"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: KEBAHAGIAAN TERAKHIR
Malam itu, hujan turun dengan lembut di atas atap seng rumah sederhana keluarga Rafael. Suara tetesannya menciptakan musik yang menenangkan, berpadu dengan tawa hangat yang mengalun dari ruang makan kecil berukuran tiga kali tiga meter.
"Papa! Itu curang! Kamu mengintip kartuku!" Elena, gadis berusia sepuluh tahun dengan rambut dikepang dua, memonyongkan bibirnya sambil menutup kartu UNO di tangannya.
Jonathan Rafael tertawa—tawa yang tulus, yang membuat kerutan di sudut matanya semakin dalam. Di usianya yang empat puluh dua tahun, wajahnya mulai menunjukkan bekas lelah dari bertahun-tahun bekerja sebagai jurnalis investigasi. Tapi malam ini, di tengah keluarga kecilnya, ia tampak seperti pria paling bahagia di dunia.
"Papa tidak mengintip, sayang. Kamu yang terlalu jelas menunjukkan ekspresimu," jawab Jonathan sambil mengacak rambut Elena dengan penuh sayang.
Clara, sang istri, keluar dari dapur dengan nampan berisi empat gelas teh manis hangat. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu tersenyum melihat pemandangan di hadapannya—suaminya dan putri bungsunya tengah berdebat kecil tentang permainan kartu, sementara Alex, putra sulungnya yang berusia lima belas tahun, duduk di sampingnya sambil tersenyum tipis.
"Sudah, sudah. Jangan berantem terus," kata Clara sambil meletakkan gelas-gelas itu di meja. "Ini teh manis untuk kalian. Ayo istirahat dulu."
Alex mengambil gelasnya, menyesap perlahan. Ia memperhatikan keluarganya—ayahnya yang sedang memeluk Elena sambil berpura-pura menyerah, ibunya yang duduk di samping ayahnya sambil bersandar di bahu sang suami. Hangat. Sederhana. Sempurna.
Rumah mereka memang kecil. Cat dindingnya sudah mengelupas di beberapa bagian. Lantai keramiknya retak di sana-sini. Meja makan kayu mereka sudah usang, permukaan vernisnya terkelupas. Tapi di rumah ini, ada cinta. Ada tawa. Ada kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan uang.
"Alex, kenapa kamu diam saja?" tanya Clara, memperhatikan putra sulungnya. "Kamu tidak ikut main?"
Alex menggeleng. "Aku lebih suka nonton Mama, Papa, sama Elena main."
Jonathan menatap putranya, ada kebanggaan di matanya. "Kamu sudah besar, ya, Nak. Dulu kamu yang paling ribut kalau main kartu."
"Papa..." Alex ragu sejenak. "Besok Papa benar-benar akan mempublikasikan artikel itu?"
Suasana di ruangan itu berubah. Clara menatap suaminya dengan raut wajah khawatir. Elena, yang belum sepenuhnya mengerti, hanya menatap bingung.
Jonathan menarik napas panjang. Ia meraih tangan istrinya, menggenggamnya erat. "Ya, Alex. Besok pagi."
"Tapi... bukankah itu berbahaya?" Alex menunduk. "Aku dengar beberapa jurnalis yang mengungkap korupsi... mereka..."
"Mereka dibunuh," