ini tentang gadis itu... Aku belum menemukan apa pun," jawabnya.

📱"Mari kita bertemu... Aku sudah tahu namanya," kataku, memberi tahu dengan yakin.

📱"Baik... Di mana?" tanya Brandon.

📱"Datanglah ke rumah," jawabku, lalu menutup telepon.

Brandon tiba di rumah sementara keluargaku sedang berbicara dengan ayahku di ruang tamu.

"Ini untukmu," kataku pada ibuku sambil memberikan tas ibu.

"Terima kasih... Apa yang terjadi?" tanyanya, melihat wajahku yang serius.

"Nenek dari gadis itu meninggal," jawabku tanpa membuang waktu.

"Yang mendonorkan darah itu?" tanya ayahku dan aku mengangguk.

"Kita harus memberikan penghormatan terakhir," kata ibuku dengan lembut.

"Aku akan mencari tahu di mana acaranya akan dilaksanakan," komentar ayahku.

"Halo semua," Brandon masuk ke ruangan menyapa setelah kepala pelayan mengizinkannya.

"Tuan… Bagaimana keadaan anda?" tanyanya pada ayahku.

"Baik... Apakah kalian akan pergi?" tanya ayahku.

"Untuk saat ini tidak, mari ke ruangan," kataku pada Brandon.

"Permisi," Brandon menyusulku masuk.

"Ceritakan padaku. Apa yang kau temukan?" tanya Brandon saat kami masuk ke ruang tamu.

"Kau tidak akan percaya saat aku menceritakannya," jawabku sambil menutup pintu.

"Cepat katakan padaku," desaknya.

"Apakah kau ingin makan di luar?... Dinding di sini seolah bertepat," kataku sambil tersenyum.

"Baiklah... Mari kita ke tempat di mana iga panggangnya tebal," jawabnya.

"Ke restoran pamanku," jelasku.

"Ke mana lagi?" tanyanya, penasaran.

"Tunggu aku berganti pakaian, setelah itu baru kita pergi," kataku padanya.

Setelah siap dengan kemeja dan celana panjang hitam, kami berpamitan pada keluargaku dan naik ke mobil.

"Lihat apa yang ada di kursi," kata Brandon sambil memberiku gelang milik Artica yang sepertinya jatuh dari pergelangan tangannya. Aku mengambilnya, melihat nama Artica terukir di sana, dan menyimpannya di sakuku.

Kami tiba di restoran dan saat masuk, pamanku menyambut kami dan mengantar kami ke meja.

"Lihat siapa yang datang." Muncul J.C. dengan empat anteknya. Aku menatapnya dengan marah, aku tidak tahan dengan kekurangajarannya.

"Kau membawa tameng. Apakah kau belum puas dengan yang terakhir kali?" kataku dengan acuh tak acuh sambil melihat menu.

"Kau beruntung, tapi kali ini kau tidak akan lolos." Dia meyakinkanku sambil meletakkan tinjunya di atas meja.

"Kalian sedang berada di restoranku. Kalian harus bertingkah sopan," tegur pamanku sambil menatap mereka langsung.

"Kami hanya sedang berbicara, Pak Cacho. Anda tidak perlu khawatir." Kata J.C.

"Aku sedang berpikir," Brandon berbicara seolah-olah sedang berbicara kepadaku, "bahwa J.C. berarti jelas-jelas pengecut karena membawa pengawal," katanya dengan seringai mengejek.

"Kau akan menjadi orang pertama yang akan kuhilangkan seringai bodoh itu." Dia meludahinya di wajah.

"Kita selesaikan lain kali. Sekarang kita akan makan," jawab Brandon sambil mempertahankan ekspresinya.

"Sekarang juga, mari kita ke tempat parkir!" Desak si idiot itu. Dia selalu mencari masalah dan selalu kalah, keras kepala, tidak pernah belajar bahwa dia tidak akan bisa melawan kami.

"Mengenalmu, pasti kau membawa sesuatu. Kau tidak pernah bermain adil, kau diusir dari akademi karena itu." Aku mengamatinya dengan ekor mataku.

"Ya... sangat mencurigakan... bahwa kau ingin melawan kami segera setelah melihat kami," tambah Brandon, menyandarkan sikunya di atas meja untuk menatapnya dengan tajam.

"Kalian pengecut. Kalian hanya bisa berkelit." Dia meludah dengan marah dan kami bisa mendengar geramannya.

