Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Dingin Di Rumah Sendiri
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Malam masih terasa basah oleh sisa hujan semalam.
Udara pagi yang biasanya hangat kini terasa menggigit.
Nayara berdiri di dapur, membuat kopi untuk Ardan yang duduk diam di ruang makan, matanya menatap layar ponsel tanpa benar-benar fokus.
Biasanya, mereka akan bercanda kecil setiap pagi — soal roti yang gosong atau kopi yang terlalu manis.
Tapi pagi ini, hanya terdengar suara sendok beradu dengan gelas.
Nayara meletakkan cangkir di depan suaminya.
“Ini kopimu,” katanya pelan.
Ardan hanya mengangguk tanpa menatap. “Makasih.”
Nayara memperhatikannya.
Gerak-geriknya terasa asing. Cara dia mengetik di ponsel pun berubah — lebih hati-hati, seolah takut ketahuan.
“Masih banyak kerjaan hari ini?” tanya Nayara, berusaha memecah diam.
“Lumayan. Ada rapat di luar kantor juga,” jawab Ardan singkat.
“Dengan siapa?”
Ardan meneguk kopinya dulu, baru menjawab, “Tim proyek. Ada beberapa orang dari vendor juga.”
Nayara tersenyum tipis. “Oh.”
Ia tidak menanyakan lebih jauh, meski hatinya tahu nama “vendor” itu bisa berarti siapa saja.
Termasuk Mira.
Siang harinya, rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Langit mendung, cahaya redup masuk lewat tirai putih yang berkibar lembut.
Nayara duduk di ruang tamu sambil melipat pakaian. Tangannya bergerak, tapi pikirannya jauh.
Pintu rumah berderit — suara kunci berputar. Ardan muncul, masih dengan wajah letih.
“Kok pulang siang?” tanya Nayara sedikit terkejut.
“Cuma ngambil dokumen,” jawabnya cepat.
“Abis ini balik lagi ke kantor.”
Ia berjalan langsung ke kamar, tapi Nayara sempat melihat ponsel Ardan bergetar di tangannya.
Sekilas, sebuah nama muncul di layar sebelum ia sempat mengalihkan pandang —Mira Lestari.
Dadanya langsung sesak.
Namun ia hanya diam, mencoba menelan kenyataan seperti menelan duri yang tak bisa dikeluarkan.
Beberapa menit kemudian, Ardan keluar lagi. Ia tampak gugup, tapi berusaha bersikap biasa. “Aku pergi dulu.”
Nayara menatapnya sebentar. “Kamu masih ingat hari ini ulang tahun pernikahan kita?”
Ardan terhenti di depan pintu.
Bahunya menegang sesaat, lalu perlahan ia menoleh.
“Oh... iya. Aku lupa. Maaf, Nay. Aku janji malam nanti kita makan di luar, ya?”
Nada suaranya datar. Seolah ulang tahun itu hanya jadwal tambahan di sela urusan lain yang lebih penting.
Nayara mengangguk pelan, mencoba tersenyum. “Baik, aku tunggu.”
Tapi dalam hatinya, ia tahu — yang ia tunggu bukan lagi kepulangan seseorang, tapi keajaiban yang mungkin sudah terlalu terlambat.
Sore menjelang.
Langit semakin kelabu.
Telepon Nayara berdering — nama Alia muncul di layar.
“Nay, kamu nggak keliatan di kantor komunitas hari ini. Kamu kenapa?”
Nayara tersenyum kecil, menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Aku lagi nggak enak hati, Li. Lagi pengen di rumah aja.”
“Ardan kenapa? Masih dingin?”
“Entahlah... Aku bahkan nggak yakin dia sadar kalau rumah ini udah kayak kamar hotel.”
Alia tertawa getir. “Kamar hotel?”
“Iya. Dia datang cuma buat numpang tidur. Pagi pergi, malam pulang tanpa kata.”
Di ujung sana, Alia terdiam sebentar. “Kamu harus jujur, Nay. Kamu nggak bisa terus pura-pura semuanya baik-baik aja.”
Nayara menatap foto pernikahan mereka di dinding.
“Kadang berpura-pura adalah satu-satunya cara supaya rumah ini nggak benar-benar hancur.”
Pukul tujuh malam.
Nayara sudah siap dengan gaun sederhana warna biru muda — warna yang dulu disukai Ardan.
Di meja makan, dua lilin kecil menyala pelan. Makanan yang ia siapkan mengeluarkan aroma lembut — kesukaannya dulu: ayam lada hitam dan sup jagung.
Tapi jam terus bergerak.
Tujuh lewat tiga puluh.
Delapan lewat lima belas.
Sembilan.
Ardan belum datang.
Ponselnya hanya menjawab dengan pesan singkat:
Ardan: “Maaf banget, Nay. Rapatnya molor. Aku nggak bisa pulang malam ini.”
Nayara membaca pesan itu lama.
Malam ulang tahun pernikahan mereka.
Dan ia duduk sendirian, di meja yang penuh cahaya tapi terasa lebih dingin dari es.
Hujan turun lagi di luar.
Nayara meniup lilin yang mulai habis, satu per satu. Cahayanya padam perlahan, meninggalkan aroma parafin di udara.
“Selamat ulang tahun pernikahan, Dan,” bisiknya lirih, suaranya nyaris pecah. “Semoga kamu bahagia... di mana pun kamu sekarang berada.”
Ia berjalan ke kamar dengan langkah pelan.
Rumah itu terasa seperti ruang kosong — dindingnya masih sama, tapi kehangatannya hilang.
Ia menyelimuti dirinya, menatap sisi ranjang yang kini selalu dingin.
Di sisi lain kota, Ardan duduk di dalam mobil bersama Mira, di depan sebuah restoran kecil yang tertutup tirai.
Mira tersenyum, menatapnya dari samping.
“Kenapa diam?” tanyanya pelan.
Ardan menatap ke luar, hujan menetes di kaca jendela.
“Harusnya malam ini aku di rumah,” gumamnya pelan.
Mira mencondongkan tubuh sedikit. “Rumah? Atau tempat yang cuma bikin kamu ngerasa bersalah?”
Ardan menatapnya.
Dan entah kenapa, ia tak lagi tahu jawaban mana yang benar.
Di rumah, Nayara memejamkan mata.
Satu tetes air mata jatuh ke bantal.
Ia menarik napas dalam-dalam, menahan isak yang ingin keluar.
Sejak kapan rumah ini berhenti jadi tempat pulangmu, Ardan?
Dan sejak kapan aku berhenti jadi alasannya?
Udara malam menebar dingin, tapi bukan cuaca yang membuat tubuhnya menggigil.
Melainkan kenyataan — bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar dingin di rumah sendiri.
Bersambung...