"Astaghfirullohal'adzim!" Gadis itu setengah berteriak saat mendengar suara iqamat dari masjid pesantren.sekilas ia menatap arloji di tangan kanannya. pukul 11.50 WIB.
"mengapa tak ada yang membangunkanku? ah, sial! jangan sampai aku bolos salat jemaah," ucap gadis bernama lengkap Humairah Assyifa itu.
Ia merutuki dori sendiri. Gara-gara tidur mendekati waktu salat zuhur, hampir saja ia melewatkan salat jemaah di masjid.
trus apa yang akan terjadi di hari-hari humairah di pesantren tersebut, apakah humairah akan menemukan jodohnya di pesantren tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ridwan jujun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Gus Alka
"Ma? Kamu nangis?" Ucapan Asma menyadarkan Huma dari lamunannnya.
"Eh, enggak kok. I-ini tadi bulu mataku rontok, nyolok mata, jadi perih deh," ucap Huma, mengeles. Ia menyeka air mata yang hampir saja turun dari sudut matanya.
"Ooh.. kirain nangis. Ini es tehnya." Asma menyerahkan segelas es teh yang tadi sudah dibelinya. "Kita cari tempat duduk yuk."
"He'em."
Huma kembali melirik Mas Huda yang masih terlihat mesra bersama gadis itu. Ia menepuk dadanya yang kini masih terasa sesak tak karuan.
"Ayuk, Ma, kita duduk disitu aja." Tunjuk Asma pada salah satu bangku kosong di ujung lorong.
"Eh iya, ayuk."
******
Bruk!
Sesampainya di kamar, Huma langsung merobohkan tubuhnya diatas kasur. Tubuhnya terasa sangat lemas. Mengelilingi mall berlantai lima sepertinya sudah menguras seluruh tenaga yang dimilikinya.
Beruntung Huma dan Asma berhasil mendapatkan hadiah yang sesuai untuk Arya di lantai terakhir.
"Kenapa kita nggak langsung ke lantai atas aja ya, jadi nggak perlu repot-repot keliling satu mall, 'kan!" keluh Huma tadi.
Di ranjang sebelah, Asma juga sudah terkapar tak berdaya dengan posisi tengkurap. Semua tulangnya seakan terlepas dari sendi-sendinya.
"Ya ampun, Mbak Huma, Mbak Asma. Kenapa jadi kayak pohon tumbang semua si?" Lala yang baru saja selesai mandi langsung kaget melihat dua temannya itu kini sudah tergeletak tak berdaya diatas kasur.
"Hemm," respon Asma malas.
Melihat kedua temannya itu masih saja di posisi semula, Lala pun mendekati mereka. Ia duduk di tepi kasur milik Asma.
"Ehh, Mbak, Mbak ... tau ngga aku punya kabar baru loh, hot news ...."
"Apaan si, La ... Aku lagi capek banget. Itu bibir ngapa dimonyong-monyongin segala," ucap Huma yang tadi sempat melirik Lala saat mengucapkan kata 'hot news' bak pembawa acara gosip di tv.
"Yakin nih nggak mau denger hot news?" Lala tetap saja memonyongkan bibirnya saat mengucapkan kata 'hot news'.
"Hemm." Sedari tadi Asma hanya bergumam saja. Malas sekali meladeni Lala saat tubuhnya sedang remek seperti ini. Paling Lala mau ngajak nggibahin santri kamar sebelah, batinnya.
"Ini tentang Gus Alka loooh ..."
Mendengar kata Gus Alka, Asma yang sedari tadi ogah-ogahan langsung bangkit dari tidurnya.
"Gus Alka? Ada apa dengan Gus Alka?" tanya Asma antusias mendengar nama gus tampan itu.
"Hemm ... giliran denger yang bening-bening langsung semangat," sindir Lala.
"Hehehe... kenapa Gus Alka, La?" Asma menggoyang-goyang tangan Lala, penasaran.
"Gus Alka ... Gus Alka ... katanya suka sama aku," ucap Lala, "tapi bo'ong. Hahaha."
Asma melotot pada Lala, "Apaan si, La! Serius!"
"Iya ... iya ... Gus Alka ... udah pulang dari Yaman."
