Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Pemenang Sejati
Susan diam. Tubuh pria itu terlalu menggoda dengan dada telanjangnya. Seandainya Ethan pernah menyentuhnya seperti ini… Tapi pria itu selalu dingin.
Edward, di sisi lain, tidak akan pernah menolak kesempatan emas.
Susan menatap pria di atasnya, mengingat sesuatu yang membuatnya lebih percaya diri.
Operasi itu…
Sebelum Ethan jatuh koma, Susan telah mempersiapkan segalanya. Ia telah melakukan operasi peremajaan, memastikan bahwa tubuhnya sempurna dan suci saat menyambut Ethan. Ia ingin pria itu percaya bahwa ia adalah wanita yang polos, tak tersentuh, benar-benar layak menjadi istrinya.
Tapi ironisnya, Ethan bahkan tidak pernah tertarik untuk menyentuhnya.
Kini, justru Edward yang akan menikmatinya.
Susan tersenyum samar. Tidak akan ada yang tahu. Tidak akan ada yang bisa membuktikan apa pun.
Ia mengingat dengan jelas perkataan dokter plastiknya saat itu:
“Jangan khawatir, Nona Susan. Milik Anda bahkan bisa mengeluarkan darah ketika dimasuki.”
Darah perawan.
Itu cukup untuk membuat Edward tergila-gila.
Susan menatap Edward dengan sorot mata penuh keyakinan. Malam ini, pria itu akan jatuh lebih dalam kepadanya.
Edward menurunkan tali spageti baju tidur Susan, jemarinya menyelusup di balik kain satin yang tipis.
Ia tidak terburu-buru. Ia menikmati setiap detik kemenangan ini.
"Bolehkah aku?" tanyanya dengan suara serak, meskipun tangannya sudah bergerak lebih jauh dari sekadar meminta izin.
Susan menahan napas, lalu menutup matanya, membiarkan Edward mengambil alih segalanya.
Tak ada perlawanan. Tak ada penolakan.
Jika sebelumnya Susan selalu memberi "lampu merah" pada setiap godaannya, malam ini berbeda.
Ethan masih koma, tak bisa berbuat apa-apa.
Dan Susan, yang dulu begitu angkuh, kini tergeletak pasrah di bawahnya.
Buruan itu jatuh ke tangannya sendiri.
Edward tersenyum penuh kemenangan. "Aku tidak percaya… jika Ethan benar-benar tidak menginginkanmu dan menyentuhmu."
Jika wanita ini masih perawan… sungguh jackpot yang luar biasa.
Sebuah hadiah dari wanita yang membawa keberuntungan dalam kehancuran Ethan.
Edward tertawa kecil dalam hati.
Terima kasih, Anna. Kau telah membawa keberuntungan besar dalam hidupku.
Malam ini, Ethan kehilangan segalanya.
Dan Edward?
Ia mendapatkan semuanya.
Edward bagaikan serigala buas yang akhirnya menerkam mangsanya. Dengan gerakan cepat, ia menanggalkan gaun tipis Susan, menyisakan hanya bra dan celana dalam berwarna kulit. Mata tajamnya menelusuri setiap lekuk tubuh di hadapannya, penuh keserakahan.
Malam ini, ia akan menikmati sesuatu yang belum pernah disentuh siapa pun.
“Aku selalu tahu kau akan menjadi milikku, Susan.”
Susan hanya diam, membiarkan Edward menyebutnya miliknya. Kata itu terdengar lebih manis dibanding panggilan adik ipar yang selama ini ia dengar.
Ya, Edward… aku milikmu malam ini. Tapi setelah itu, siapa tahu?
Edward mencondongkan tubuhnya, tangannya bertumpu di belakang kepala Susan, menopang tubuh wanita itu saat bibir mereka bertaut. Ciumannya penuh dominasi, menuntut kepasrahan, tetapi Susan tetap diam.
Namun, Edward bukan pria bodoh.
Ia tahu kapan seorang wanita berpura-pura malu.
Bibirnya menggigit lembut bibir Susan, menunggu reaksi, lalu mengulum lebih dalam. Saat lidahnya menyusup masuk, Susan sedikit tersentak, namun tetap tak melawan. Tapi Edward bisa merasakan… tubuh wanita itu tak bisa berbohong.
“Jangan pura-pura malu, Sayang. Tubuhmu sudah memanggilku lebih dulu.”
Tangannya turun, menyusuri punggung Susan, melepas kaitan bra dengan cekatan. Kain kecil itu jatuh ke lantai, memperlihatkan dada telanjang Susan yang kini terekspos dalam cahaya redup.
Susan memejamkan mata, berpura-pura malu.
“Lihat aku, Susan.”
Suara Edward berat, bergema di telinga Susan. Wanita itu membuka mata perlahan.
“Aku ingin melihat wajahmu saat aku menaklukkanmu.”
Susan menelan ludah.
