Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Perubahan Yang Baik
Keesokan harinya.
Seperti biasa, Herald berjaga di samping pintu kamar Clara. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda—dia sedang menunggu dengan penuh harap.
[Ayolah... di mana dia? Kenapa sampai jam segini belum kelihatan?]
Matanya terus tertuju ke ujung lorong, berharap sosok yang dinantikannya segera muncul. Biasanya, pada waktu seperti ini, dia sudah datang. Namun, kali ini tidak ada tanda-tanda kehadirannya.
Tak lama kemudian, suara roda berdecit di lantai terdengar. Dari kejauhan, seseorang tampak mendekat dengan membawa meja makanan. Itu adalah Susan.
Begitu melihatnya, wajah Herald seketika berbinar. Tanpa pikir panjang, dia segera beranjak dan melangkah cepat menghampiri Susan.
"Susan...!" panggilnya, melambaikan tangan dengan penuh semangat.
Susan mengangkat alis, sedikit terkejut melihat antusiasme Herald yang tidak biasa. [Ada apa dengan Tuan Herald? Jarang sekali dia menunjukkan ekspresi seperti ini.] Namun, ia tetap membalas lambaian itu dengan ramah.
"Selamat siang, Tuan Herald," sapanya dengan sopan.
Begitu mereka berdiri berhadapan, Herald langsung menyampaikan maksudnya. "Susan, bolehkah aku lagi yang membawakan makanan untuk Clara?"
Susan sedikit terkejut dengan permintaan itu. "Eh? Kamu ingin mengantarnya lagi? Apakah kemarin semuanya berjalan lancar?"
Herald mengangguk, matanya berbinar. "Ya, lumayan! Jadi, kupikir aku ingin melanjutkan ini sampai hubungan kami lebih baik lagi, hehehe," katanya santai, diakhiri dengan tawa kecil.
Susan menatapnya sejenak, lalu tersenyum. Dia bisa melihat ketulusan di mata Herald. Ini mungkin awal yang baik bagi Clara.
"Kalau begitu, baiklah," ucap Susan sambil menyerahkan meja makanan itu kepadanya. "Silakan, antar ke dalam."
"Terima kasih!"
Dengan hati ringan, Herald membawa meja makanan itu masuk ke dalam kamar Clara.
"Nona Clara...! Aku kembali membawakan makanan untukmu!" serunya ceria saat melewati ambang pintu.
Pintu pun tertutup di belakangnya. Susan yang masih berdiri di luar tersenyum kecil, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya.
[Nona Clara, semoga kali ini dia bisa menjadi teman yang selama ini kamu harapkan.]
**
Sesuai dengan rencana, mulai hari ini dan seterusnya, Herald akan bertanggung jawab membawakan makanan untuk Clara. Ada beberapa alasan mengapa ia rela melakukan ini.
Yang pertama, tentu saja, adalah menjalankan tugasnya sebagai pengawal yang dipercaya untuk mengakrabkan diri dengan Clara. Kedua, ini adalah kesempatan langka baginya untuk menikmati makanan berkualitas tinggi yang biasanya hanya disajikan untuk seorang putri Duke. Meski begitu, ia tetap sadar diri dan hanya akan meminta bagian jika memang diizinkan. Alasan terakhir—dan yang paling jujur—adalah untuk menghibur dirinya sendiri dan menghilangkan kebosanan.
Pada minggu pertama, rutinitas mereka berjalan seperti biasa. Herald menyuapi Clara dengan canggung, namun seiring waktu, kegugupannya memudar. Kini ia bisa menyuapinya dengan lebih tenang, meski Clara masih tetap tertutup. Gadis itu belum banyak menunjukkan emosinya, seolah masih menjaga jarak. Namun, Herald tidak keberatan. Ia tahu ini butuh waktu.
Memasuki minggu-minggu berikutnya, perubahan mulai tampak. Clara sedikit demi sedikit mulai menunjukkan lebih banyak ekspresi, sementara Herald mulai mengerjai gadis itu dengan keusilannya.
"Nona Clara, agak sedikit ke kiri. Sendoknya ada di sana."
Clara menggerakkan mulutnya ke arah yang dimaksud.
"Bukan, bukan, agak ke situ. Ya, ya, ya, maju sedikit. Eh, sekarang ke kanan."
Clara mulai mengerutkan kening. "Kanan?"
"Bukan, bukan kanan yang itu, tapi kanan dari sisiku."
Clara diam sejenak. Wajahnya tidak berubah, tapi ada hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Dalam hitungan detik, kakinya melesat cepat menerjang selangkangan Herald dengan tepat.
"Auuuuhh...!! Sakitnya...!!"
Herald terjatuh dari kursinya, terguling di lantai sambil mengerang kesakitan. Kedua tangannya refleks menutupi area yang baru saja ditendang. Sementara itu, Clara hanya tersenyum kecil, puas dengan apa yang baru saja terjadi.
"Itu hukuman untukmu," ujarnya santai. "Lain kali, suapi aku dengan benar, ya?"
