Aya tak pernah menyangka sebelumnya, sekalipun dalam mimpi. Jika kepindahannya ke kota kembang justru menyeretnya ke dalam kehidupan 'ibu merah jambu'.
Kejadian konyol malam itu, membawanya masuk ke dalam hubungan pernikahan bersama Ghifari yang merupakan seorang perwira muda di kepolisian. Suka duka, pengorbanan dan loyalitas menjadi ujian selanjutnya setelah sikap jutek Ghi yang menganggapnya pengganggu kecil.
Sanggupkah Aya melewati hari-hari yang penuh dedikasi, di usia muda?
~~~~~
"Kamu sendiri yang bilang kalau saya sudah mele cehkan kamu. Maka sebagai perwira, pantang bagi saya untuk menjadi pengecut. Kita akan menikah..."
- Al Ghifari Patiraja -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7# Welcome to the club
Untung saja Aya baru masuk 3 minggu yang lalu, jadi ia belum banyak mengenal teman, ia tak perlu repot-repot mengundang siapapun, terlebih pernikahan mereka ini cukup dibuat rahasia sampai tiba saatnya ia lulus sekolah nanti.
Meski begitu, cukup banyak tamu undangan yang mengisi setiap kursi salah satu gedung serbaguna megah di Bandung, terlebih mereka adalah petinggi kepolisian, rekan satu letting dan beberapa senior polisi, beberapa teman sekolah Ghi dan taruna di akpol serta kerabat dan teman dari kedua orangtua Ghi dan Aya.
Gerai background semi sutra sedikit berkilau ketika terhembus angin dan sorot penerangan. Puluhan karyawan catering berseragam putih berlalu lalang terorganisir di belakang area dari ballroom, dan dipastikan tak ada orang tak berkepentingan yang melintas selain dari tamu, keluarga, beberapa orang WO dan aparat. Bahkan tamu undangan yang hadir mendapatkan perlakuan yang sama di depan pintu masuk parkiran dan ruang gedung demi terciptanya acara yang lancar nan khusyuk.
Bunga aster, lily dan lavender menghiasi setiap sudut ruangan, belum lagi ribuan tangkai mawar merah dan putih seakan menjadi saksi betapa perfeksionisnya tante Rena dan pihak WO menciptakan suasana syahdu ini.
Sejenak tamu undangan terpukau dengan rumpun bunga wisteria berwarna ungu dan putih yang berada tepat di atas tengah ruangan, seperti sedang memberikan restunya untuk kedua calon mempelai. Dan semua wewangian alami ini bersatu dalam keindahan pernikahan Ghi dan Aya.
~ Aya~
Aya diam mematung di kursi ruangan, sesekali sapuan brush masih nakal disapukan si make up artis di kulit wajahnya yang mulus.
"Ck. Udah tante...eh om...jangan ketebelan nanti aku jadi kaya ban ciii..." ketusnya menolak, memancing bibir manyun si tukang make up, "sedikit neng, biar rata...takut kesapu angin nanti ngga perfect lagi..."
Ica tertawa dalam balutan make up serta kebaya berwarna senada dengan keluarga yang lain, marroon.
"Lo mirip tante-tante kak, make up-nya ketuaan..." cibir Ica langsung dideliki Aya dan ucapan sewot si MUA, ayolah yang benar saja! Aktris remaja mana yang belum pernah ia polesi wajahnya, mulut bocah satu itu minta di preteli.
"Sini gue sambelin mulut lo!" salak Aya yang hampir beranjak kalau bukan karena kain samping yang membelit bagian bawah badannya dan bagian kepala yang terasa seberat hukuman ngambilin rejeki anak yatim. Terang saja, sanggulan sepaket mahkota siger khas pengantin sunda dan ronce melati itu bikin ia berasa jadi manusia paling pendek dan rebahan di tanah.
Ica tergelak, "manten susah ngambek nih, ye...dah ah! Aku liat dulu ke depan, mau liat bang Ghi ijab kabul! Bye-bye!" pamitnya, sebelum nanti, siger itu mendarat di keningnya dari Aya.
Makin saja...meski diliputi kekesalan dan amarah tak kunjung usai, kini justru kecemasan lah yang mendominasi perasaannya, jantung Aya sejak tadi terpompa begitu cepat, bahkan derasnya da rah yang dipompa begitu cepat membuat desir hangat di sekujur tubuhnya, keringat sedikit demi sedikit membasahi telapak tangan meskipun itu tak terlihat mengingat tangan Aya yang dibalut sarung tangan tipis berbahan tile bermotif.
