Memiliki Suami tampan,baik, penyanyang, pengertian, bahkan mertua yang baik adalah sebuah keberuntungan. Tapi bagaimana jika semua itu adalah hanya kamuflase?
Riska Sri Rahayu istri dari Danang Hermansyah. Mereka sudah menikah selama 4 tahun lebih namun mereka belum memiliki buah hati. Riska sempat hamil namun keguguran. Saking baiknya suami dan mertua nya tidak pernah mengungkit soal anak. Dan terlihat sangat menyanyangi Riska, Riska tidak pernah menaruh curiga pada suaminya itu.
Namun suatu hari Riska terkejut ketika mendengar langsung dari sang mertua jika suami nya sudah menikah lagi. Bahkan saat ini adik madu nya itu tengah berbadan dua.
Riska harus menerima kenyataan pahit manakala yang menjadi adik madu nya adalah sepupu nya sendiri.
Sanggupkah Riska bertahan dan bagaimana Riska membalaskan sakit hati nya kepada para pengkhianat yang tega menusuk nya dari belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Menjatuhkan Mental Ibu Maduku
Jam setengah 12 malam aku sampai ke klinik tempat Mama di rawat.
"Cepat amat kamu sampai ke sini, Ris? siapa laki-laki ini? kemana suamimu? kenapa pulang tidak sama suami tapi sama pria lain. Istri macam apa kamu? sakit Ibu mu bisa tambah parah lihat kelakuan mu seperti ini?." cerocos Bi Narti begitu aku sampai di depan rawat Mama. Bahkan ia tak segan mencaciku. Tangan yang hendak salaman pun aku tarik kembali.
"Aku sengaja cepat-cepat ke sini karena tidak mau merepotkan Bi Narti terlalu lama. Bukankah bibi punya kehidupan sendiri! Meskipun dulu kalian yang selalu merepotkan Mama sangat lama! Ya walaupun saat itu Mama juga punya kehidupan sendiri juga!. Laki-laki ini adalah supir travel sekaligus sepupu temanku. Kenapa aku pulang sendiri dan tidak bersama Mas Danang. Karena Mas Danang sedang asyik bersama selingkuhannya! bersama perempuan murahan! lebih baik aku pulang sendiri dari pada mengganggu hubungan mereka. Bukan karena takut, bukan. Tapi karena aku tidak mau mengemis cinta pada pria yang sudah tidak memiliki harga diri. Karena menurutku laki-laki yang selingkuh itu hanya pria murahan dan tidak memiliki harga diri, begitu pun pasangannya. Sama-sama murahan dan sampah!. Ups, maaf aku keceplosan. Jadi curhat deh sama Bibi," wajah Bi Narti mendadak pucat seketika mendengar ucapanku. Di dalam hati aku tersenyum berhasil mengaduk-aduk perasaannya.
"Eh Bi apa kabar Siska? masih betah sendiri? kapan rencananya mau menikah? Nasihatilah Bi. Jangan terlalu pemilih, takutnya malah saat laki-laki yang tidak berkualitas eh, tapi wanita secantik Siska mah gampang cari pasangan. Dan kebanyakan perempuan seperti Siska inj malah dapat orang kaya sekalipun menjadi istri simpanan atau menjadi istri kedua, sebaiknya kasih tahu Siska. Menjadi istri kedua itu sangat tidak enak sama sekali. Di mana-mana hanya di cap sebagai pelakor, terus tidak akan pernah dapat harta apapun kalau ketahuan sama istri sahnya. Aku harap bibi bisa mewanti-wanti pada anak gadisnya agar jangan sampai menjadi istri kedua. Jangan sampai menjadi wanita murahan yang akan merusak rumah tangga orang."
Suaraku pelan tapi penuh penekanan di beberapa kalimat.
"Kamu jangan ngelantur yah kalau ngomong, Ris! Siska adalah wanita baik-baik. Tidak mungkin dia seperti itu." Bi Narti membuang muka ke sembarang arah.
"Semoga saja begitu, ya. Bi. Tapi benar deh. Kalau menjadi istri kedua dia tidak akan pernah mendapatkan apapun selain cap pelakor."
Bi Narti kembali pias.
"Muka bibi kenapa pucat? Bibi sakit? bibi kalau capek bisa pulang karena sudah ada aku di sini. Terima kasih sudah bersedia di repotkan. Aku janji lain kali tidak akan pernah merepotkan B Narti lagi. Walaupun dulu kalian selalu merepotkan kami."
Segera kutarik tangan Septua untuk masuk ke dalam kamar rawat Mama. Tak pedulikan lagi wanita yang pernah melahirkan maduku itu.