"Serius, La?" tanya Asma.
"Gus Alka pulang?" Huma yang sedari tadi masih terbaring di kasur, kini bangkit mendengar nama seseorang yang pernah mengisi hatinya itu.
"Iya, tadi aku liat sendiri. Gus Alka dijemput sama Kang Udin."
"Gus Alka pulang sendiri, La?" Huma kini mulai penasaran.
"Ya sendiri lah, emang sama siapa?" balas Lala.
"Eh kirain, sekalian bawa pulang calonnya," ucap Huma.
"Lah calonnya kan lagi duduk disini." Lala mengipas-ngipaskan tangan ke wajahnya yang tidak gerah itu.
"Apaan si. Ngimpi!" ucap Asma, tak terima.
Gus Alka memang jadi idola para santri putri di Pondok Pesantren Ash-Shidiq. Selain perawakannya yang gagah, wajahnya juga sungguh tampan, bak titisan Raja Arab. Kulit putih bersih, bola mata tajam, alis yang terukir sempurna, hidung mancung bak perosotan, lesung pipinya saat tersenyum, ditambah sedikit rambut di janggutnya sungguh memikat hati setiap wanita yang melihatnya.
Wajah Gus Alka memang sebelas dua belas dengan Gus Kaffa. Hanya saja Gus Kaffa sudah mempunyai pendamping hidup. Jadi tinggal Gus Alka seorang, putra abah kyai yang diidolakan para santri.
Abah kyai dan ummi nyai sebenarnya memiliki tiga orang putra. Yang pertama Ning Sayyidatun Nafisah, yang kini sudah menikah dan diboyong ke rumah suaminya yang seorang gus pula. Putra kedua yaitu Gus Abdurrahman Kaffabih yang menikah dua tahun lalu. Serta putra terakhir yaitu Gus Abdullah Al-Kautsar yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Yaman.
"Iri bilang boss, huwee ..." Lala menjulurkan lidah ke Asma.
"Apaan si kalian malah jadi rebutan Gus Alka gitu," ucap Huma.
"Makhluk cipataan Tuhan setampan itu memang sudah ditakdirkan buat jadi bahan rebutan mbak," ucap Lala tertawa.
"Iya bener, siapa coba yang ngga suka Gus Alka. Udah ganteng, manis, pinter, ramah senyum pula." Asma ikut-ikutan memuji Gus Alka.
"Mbak Huma pasti juga suka Gus Alka, 'kan ..." goda Lala.
"Eng-enggak lah, siapa juga yang suka," ucap Huma gelagapan.
Huma memang pernah punya perasaan dengan Gus Alka. Begitu pula dengan Gus Alka, dua tahun lalu sebelum berangkat ke Yaman, ia pernah mengungkapkan perasaannya kepada Huma.
Namun Huma tak memberi jawaban apapun. Huma memang mengagumi Gus Alka, tetapi ia tak suka dengan sikap Gus Alka yang menurutnya terlalu ramah dan murah senyum kepada semua santri putri.
Selain itu, hampir semua santri putri menyukai Gus Alka. Huma tidak mau seseorang yang spesial baginya juga menjadi seseorang yang spesial bagi gadis-gadis lain termasuk sahabat-sahabatnya sendiri. Apalagi jika nanti Huma sampai tidak disukai mereka karena menjalin hubungan dengan Gus Alka. Huma tidak bisa membayangkan itu.
Tidak ada yang tahu tentang hal ini. Termasuk Asma dan Lala, sahabat Huma. Huma tak pernah menceritakannya kepada siapapun.
"Nggak papa, Mbak, nanti kita saingan secara sehat. Haha..." ucap Lala.
"Udah ah, udah hampir asar nih. Mending kita siap-siap," ucap Huma, "aku mau mandi dulu ya, biar nanti berangkat ngaji langsung siap."
Huma pergi meninggalkan kedua sahabatnya itu. Sementara mereka, terus melanjutkan obrolan mereka. Apa lagi kalau bukan tentang Gus Alka.
******
Huma, Asma, dan Lala kini sudah berada di ruang madrasah. Mereka duduk di barisan paling depan, tentu saja karena mereka datang paling akhir sehingga hanya tersisa tempat duduk paling depan.
Hari ini jadwalnya ngaji kitab Shahih Bukhori bersama abah kyai. Semua santri duduk di atas lantai. Ruang madrasah untuk kelas khusus seperti Huma memang sengaja dibuat lesehan. Hanya abah kyai yang duduk di atas kursi dengan meja kayu di depanyna.
Tidak seperti kelas-kelas madrasah lain yang dipisah antara santri putra dan putri, kelas Huma dicampur dengan santri putra dalam satu ruangan. Di tengah ruangan ada sekat dari kayu yang membatasi tempat duduk santri putra dan santri putri.
Jumlah santri di kelas itu memang tidak terlalu banyak. Hanya santri-santri dewasa yang sudah mendapat ijazah madrasah dan belum boyong saja. Itulah mengapa ruang kelas digabung antara santri putra dan putri.
"Asaalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh." Terdengar suara salam dari kursi depan, tapi itu bukan suara abah kyai.
Huma yang sedari tadi menunduk karena sedikit mengantuk pun mengangkat kepalanya.
"Gus Alka?" gumam Huma.
"Wa'alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh," jawab santri serentak.
"Wah Gus Alka."
"Itu beneran Gus Alka, 'kan?"
"Ya ampun, Gus Alka gantengnya nggak ilang-ilang."
"Ya Allah, akhirnya jodohku datang juga."
"Manis banget."
Terdengar santri putri mulai berbisik membicarakan Gus Alka yang kini sudah duduk di kursi abah kyai. Nampaknya ia yang akan menggantikan abah kyai mengajar sore ini.
"Mulai hari ini, saya yang akan mengajar kitab Shahih Bukhori. Masih kenal saya semua, 'kan?"
Senyum Gus Alka terukir menghias wajahnya. Menciptakan lesung di kedua pipinya. Manis sekali. Jangan ditanya, santri-santri putri kini sudah klepek-klepek melihat senyum Gus Alka.
Tak sengaja pandangan Gus Alka tertuju pada Huma. Senyuman itu kembali terukir di wajah Gus Alka, namun kali ini khusus ditujukan kepada Huma. Huma yang sadar sedang diperhatikan Gus Alka jadi salah tingkah dan langsung tertunduk
"Tenang, Ma. Tenang. Itu senyuman nggak cuma buat kamu. Jangan ke-GR an," gumam Huma pada dirinya sendiri.
"Hari ini kita akan melanjutkan hadits yang ke 1345, silahkan dibuka kitabnya ...."ucap Gus Alka memulai pelajaran.
Satu jam berlalu, pelajaran hadits dari Gus Alka pun selesai.
"Sekian kajian hari ini. Wallohul muwaffiq ila aqwamith thoriq. Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabaokatuh," tutup Gus Alka yang langsung dijawab salam oleh seluruh santri.
Satu persatu santri putra mulai mencium tangan Gus Alka dan meninggalkan ruangan. Sementara santri putri hanya berjalan menunduk memberikan salam. Gus Alka memang sengaja menyuruh santri untuk keluar terlebih dahulu daripada dirinya.
Hampir semua santri sudah keluar ruangan. Namun terlihat Huma dan Asma masih duduk menunduk di atas lantai. Yap, mereka tertidur. Memang sudah dari setengah jam lalu mereka tertidur ditengah-tengah pelajaran Gus Alka.
Huma tidur dengan posisi kepalanya ditompang tangan kanan yang kini menempel di pipi. Sementara Asma begitu lelap bersandar di dinding. Mungkin mereka masih kelelahan setelah berputar-putar mall tadi siang.
Lala yang tersadar dengan tingkah kedua sahabatnya ini, langsung membangunkan mereka.
"Mbak Huma, Mbak Asma, bangun ... Madrasah udah selesai mbak ... Ayo bangun." Lala membangunkan perlahan kedua sahabatnya seraya mengoyang-goyang kaki mereka.
"Hoo-aam," Asma menguap. Ia kaget, ternyata madrasah sudah usai.
"Euggh." Lenguhan kecil terdengar dari mulut Huma, lalu mengucek kedua matanya. Ia begitu kaget saat membuka mata sudah ada Gus Alka berdiri di depan mereka.
