Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggila
Di malam yang sunyi itu, ruangan bawah tanah di vila mereka dipenuhi aroma darah dan kemarahan yang dingin.
Vittoria selalu datang dan selalu membuat Valeria merasa terancam. Kesal, Valeria melakukan hal diluar dugaan.
Vittoria duduk di kursi kulit hitam, menyilangkan kaki dengan elegan, menatap Dante yang berdiri dengan rahang mengeras. Di sudut ruangan, salah satu tangan kanan Dante—Matteo—berlutut dengan tangan terikat, tubuhnya gemetar. Dia sudah lama mengabdi pada Dante, sosok yang ia anggap sebagai pemimpin yang tak tergantikan. Namun malam itu, ia menjadi pion dalam permainan kekuasaan yang jauh lebih berbahaya dari sekadar kesetiaan.
Valeria mengitari Matteo, gaun merah darahnya melambai, dan pisau emas di pinggangnya memantulkan cahaya. Tatapannya menusuk ke arah Vittoria, lalu ke Dante.
“Masih ingin mempertanyakan siapa yang paling pantas berdiri di sisimu?” tanyanya tenang.
“Valeria,” kata Dante, mencoba mengendalikan situasi. “Jangan lakukan ini. Matteo tidak bersalah.”
Valeria menoleh padanya dengan senyum yang tidak sampai ke mata. “Justru karena dia tidak bersalah. Karena ini bukan soal benar atau salah. Ini tentang aku dan kau, Dante.”
Dalam sekejap, ia menarik pisau emas dari sarungnya, dan sebelum siapa pun sempat bergerak, pisau itu sudah menancap di tenggorokan Matteo. Darah menyembur seperti lukisan brutal yang hanya bisa diciptakan oleh seorang seniman kegilaan.
Matteo tumbang. Suara tubuhnya membentur lantai bergema di ruangan.
Vittoria terdiam, ekspresinya tak terbaca. Tapi sorot matanya jelas—ada kekaguman... dan kewaspadaan.
Valeria menatapnya lurus. “Ini peringatan. Satu langkah lagi mendekat pada Dante, dan aku tidak akan sekadar menyentuh orang-orang di sekelilingnya. Aku akan datang langsung ke jantungmu.”
Dante berdiri membeku. Ia menyadari satu hal yang tak terbantahkan: Valeria tidak sekadar mencintainya. Ia memilikinya. Dan ia akan menghancurkan siapa pun yang berani menyentuhnya.
Termasuk masa lalu itu sendiri.
Dante melangkah pelan menuju tubuh Matteo yang kini tak bernyawa, darah masih mengalir pelan di sela-sela lantai marmer. Ia menatapnya sejenak, kemudian mengangkat kepalanya menatap Valeria.
Tidak ada kemarahan. Tidak ada teriakan. Hanya senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya—gelap, penuh kegilaan, dan cinta yang terdistorsi.
“Aku sudah kehilangan banyak hal dalam hidupku, Valeria,” katanya pelan. “Tapi malam ini, aku tahu satu hal dengan pasti.”
Valeria menatapnya tanpa berkedip, masih menggenggam pisau emasnya yang kini berlumur darah.
“Apa itu?” suaranya dingin, berjaga, seperti menantikan penghakiman.
Dante mendekat, membelai pipinya dengan jari yang masih terkena darah Matteo. “Aku lebih memilih kegilaanmu… daripada logika dingin yang dibawa Vittoria. Karena hanya kau yang membuat jantungku berdetak seperti ini.”
Vittoria berdiri, menatap mereka dengan tatapan yang tak bisa didefinisikan. Antara muak dan tertantang. Tapi ia tahu—ia kalah dalam permainan ini. Setidaknya, untuk saat ini.
Valeria menatap Dante, lalu perlahan tersenyum. Bukan senyum manis, melainkan senyum milik seorang wanita yang tahu ia baru saja menang. Wanita yang tahu bahwa lelaki paling berbahaya di dunia telah ia kendalikan sepenuhnya.
Dante mendekat, menarik pinggang Valeria dan berbisik di telinganya, “Kita akan membakar dunia bersama.”
Dan malam itu, mereka pun terkunci dalam ciuman yang tidak penuh cinta, melainkan penguasaan dan obsesi. Dua jiwa rusak yang tak bisa dipisahkan—karena mereka hanya bisa hidup dalam kehancuran, bersama.
Setelahnya, Vittoria pergi tanpa kata.
POV: Vittoria Moretti
Dia menatap mereka—dua jiwa yang bersatu dalam ciuman penuh darah dan kegilaan.