"Kau tahu kau tidak bisa mengeluarkan binatangmu di depan manusia. Kau akan melanggar peraturan... dan kau bisa dipenjara karena itu," jelasku sambil berbicara dekat dengannya.

"Kau takut kalah dariku dan kehilangan posisimu. Jangan berlindung di balik aturan yang tidak masuk akal," katanya di telingaku.

Aku kesal dia mengatakan itu; aturan dibuat agar semuanya berjalan dengan baik atau kekacauan akan terus terjadi. Aku duduk tegak tanpa mengalihkan pandanganku darinya.

Brandon juga berdiri untuk mendampingiku dan memberinya pelajaran agar dia tahu di mana tempatnya. Dia tersenyum sinis seolah-olah dia yang akan menang.

Kami pergi ke tempat parkir di belakang restoran pamanku, tempat luas yang menghadap ke tepi sungai. Anteknya berdiri di belakangnya dan dia berjalan dengan penuh gaya.

"Serahkan padaku, aku yang akan mengurus si cantik," kata J.C. sambil menggertakkan gigi dan membuka kancing kemejanya.

"Dia sedang membicarakan aku atau kamu?" bisik Brandon padaku.

"Pasti dia sedang membicarakanmu," jawabku dengan nada mengejek.

"Cukup bicaranya! Mari kita mulai!" Teriak si brengsek itu dengan percaya diri. Tapi aku melihat ekspresinya tiba-tiba berubah saat dia melihat ke belakang kami dan mereka langsung berlari.

Brandon dan aku  berbalik dan melihat seekor serigala putih besar di tepi sungai yang menatap air dengan saksama, lalu menoleh ke arah kami. Hanya dengan sekali lihat, mereka langsung ingin menunduk. Saat itulah aku mengerti mengapa mereka melarikan diri.

"Dari mana asalnya?" Tanya Brandon dengan takjub. Aku seperti mengenali mata itu yang bersinar seperti cahaya bulan.

"Kejar si idiot itu dan pastikan dia tidak mengatakan apa pun," perintahku, mengacu pada J.C., jadi Brandon tanpa membuang waktu berbalik untuk mengejarnya dengan kecepatan penuh.

Aku mendekat dengan perlahan tanpa melakukan gerakan tiba-tiba dan berhenti pada jarak tertentu sambil menatap matanya.

"Malam ini indah dengan bulan, bukan begitu?" Aku bertanya padanya untuk menarik perhatiannya.  "Ehem... apa yang kau lakukan di sini?... ini bisa berbahaya."

Bagaimana aku bisa mengatakan itu? Aku idiot. Aku memarahi diriku sendiri dan tiba-tiba mendengar di kepalaku: "kau bukan idiot."

"?!"

Dia... bisa mendengarkan pikiranku? Bagaimana dia bisa berbicara padaku?

"Denganmu, aku bisa melakukannya," jawabnya dan aku melihat matanya berbinar aneh.

"Lepaskan apa pun yang mengganggumu, tidak ada orang yang boleh melihatmu seperti ini," kataku padanya dalam hati, dan tiba-tiba dia berlari menjauh. Aku berbalik dan melihat Brandon berlari ke arahku.

"Apakah dia sudah pergi? Aku sudah mengurus J.C.... dia tidak akan berbicara." Dia meyakinkanku.

"Kuharap kau tidak merusak wajahnya," kataku dengan nada mengejek.

"Tidak terlalu buruk... lagipula dia sudah jelek," katanya sambil tertawa. Kami kembali ke restoran dan melihat keluarga Gutierrez di sebuah meja.

"Selamat malam." Aku menyapa mereka dengan sopan.

"Selamat malam." Tuan Gutierrez menjabat tanganku. "kamu pemuda yang telah menolong Artica," katanya.

"Dan bagaimana keadaannya?" Aku bertanya.

"Itu dia... sedang mengawasi... dia tidak banyak bicara... tapi kau bisa melihat dia sedih, bisa dimengerti." Katanya, dan beberapa saat kemudian aku melihat Artica muncul.

"Artica... ini dia pemuda yang telah menolongmu hari ini," katanya. Dia menatapku langsung dengan mata yang menghipnotis itu.

"Kau sangat baik. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih." Katanya dengan perlahan.

"Silakan bergabunglah dengan kami," pinta wanita itu.