Herald masih mengerang, namun akhirnya hanya bisa tertawa kecil dalam kepasrahannya. Gadis ini benar-benar diam-diam mematikan.
Hari-hari berikutnya, interaksi mereka menjadi lebih santai. Clara, yang sebelumnya lebih banyak diam, kini mulai berbasa-basi. Bahkan, percakapan di antara mereka semakin panjang dan penuh sindiran.
"Hei, Nona Clara, kau punya teman? Aku tak pernah melihat anak seumuranmu datang mengunjungimu."
Clara terdiam sejenak. "Tidak. Aku tidak punya teman."
Herald mengangkat alis. "Heh, jadi kau memang seorang penyendiri? Seperti yang kudengar dari para pelayan dan prajurit?"
"Hah? Siapa yang bilang aku penyendiri?! Katakan siapa! Lihat saja, aku akan melaporkan ini kepada Ayah dan mereka akan merasakan akibatnya!"
Herald tertawa. "Huaa~ lihatlah, ini si Tuan Putri pemarah."
Ia segera mundur, pura-pura menghindar. Namun, bukannya mereda, Clara justru semakin kesal.
"Penyendiri~ Penyendiri~ Penyendiri~" Herald terus menyindir dengan nada bernyanyi.
"Kau! Dasar pengawal tak tahu diri! Cepat kemari, aku akan memberimu hukuman!"
"Bleeeh! Tidak mau! Kalau mau menghukumku, tangkap aku dulu!"
"Hia!"
Mereka berlarian di dalam kamar, suara tawa memenuhi ruangan yang sebelumnya selalu sunyi. Clara, yang biasanya pendiam dan tertutup, kini tampak ceria. Senyum kecil—walau berusaha ia tahan—mulai terlihat di wajahnya.
Seorang gadis yang selalu menyendiri, kini perlahan menemukan seseorang yang bisa dia panggil teman. Clara ternyata bukan gadis yang dingin, dia hanya butuh kehangatan seseorang. Herald melihat sisi lain dari dirinya—gadis yang polos, mudah kesal, dan di balik semua itu, membutuhkan kebersamaan.
Sementara itu, di luar kamar, Susan tengah berjalan menuju ke sana dengan tujuan mengambil pakaian kotor milik Clara untuk dicuci. Namun, sesaat sebelum ia mengetuk pintu, suara gaduh dari dalam kamar membuat langkahnya terhenti.
[Tumben sekali kamar ini berisik?] pikirnya heran.
Perlahan, ia mengetuk pintu. "Tok, tok, tok. Nona Clara, ini saya, Susan. Saya ingin masuk untuk mengambil pakaian kotor Anda."
Tak lama, suara Clara terdengar dari dalam. "Iya, masuklah!"
Susan pun membuka pintu dan seketika tertegun. Di hadapannya, Clara dan Herald sedang bermain, berkejar-kejaran di dalam kamar. Mata Susan membelalak. Clara... tersenyum? Bahkan tertawa? Ini sungguh di luar dugaannya.
Apa yang terjadi? Ini bukan Clara yang kukenal! pikirnya, masih tak percaya.
Namun, lamunan Susan segera buyar saat Herald menoleh dan melihatnya berdiri terpaku di ambang pintu. "Susan? Kenapa diam di situ?" tanyanya.
"Eh? Tidak apa-apa! Silakan lanjutkan permainan kalian," jawab Susan tergagap.
Herald hanya mengangguk dan kembali fokus pada Clara. Namun, sebelum ia sempat bersiap, tiba-tiba sebuah tongkat mendarat tepat di punggungnya.
"Aduh, aduh, aduh! Oi, Clara! Jangan langsung memukulku seperti itu! Aku belum siap!" keluh Herald.
Clara hanya terkekeh, mengangkat tongkatnya lagi. "Ini hukuman untuk pengawal yang tidak tahu diri. Sekarang, terimalah hukuman selanjutnya."
Herald langsung berbalik, bersiap untuk menghindar. Susan hanya menggeleng pelan melihat keduanya, lalu mulai mengumpulkan pakaian kotor milik Clara.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya berhenti bermain. Susan yang telah menyelesaikan tugasnya kini hanya berdiri di sudut kamar, memperhatikan mereka berdua yang tengah makan. Herald menyuapi Clara dengan antusias, dan Clara menerimanya dengan tenang, tanpa protes. Pemandangan ini membuat Susan tersenyum kecil. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah menuju pintu.
"Nona Clara, saya akan keluar," katanya.
Clara menoleh sedikit. "Hm, baiklah. Terima kasih, Susan."
Susan tersenyum sebelum keluar dan menutup pintu pelan. Sambil berjalan menyusuri lorong, ia melirik ke luar jendela. Hari itu langit begitu cerah, dua ekor burung kecil bertengger berdampingan di dahan pohon, berkicau riang. Susan tersenyum lebih lebar.
[Tuan Herald, Anda sudah melakukan pekerjaan dengan baik. Sedikit lagi, dan Anda akan bisa membuat Nona Clara menunjukkan senyum indahnya sepenuhnya.]