Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.
Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?
Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?
Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ambisi Di Belakang Angela
Kemurkaan itu meledak di tempat yang tak pernah tersentuh cahaya.
Di sebuah ruang privat berlapis kayu gelap, penyuruh Angela—pria yang selama ini hanya dikenal lewat perintah dan bayangan—membanting gelas kristal ke lantai. Pecahannya berhamburan, sama seperti bisnis-bisnisnya yang satu per satu dibekukan.
“Ardi,” desisnya penuh amarah. “Si boneka itu berani menutup jalurku.”
Layar besar di depannya menampilkan grafik merah menukik. Perusahaan-perusahaan cangkang yang selama ini menjadi nadi aliran dana kini mati suri. Rekening diblokir. Kontrak dibatalkan sepihak. Semua dilakukan oleh perusahaan Rafa, dengan Ardi sebagai wajah resminya.
“Angela bilang ini aman,” lanjutnya dingin, tapi berbahaya. “Dia bilang Rafa tak akan bergerak.”
Seorang anak buah menelan ludah. “Tapi yang bergerak justru Ardi. Terbuka. Agresif. Dan—bersih.”
Itulah yang paling membuatnya murka.
Permainan ini seharusnya tetap di bawah meja.
Bukan diseret ke cahaya.
“Hubungi Angela,” perintahnya singkat.
Tak lama, wajah Angela muncul di layar. Tenang. Terlalu tenang.
“Kamu bilang bisnis ini tak akan disentuh,” kata pria itu, menahan amarahnya. “Sekarang lihat. Jalurku ditutup. Uangku dibekukan.”
Angela menarik napas pelan. “Ardi bertindak di luar perkiraan. Tapi ini masih bisa dibalik.”
“Bagaimana?”
“Kita alihkan tekanannya,” jawab Angela datar. “Bisnis bisa diganti. Jalur bisa dibuka ulang. Tapi ada satu titik lemah yang tidak bisa mereka audit.”
“Dan itu?”
Angela berhenti sejenak.
“Kanaya.”
Ruangan itu mendadak hening.
“Kamu berjanji tidak menyentuhnya,” suara pria itu mengeras.
“Aku berjanji menjaga agar Rafa tetap jinak,” balas Angela. “Sekarang dia tidak jinak lagi. Jadi aturannya berubah.”
Pria itu menyeringai tipis—senyum yang tak membawa humor.
“Baik,” katanya akhirnya. “Kalau Ardi mau perang bisnis, kita balas dengan perang pribadi.”
Sambungan terputus.
Angela menurunkan layar, matanya gelap. Ia tahu, begitu nama Kanaya disebut, permainan telah memasuki fase paling berbahaya—fase di mana kesalahan sekecil apa pun akan berujung korban.
Di sisi lain kota, Ardi berdiri di depan jendela kantornya. Ia tak tahu detail rencana balasan itu, tapi instingnya berteriak keras.
Ia meraih ponsel, mengirim pesan cepat ke Rafa:
"Mereka murka. Jalur bisnis tertutup sepenuhnya. Bersiap—arah serangan akan berubah."
Balasan Rafa datang singkat, tegas, dan penuh makna:
"Aku tahu. Dan kali ini… aku tidak akan sembunyi."
Badai baru saja berubah arah.
Dan Kanaya berada tepat di pusat pusarannya.
***
Malam itu Angela masuk ke rumah Kanaya tanpa suara.
Kunci cadangan masih tersimpan di tempat lama—tempat yang dulu Barata anggap aman, dan Kanaya tak pernah curiga. Rumah itu kini dihuni Barata dan Angela, namun justru itulah yang membuat Angela leluasa. Tak ada yang akan menaruh curiga pada seseorang yang resmi tinggal di dalamnya.
Lampu ia nyalakan satu per satu. Tatapannya tajam, dingin, bekerja cepat.
Ia membuka laci.
Membongkar lemari.
Menggeser rak buku, memeriksa kolong tempat tidur, bahkan meraba balik pigura foto lama Kanaya.
Kosong.
Tak ada flashdisk.
Tak ada dokumen tersembunyi.
Tak ada catatan keuangan, nama samaran, atau nomor rekening yang mengarah pada aliran dana ayah angkat Kanaya di masa lalu.
Angela mengernyit.
Ia tahu rumah ini pernah menjadi tempat singgah aman. Ia tahu ayah angkat Kanaya pernah menyimpan sesuatu—bukan besar, tapi cukup untuk menjadi jejak. Namun semua seolah sudah disapu bersih… atau tak pernah ada di sini.
Ia duduk di sofa, menutup mata sejenak, mencoba berpikir.
“Tidak mungkin,” gumamnya.
Angela membuka satu laci terakhir—laci yang nyaris terlupakan. Di dalamnya hanya ada barang-barang sepele: buku catatan kosong, pulpen, dan sebuah amplop cokelat tipis. Ia membukanya cepat.