"Saya terima nikah dan kawinnya Umanda Ranaya binti....."
"Sah?!"
Helaan nafas Aya seperti tak bertuan, ia hanya begitu terkejut ketika seseorang mengetuk pintu ruangannya dan meminta ia untuk mengisi kursi di samping mempelai lelakinya, pertanda jika Ghi sudah mempersuntingnya dari ayah dan bunda, menjadikannya teman hidup dalam suka maupun duka di usia yang masih sangat muda.
Langkah kakinya terasa tak berpijak di muka bumi, entah apa rahasia Tuhan yang tak ia ketahui lagi setelah ini, bahkan Kinan saja tak Aya beri tau jikalau Aya sudah menjadi istri seorang anggota kepolisian hari ini.
Kebaya dengan model sabrina pilihan tante Rena menampilkan sisi lain seorang Umanda Ranaya, lekuk tubuhnya memperjelas aura gadis ranum yang mulai berjalan diapit bunda dan Ica di depan pintu ballroom.
Ditatapnya seisi ballroom yang sedikit riuh rendah terpukau melihat dirinya bersama suasana khusyuk nan mewah. Lantas kini pandangannya tertumbuk pada seorang pria dengan jas bergaya penguin serta dasi kupu-kupu dan tatanan rambut pendek rapi berpomade.
Sorot matanya berkaca-kaca antara takut, khawatir, sedih bercampur menjadi satu diiringi alunan musik menenangkan, menuntunnya untuk semakin mendekati Ghi.
Semakin lekat mata kelam itu menyergap Aya, semakin sesak dirinya bernafas diantara area penuh oksigen ini. Help me please! Mulut mungilnya sedikit terbuka dan menghela nafas rakus.
Garis tajam membingkai alis Ghi, yang mendadak lembut melihatnya kala itu, meski kemudian gadis itu enggan lagi untuk sekedar menoleh padanya maupun pada yang lain, hingga suara empuk pembawa acara menggiringnya melakukan prosesi pedang pora.
Sejumlah perwira hadir dalam langkah tegapnya bertahtakan selendang merah, MABES POLISI REPUBLIK.
***
~Ghi~
Seperti ini rasanya menikah, seberapapun ia berusaha tenang seperti biasa namun ini lebih sulit ketimbang mengontrol degupan jantung ketika ia melakukan operasi tindak kriminal.
Papa menepuk pundak kanannya, "deg-degan?" tanya nya, yang jelas-jelas jawabannya adalah tak salah lagi!
Papa kini menarik kursi dan memposisikan dirinya di samping Ghi, "wajar. Itu artinya otak dan hati kamu ter-mindset untuk bertanggung jawab. Janji di depan Allah itu bukan permainan, taruhannya surga dan neraka. Kemana kamu akan membawa dirimu, bahtera masa depanmu nanti. Papa tau mungkin awalnya salah atau mungkin kamu belum bisa sepenuhnya menerima Aya, masih menganggap Aya adik kecilmu..."
Ghi terkekeh getir....Oh ayolah pap! Yang benar saja, adik kecil yang selalu bikin ia merasa jadi manusia paling si al kah tepatnya?
Papa bahkan tertawa kecil, "tapi mulailah serius, Ghi. Terima Aya di hidupmu sebagai teman hidup."
Ghi hanya bisa melengkungkan bibirnya, imposible...si bocil?! Yang ada dia mengacaukan hidupnya!
"Kelak Aya akan jadi teman hidup yang bisa diandalkan. Tuntun dan bimbing dia, ajari Aya....dengan caramu. Papa percaya kamu."
Dan apa, setelah papa bergeser lalu meninggalkannya di kamar, Ghi semakin dilanda meriang yang tak usai. Kemudian lengu han berat ia keluarkan demi mengusir rasa tak nyaman di hati dan tenggorokan. Sampai akhirnya ia siap ketika mama memanggilnya untuk menghadapi penghulu, ayah Aya dan khalayak ramai di pernikahannya. Sungguh lucu, ia yang tak pernah memikirkan untuk menikah belakangan ini, justru menikah cepat dengan seseorang yang bahkan tidak ia idamkan.
Keramaian dalam balutan suasana khidmat, bukan upacara atau apel kesatuan. Namun prosesi pernikahannya. Langkahnya tegap perwira ke arah kursi dan meja di tengah ruangan, dimana om Regata sudah bersiap dan tersenyum padanya dalam balutan jas ciri khas adat.