Menaklukkanku? Oh, Edward… kau yang akan jatuh lebih dulu.
Edward menjatuhkan handuknya sendiri, lalu menurunkan celana dalam Susan dengan gerakan cepat. Ia bisa melihat seluruh tubuh wanita itu kini terbuka di hadapannya.
Ia tersenyum puas.
"Bolehkah aku?" tanyanya, meskipun matanya sudah memastikan bahwa jawaban itu tak lagi penting.
Susan tidak menjawab, hanya menggigit bibir kecilnya, membiarkan mata mereka berbicara dalam keheningan. Itu saja sudah cukup.
Edward menundukkan kepala, mencumbu dada Susan, menyedot dengan kelembutan yang mengundang. Ketika lenguhan kecil akhirnya keluar dari bibir Susan, ia tahu…
Wanita ini sepenuhnya miliknya.
"Aku ingin mendengar lebih banyak suara itu, Sayang. Aku ingin kau memanggil namaku, bukan Ethan."
Edward mulai memasuki tubuh wanita itu.
Namun, ia tersentak.
Jalan masuknya… terlalu sempit. Terlalu rapat. Seolah ada penghalang yang menantangnya untuk menembus lebih dalam.
Dahinya berkerut, tangannya mencengkeram paha Susan lebih erat. Ia mencoba lagi.
Sial.
Kenapa rasanya seperti ini?!
Edward bukan pria pemula. Ia telah menaklukkan banyak wanita. Ia tahu bagaimana rasanya mengambil sesuatu yang masih baru. Tapi ini… ini terasa berbeda.
Terlalu ketat. Terlalu sulit.
“Astaga… Susan…” Napasnya memburu. “Kau benar-benar seperti perawan…”
Susan tersenyum samar, menikmati kebingungan pria itu.
Ya, Edward… aku perawan. Setidaknya, itu yang ingin kau percayai.
Edward semakin bersemangat, berkali-kali berusaha menerobos, tetapi berkali-kali pula gagal. Keringat mulai mengalir di pelipisnya. Ia menatap Susan dengan mata liar.
“Sial, kau benar-benar menggoda, Sayang…”
Ia tidak akan menyerah.
Ia mendorong lebih dalam—lebih kuat.
Lalu akhirnya, dengan satu gerakan penuh tenaga… penghalang itu jebol.
Susan menggigit bibirnya, menahan jeritan kecil. Edward terkesiap, merasakan sesuatu yang begitu luar biasa saat akhirnya menembus dinding ketat itu.
Dan kemudian, ia melihatnya.
Darah.
Tetesan merah yang jatuh menghiasi seprai putih di bawah mereka.
Matanya melebar, napasnya tertahan. “Susan… kau…”
Susan menoleh, wajahnya tersipu. Dalam hati, ia tertawa puas.
“Jangan khawatir, Nona Susan. Milik Anda bahkan bisa mengeluarkan darah ketika dimasuki.”
Susan mengingat kata-kata dokter plastiknya. Wajah Dokter terlihat tidak berbohong padanya. Itu nyata. Dan lihatlah, Edward benar-benar mempercayainya.
Pria itu terkekeh, wajahnya dipenuhi gairah yang lebih dalam. "Astaga, aku pria paling beruntung di dunia."
Edward mengusap wajahnya, lalu kembali menatap darah yang membasahi ranjang. Napasnya memburu, seakan baru saja menemukan harta karun terbesar dalam hidupnya.
"Sungguh… aku tidak akan menyia-nyiakanmu, Susan. Aku tidak akan membiarkan pria lain menyentuhmu."
Edward membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam, mencumbu leher Susan lagi, membisikkan kata-kata yang membuat wanita itu semakin terperangkap.
"Aku merasa seperti meniduri bidadari yang baru turun ke bumi."
Susan ingin bertepuk tangan untuk dokter plastiknya.
Tetapi ia memilih tetap diam, membiarkan tangannya membelai wajah Edward dengan lembut. "Setelah malam ini, kau harus berjanji hanya mengikutiku. Aku akan mengikutimu selamanya. Karena kau bukan lagi ipar… kau adalah suamiku kelak."
Edward terkulai lemas setelah melewati malam yang panjang, baru menyelesaikan pertempuran ketika fajar mulai menyingsing. Dalam setengah kantuk, tangannya masih membelai tubuh Susan, suaranya penuh obsesi.
"Kita harus bersatu dan membuang Ethan jauh-jauh dari hidup kita."
Susan tersenyum samar.
Ya, Edward… kita akan menyingkirkan Ethan. Tapi kau tak pernah tahu… aku juga akan menyingkirkanmu saat waktunya tiba. Jika kau berani berkhianat.
Malam ini bukan hanya kemenangan untuk Edward. Ini juga kemenangan untuknya.
Edward berpikir ia telah menang.
Tapi sebenarnya, Susan-lah yang keluar sebagai pemenang sejati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?