"Aku yakin perempuan itu mentalnya langsung down!." ucap Septia saat kami berjalan bersisian.
Aku tersenyum miring, ini belum seberapa lihat nanti kedepannya.
***
Sudah 2 minggu aku berada di rumah Mama. Tapi aku tidak berniat untuk meninggalkan rumah masa kecil ini. Sebenarnya Mama sudah lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pun mulai membaik meskipun belum benar-benar sehat seperti semula. Dan aku enggan meninggalkan beliau. Bukan tanpa sebab, aku berlama-lama di sini. Pengkhianatan Mas danang enggan membuatku kembali pulang ke rumah, bahkan Mas Danang sudah berkali-kali menghubungiku untuk segera pulang.
"Nak, Mama sudah membaik. Sebaiknya kamu pulang saja! Bukan maksud Mama mengusirmu, bukan. Mama senang di tungguin kamu. Tapi sekarang kamu bukan lagi Riska anak gadis Mama. Kamu sudah menikah Nak, sudah menjadi istri orang. Sungguh Mama ndak papa kamu tinggal pulang, Nak." Mama terus saja membujukku.
Kuhela nafas dalam untuk menetralisir rasa sesak di dada ini. Lalu kupejamkan mata sejenak. Ini kali ke enam beliau menyuruhku pulang sejak kesembuhannya. Aku tidak tahu lagi harus menjawab apa. Sebab tidak mungkin aku menceritakan alasan yang sesungguhnya pada Mama. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk kalau mama tahu, pernikahan ku sedang tidak baik-baik saja. Apalagi beliau baru saja sembuh dari sakitnya.
Pandanganku lurus ke depan. Meskipun tangan terus menyiram tanaman hias yang telah ku tanam sejak sebelum menikah.
"Beruntung kamu mendapatkan suami yang baik seperti Nak Danang. Dan mertua sebaik Bu Zainab. Jadi Mama harap kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Nak Danang. Pulanglah! memang saat ini Danang sedang tidak ada di rumah. Tapi setidaknya taati perintahnya. Bukankah dia sudah sering meminta mu pulang? sebaik-baiknya istri adalah yang patuh dan taat pada suaminya!." ujar Mama lembut menasehatiku.
Aku diam. Tidak tahu harus berkata apa-apa lagi. Citra Mas Danang sebagai menantu yang baik sudah melekat kuat di benak Mama. Itu semua terjadi karena aku tidak pernah mengeluhkan atau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Mama. Aku berhasil menutupi keburukan Mas Danang. Dan selama ini Mas Danang juga menunjukkan sikap yang baik setiap bertemu dengan Mama.
Memang Mas Danang jarang sekali menjenguk Mama ke sini, namun Mas Danang sering menanyakan kabar Mama dan selalu menunjukkan segala sikap perhatian pada mertuanya ini. Seandainya aku tidak pernah tahu pengkhianatan dan kebohongan Mas Danang, mungkin aku juga akan sama dengan anggapan Mama kalau Mas Danang adalah laki-laki yang baik.
"Suami adalah pakaian untuk istrinya begitu pun sebaliknya. Jadi sebisa mungkin kalian harus menutup rapat segala kekurangan pasangan nya. Jangan pernah menceritakan apapun termasuk kepada orang tuamu sendiri! cukup hanya kalian berdua saja yang tahu!." Nasihat itu yang selalu aku ingat, membuatku tak pernah menceritakan kejelekan Mas Danang. Termasuk nafkah lahir yang jarang di kasih.
"Jangan membuat Nak Danang menjadi suami yang tak di hargai." Lanjut Mama melanjutkan nasehatnya.
'Mama, apa Mama sanggup menyuruhku pulang jika mama tahu bagaimana kelakuan Mas Danang saat ini. Dia sudah menikah lagi tanpa sepengetahuan Riska, Mah. Bukan wanita yang menjadi istri kedua nya adalah keponakan kesanyangan Mama sendiri. Apakah Mama akan terus meminta ku untuk taat pada Mas Danang?.' ingin sekali aku berucap demikian dan jujur, namun rasanya tak sanggup jika mama kembali drop. Takut Mama kaget mendengarnya lalu menjadi beban pikiran beliau.
Seandainya tidak ingat nasehat dokter, mungkin sudah aku ceritakan semua nya pada Mama. Namun dokter mengatakan dan mewanti-wanti agar Mama tidak boleh memikirkan hal-hal berat, takut beliau drop.
"Riska, kamu dengarkan kata mama?."
Aku yang sedang menyiram tanaman dan memunggungi Mama pun hanya menganguk pada orang tunggal ku itu. Bingung harus menjawab apa.
.
.
.
Bersambung
tinggalkan aja suamimu riska......