Di sudut lain ia melihat tante Fitri yang sudah berlinang air mata dan menyerot air hidungnya, apa sesulit dan sesedih ini? Jelas...dan disini, ialah pelakunya...orang yang akan mengambil anak gadis tante Fitri dan om Regata yang telah mereka besarkan dengan penuh kasih sayang itu.
Jakunnya naik turun berdehem sebelumnya demi menjawab pertanyaan penghulu.
"Sudah siap?"
"Sudah."
"Jabat tangan ayah, nak..." pinta pak penghulu pada Ghi untuk menjabat tangan ayah Regata yang ternyata sudah dingin sejak tadi.
Hanya dalam sekali tarikan nafasnya Ghi lantang mengucap janji setia di depan Tuhan dan ayah Regata atas Aya.
Hufffttt....lega rasanya meskipun belum sepenuhnya. Namun belum selesai ia mengucap syukur setelah beban berat yang lirih diucapkan barusan, kini matanya menyapu pandangan dan tertumbuk ke arah pintu ballroom dimana seorang gadis yang namanya baru saja ia lafalkan.
Goyangan kembang goyang di atas kepalanya begitu manis menghiasi sosok cantik bermahkota siger, bahkan salivanya meluncur tak tertahan membuat ia tersedak jika tak segera berdehem dan batuk.
Ia setuju dengan para tamu, jika suitan dan riuhan kekaguman atas pengantinnya itu adalah fakta. Fakta jika Aya sungguh cantik pagi ini. Seberapapun usahanya untuk menghindar, pesona wajah bocah itu mengusik jiwa lelakinya. Terlebih, bocah itu sudah halal untuk ia pandang.
Apa itu? Aya membuka mulutnya sedikit membuat lamunan nakalnya tercipta, hingga suara empuk pembawa acara menggiring pasukan pedang pora beserta inspektur dan istri untuk bersiap memulai prosesi sekali seumur hidup seorang perwira.
Aya terlihat kaku dan takut, sehingga ia yang berinisiatif memegang tangan dan membawanya melingkar di lengan Ghi.
"Aya takut bang. Aya ngga bisa...." bisiknya bersuara.
"Ikuti saja alurnya." gadis itu mengangguk.
Pasukan berpedang mulai membuka barisan dan laporan pada inspektur upacara. Tangan Aya bahkan mengerat di lengan baju Ghi, tanda jika gadis itu nervous.
"Lapor! Upacara pedang pora siap dilaksanakan!"
"Laksanakan." ucap Ghi.
"Siap, laksanakan!" jawabnya kembali berbalik kanan dan menginterupsikan pada pasukannya.
Dentingan suara alat musik idiofon mengisi setiap sudut mengiringi puisi yang dilantunkan untuk setiap langkah perlahan Ghi dan Aya.
Tegarnya hentakan kaki, kokoh berwibawa menuju cita. Kala kata hati telah menyatu, menguntai dan merajut puspa melati.
Satu gapura pedang terangkat membuka jalan Ghi dan Aya melangkah maju dengan diikuti beberapa personel polisi wanita membawa pelita dan nampan, berisi seragam merah muda serta karangan bunga berikut kotak indah cinderamata.
Seiring berjalannya waktu, saat pelita memancarkan cahayanya dalam derap langkah perwira. Sang raja berjalan menuju asa dan cita.
Dipandangnya menyisir kesemua penghuni ruangan hampir membuat Aya pingsan jika Ghi tak kuat menopangnya.
Ketika keagungan telah terpancar sebagai tanda kesejatian diri bersama saling berbagi suka dan duka berdua mengarungi bahtera cinta.
Kemudian dua baris gapura itu berputar dalam hentakan tegap perwira membuat lingkaran bersama inspektur dan istri yang ikut masuk demi menyerahkan seragam itu pada Aya.
Istri inspektur upacara itu tersenyum melihat Aya, tak ada kepalsuan dari senyumnya yang menyerahkan satu stel seragam bernuansa merah jambu dan karangan bunga ke tangan Aya.
"Selamat bergabung di keluarga besar kepolisian republik negri." lirihnya.
.
.
.
.
.
bginilah klo crita yg menarik dan ga bosenin bwaannya sdikit z pdhl outhorny nulis sambil nundutan nhan ngntuk..mksh y ka upny..
keq'y s' Mama masih mikir nih mo bawa Aya²Wae kmn...
soal'y ampe sekarang s' Aya dan Mama gak nongol²...
lanjut
se ngefans itu diriku sama bpk ambarita 😂😂
ngikutt kemana ma.... ahhh digantung kaya jemuran g kering kering minnn.... hujan terus soalnya
apa mau nyusulin abang ikan ma?! /Grin//Grin/
semangat berkarya thor.