"Saat ini aku sedang bersama temanku." Aku menolak dengan sopan.

"Panggil dia... suruh dia datang juga," kata pria itu dengan ramah. Aku memberi isyarat kepada Brandon yang sedang duduk di tempat kami.

"Selamat malam," sapa Brandon dengan sopan.

"Silakan duduk," kata mereka, jadi aku duduk di dekat Artica.

"Kami keluar untuk membuat Artica merasa lebih baik," kata wanita itu.

"San restoran ini terkenal dengan porsi makanannya yang besar... dia suka daging," komentar pria itu, dan aku tersenyum sopan padanya.

'Dia bertanya padaku karena suatu alasan?' pikirku.

"tTdak ada yang salah dengan itu," aku mendengar di kepalaku dan berbalik untuk melihat Artica menatapku dengan saksama.

"Bagaimana kau bisa melakukan itu?" Aku bertanya padanya sambil menatapnya. Saat itu pelayan mengantarkan menu agar kami dapat memilih.

"Aku tidak tahu," jawab Artica, dan saat aku mengalihkan pandanganku, aku tidak bisa merasakannya lagi di kepalaku.

"Iga panggang," pesanku dan Brandon memilih yang sama.

"Sama untukku," katanya.

"Minumannya?" tanya pelayan kepada kami.

"Air tonik," jawabku dan Brandon menatapku dengan heran.

"Yang hitam," pesan Brandon seolah-olah ingin membuatku iri, si brengsek, dan dia menyeringai.

"Anda?" tanyanya pada keluarga Gutierrez.

"Daging dengan saus dan kentang goreng," pesan pria dan wanita itu.

"Anda, nona?" tanyanya sambil menatap Artica.

"Apa ini?" tanyanya sambil menunjuk menu.

"Khusus... ini steak daging sapi," kata pelayan dan dia mengangguk sambil memilih itu.

"Minumannya?" tanya pelayan padanya.

"Air saja," jawabnya.

Ponsel pria itu berdering dan dia meminta maaf lalu berdiri untuk menjawabnya. Sekitar sepuluh menit kemudian, makanan kami datang, dan pria itu kembali ke meja.

"Mereka barusan mengonfirmasi bahwa guci itu bisa diambil besok... jadi kita akan naik helikopter untuk menaburkannya di tempat mereka tinggal," katanya pada Artica, dan dia mengangguk sambil menghela napas berat. Dia makan perlahan, suap demi suap.

"Neneknya telah meninggal," jelas wanita itu padaku, "dan kami bertanya pada Artica apa yang ingin dia lakukan, maka kami memutuskan itu." Aku melihat dia memegang tangan Artica sebagai tanda kasih sayang.

"Jika tidak keberatan, kami ingin ikut. Ayahku sangat berterima kasih karena tanpamu dia tidak akan selamat," kataku dan melihat keluarga Gutierrez menatapku heran, sepertinya Artica tidak menceritakan apa pun pada mereka.

"Artica telah mendonorkan darahnya untuk ayahku. Dia mengalami kecelakaan dan jika saja tidak mendapatkan pendonor, dia tidak akan selamat," aku menjelaskan pada mereka.

"Kau tidak memberitahu kami apa pun," kata pria itu terkejut.

"Aku lupa dengan semua yang terjadi," jelas Artica.

"Tentu saja, berikan nomormu dan akan kuberi tahu jam berangkat kita," kata pria itu sambil memberikan ponselnya dan aku mengetikkan nomorku.

Setelah selesai makan, kami berpamitan. Aku menyadari suasana hati Artica; auranya tidak terasa, dia tampak redup. Yang membuatku gelisah adalah saat dia menatapku langsung, aku bisa mendengar apa yang aku pikirkan; kami bisa terhubung.

'Bagaimana mungkin?' aku bertanya pada diriku sendiri dan memutuskan untuk berbicara dengan ayahku.

"Hey, Pak Tua jadi dia yang mendonorkan darah untukmu. Sekarang aku mengerti bagaimana kau tahu tentangnya. Ada yang lain?" Bisik Brandon dan aku berbalik menuju mobilku tanpa menjawabnya.

"Jangan marah," katanya sambil tersenyum.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak," jelasku.

"Tenang, aku tidak berpikir apa-apa. Tidak mungkin aku melandaikanmu," keluhnya sambil duduk di kursi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!