"Nyenyak tidurnya?" tanya Gus Alka ditujukan ke Asma dan Huma. Namun tatapan matanya hanya terarah ke Huma.
"Ehh maaf, Gus, kami tadi ketiduran," ucap Asma.
Sementara Huma hanya tertunduk diam. Malu sekali.
"Ya sudah, kalian boleh balik ke asrama," ucap Gus Alka. Gus Alka memang jarang menunjukkan amarahnya. Hanya karena santri yang tertidur tidak akan membuat mereka dihukum.
Asma dan Lala pun segera pamit keluar ruangan dengan cara jalan jongkok, Disusul Huma dibelakangnya.
"Lain kali jangan tidur lagi saat sedang mengaji ya, Humairoh," ucap Gus Alka tiba-tiba.
Deg!
"Eh nggih, Gus. Saya minta maaf. Saya permisi," ucap Huma, segera menyusul kedua sahabatnya itu.
Gus Alka hanya tersenyum melihat tingkat ketiga santri itu.
******
"Apakah Gus Alka masih ingat denganku?" Huma mengingat kejadian di madrasah tadi ketika Gus Alka menyebut namanya.
"Gus Alka masih sebaik dan semanis dulu. Tapi, dia juga masih suka menebar senyum ke santri-santri putri."
Huma yang kini sedang berbaring diatas kasurnya terus saja memikirkan Gus Alka. Kepulangannya yang tiba-tiba membuatnya menjadi gundah. Sisa-sisa perasaan yang dulu sudah terlupakan, kini kembali bermunculan.
Terlihat teman-teman sekamarnya kini sudah terlelap. Menjelajah ke alam mimpi masing-masing. Hanya Huma seorang yang masih terjaga.
"Apakah Gus Alka masih menyimpan perasaan kepadaku?" kini Huma mulai bertanya-tanya tentang kisah mereka dulu yang tak jelas arahnya.
"Ahh sudahlah lah, mending aku tidur saja. Jangan sampai nanti telat bangun tahajud."
Huma segera menarik selimutnya. Berdo'a, lantas menutup matanya. Berharap mimpi indah datang menemani tidurnya.
******
Seperti biasa, sepagi ini Huma sudah berada di masjid Ash-Shidiq. Tak pernah ada perasaan takut pada diri Huma, saat melangkah menuju masjid sendirian ditengah kegelapan.
Huma selalu teringat ucapan Prof. Dr. Quraish Shihab
"Orang yang takut kepada Allah, pasti tidak akan takut kepada apapun selain-Nya. Sementara orang yang tidak takut kepada Allah, pasti ia akan takut kepada apapun selain-Nya."
Huma melangkahkan kakinya di masjid. Memulai ibadah rutin yang selalu ia laksanakan setiap malamnya. Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Ditengah bacaan do'a dan dzikir yang sedang Huma panjatkan, tiba-tiba terdengar suara lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an dari shaf depan. Suara yang dua hari ini selalu ia rindukan. Suara merdu Mas Huda.
Huma terdiam, lalu tersenyum. Meresapi setiap ayat yang yang dilantunkan oleh Mas Huda. Mendamaikan jiwa.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB. Huma pun kembali ke asrama untuk mandi dan membangunkan para santri.
Sudah menjadi kebiasaan Huma setiap harinya, membangunkan para santri untuk salat tahajud. Sebenarnya itu tugas pengurus bagian keamanan. Tapi tak ada salahnya ia membantu. Toh, ia juga yang paling sering bangun awal.
******
Mendekati waktu subuh, Huma kembali ke masjid. Beruntung tadi ia sudah meninggalkan sajadah dan bawahan mukenanya di masjid. Jadi ia masih dapat tempat shaf untuk salat.
Masjid Ash-Shidiq memang selalu penuh dengan jama'ah. Tidak hanya dari penghuni pesantren, masyarakat luar juga banyak yang ikut berjamaah disana. Telat berangkat saja pasti sudah tidak mendapatkan tempat salat.
Huma berjalan menuju sajadahnya. Hendak duduk. Namun ia kaget ketika melihat ada sebuah kertas warna tosca muda di balik bawahan mukenanaya.
"Amplop surat?"
---------------------------------------------------------
aku suka ceritanya bagus