Hanya satu kalimat tulisan tangan:
“Jika kamu mencari ini, berarti kamu datang terlambat.”
Angela membeku.
Tulisan itu bukan tulisan Kanaya.
Bukan pula tulisan Barata.
Ia mengenalnya.
Itu tulisan ayah angkat Kanaya.
Angela tersenyum kecil—bukan puas, tapi tertekan.
“Jadi kamu memang lebih cerdas dari yang kami kira,” bisiknya.
Ia akhirnya mengerti.
Aliran dana itu tidak pernah disimpan di rumah. Rumah ini hanyalah pengalih perhatian. Tempat aman palsu. Ayah angkat Kanaya sengaja meninggalkan jejak kosong—agar siapa pun yang menggeledah, termasuk Angela, merasa telah sampai ke ujung.
Padahal kebenaran ada di tempat lain.
Dan hanya orang-orang tertentu yang tahu ke mana harus melihat.
Angela berdiri, merapikan kembali rumah seolah tak pernah disentuh. Sebelum pergi, ia menatap foto Kanaya yang masih tergantung di dinding—wajah polos, tak tahu apa-apa.
“Kamu bukan kuncinya,” katanya pelan. “Kamu cuma pintunya.”
Saat pintu tertutup, wajah Angela mengeras.
Kegagalannya malam itu membuat satu hal jelas:
permainan sudah bergeser.
Jika rumah Kanaya kosong,
jika Barata tak tahu apa-apa,
jika Rafa bergerak terlalu bersih—
maka satu-satunya tempat kebenaran tersisa
adalah orang.
Dan Angela tahu persis siapa yang harus ia tekan selanjutnya.
Angela bergerak cepat setelah kegagalannya di rumah Kanaya.
Ia membuka kembali daftar nama lama—orang-orang yang pernah dekat dengan ayah angkat Kanaya. Nama-nama yang seharusnya sudah hilang dari ingatan, kini ditarik kembali ke permukaan satu per satu.
Mantan rekan kerja.
Tetangga lama.
Seorang akuntan pensiunan.
Bahkan sopir pribadi yang pernah mengantar ayah angkat Kanaya bertahun-tahun silam.
Angela mendatangi mereka dengan cara berbeda-beda.
Ada yang ia dekati dengan ramah.
Ada yang ia tekan dengan ancaman halus.
Ada pula yang ia pancing dengan uang.
Namun hasilnya sama.
Nihil.
Akuntan itu hanya menggeleng. “Saya hanya mengurus laporan kecil. Tak pernah lihat aliran mencurigakan.”
Tetangga lama menghela napas. “Orangnya pendiam. Pulang kerja, langsung ke rumah. Tak pernah cerita apa-apa.”
Sopir pribadi bahkan tertawa pahit. “Kalau memang ada uang kotor, saya orang pertama yang bakal tahu. Tapi tidak ada.”
Yang membuat Angela semakin gusar bukan sekadar jawaban mereka—
melainkan keseragaman jawaban itu.
Terlalu rapi.
Terlalu bersih.
Seolah semua orang telah sepakat sejak lama untuk tidak tahu apa pun.
Di dalam mobilnya, Angela memukul setir pelan. Rahangnya mengeras.
“Mustahil semua ini kebetulan,” desisnya.
Ia mulai sadar bahwa ayah angkat Kanaya bukan hanya bersembunyi dari musuh—
ia mendidik lingkarannya untuk tidak menyimpan apa pun. Tak ada catatan. Tak ada rahasia. Bahkan kenangan pun dipotong.
Perlindungan paling sempurna adalah ketidaktahuan.
Angela menerima panggilan dari penyuruhnya.
“Dapat apa?” tanya suara di seberang.
“Tidak ada,” jawab Angela jujur, kali ini tanpa hiasan. “Dia memutus semuanya sejak awal. Tak ada jejak dana yang bisa ditarik.”
Hening sejenak.
“Kalau begitu,” suara itu berubah dingin, “kita buang asumsi lama.”
Angela menutup mata. Ia tahu apa artinya.
Mereka selama ini mengira ayah angkat Kanaya adalah penyimpan rahasia.
Padahal mungkin ia hanya penjaga waktu—menunggu saat yang tepat untuk menyerahkan kebenaran pada orang yang tepat.
Dan orang itu…
bukan Nadira.
Angela menatap jalan kosong di depannya. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasakan sesuatu yang jarang ia akui:
frustrasi.
Semua jalur tertutup.
Semua pintu buntu.
Dan di saat ia sibuk memburu masa lalu yang tak mau muncul,
ia tak sadar bahwa orang-orang yang selama ini ia anggap tak berbahaya
mulai bergerak diam-diam ke arahnya.
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kira2 gmn akhir dari kisah ini
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣
ini cerita gak tembus retensi, keterlaluan si LUN itu gak bantu promosiin 😤😤😤
ini bukan genre konflik etika, tetapi horor/ misteri