Valeria dan Dante.
Ciuman itu bukan sekadar luapan gairah. Itu pengumuman. Tanda kepemilikan. Tanda kemenangan.
Dan Vittoria merasa panas membakar dada.
Tangannya mengepal, kukunya menancap ke telapak hingga kulitnya memutih. Rahangnya mengeras, sorot matanya dingin, penuh kalkulasi.
Dia tidak buta. Dia tahu Dante adalah obsesi lamanya—tapi lebih dari itu, Dante adalah proyek. Lelaki sempurna yang dulu ia bentuk, ia kendalikan, ia latih untuk menjadi raja dunia bawah tanah. Tapi kemudian datang Valeria—saudara kembar yang tak diundangnya, liar dan penuh kekacauan.
Dan sekarang, sang raja yang ia ciptakan… berlutut pada ratu yang tidak ia pilih.
“Bodoh,” Vittoria membatin. “Kau jatuh cinta pada api yang akan membakarmu hidup-hidup, Dante.”
Dia memutar tubuh, menyembunyikan semburat emosi yang mulai menodai wajah dinginnya. Tapi pikirannya tetap berjalan, tajam dan sistematis.
Valeria mungkin menang malam ini.
Tapi ini bukan akhir.
Ini hanya awal dari permainan baru.
Dan tidak ada yang memainkan permainan lebih baik dari Vittoria Moretti. Tidak Valeria. Bahkan tidak Dante.
Dia berjalan perlahan menjauh, menyusun langkah demi langkah dalam diam, tapi dengan satu tujuan yang mengakar kuat: Menghancurkan mereka dari dalam.
“Mari kita lihat,” pikir Vittoria sambil menyeringai tipis, “seberapa kuat cinta kalian ketika aku mulai merobek lapis demi lapis kepercayaan itu.”
Malam itu juga, malam sunyi di villa Dante berubah menjadi mimpi buruk.
Valeria tak pernah mengira akan lengah. Tapi malam itu, saat dia sedang melukis di studio pribadinya—dalam keheningan dan aroma cat minyak—Vittoria bergerak seperti bayangan, memanfaatkan celah yang bahkan Valeria sendiri tak sadari ada.
Dengan metode yang halus dan presisi yang dingin, Vittoria berhasil menyusup.
Valeria sempat melawan, tentu saja. Tapi jarum bius di lehernya berkata lain.
Dan saat Dante kembali dari pertemuan singkat dengan mitra bisnisnya, studio itu sudah kosong.
Lukisan terakhir Valeria belum selesai. Warnanya masih basah. Tapi jejak sepatu yang samar di lantai, serta secarik kertas beraroma parfum lama—aroma yang pernah sangat dikenal Dante—mengungkap siapa dalangnya.
“If you want her back... forget her.”
Tertanda:
V
Sementara itu, di sebuah rumah tua di luar kota—sebuah tempat persembunyian yang hanya Vittoria ketahui, Valeria terbangun dengan tangan terikat dan pandangan kabur.
“Apa ini?” geramnya, suaranya serak tapi tetap menyimpan ketegasan.
Vittoria duduk tenang di kursi di depannya, menatap sang kembaran seperti cermin retak yang ingin ia hancurkan.
“Aku lelah bermain api bersamamu, Valeria,” ucap Vittoria pelan. “Dante bukan untukmu. Dia adalah bagian dari masa laluku. Kau hanyalah gangguan yang muncul di tengah rencanaku.”
Valeria tersenyum miring, meski wajahnya pucat. “Kau salah satu yang menciptakan Dante… Tapi aku yang membuatnya tetap hidup.”
Tamparan keras mendarat di pipi Valeria. Tapi dia tertawa.
Tawa itu—gila, meremehkan, dan tak takut mati—membuat Vittoria hampir kehilangan kendalinya. Tapi dia menarik napas, menahan emosinya.
“Aku akan menghapusmu, Valeria. Bukan dengan darah. Tapi dengan melunturkanmu dari kenangan Dante. Aku akan membuatnya percaya bahwa kau mengkhianatinya. Dan saat dia datang untuk membunuhmu, aku akan menontonmu hancur di matanya.”
Senyum Valeria perlahan memudar. Tapi tatapannya tak berubah.
“Kalau kau cukup pintar, Vittoria… Kau seharusnya tahu, Dante tak pernah percaya pada siapa pun. Kecuali aku.”
Dan di tempat lain, Dante mulai bersiap. Karena satu hal yang tidak boleh disentuh siapa pun di dunia ini adalah Valeria.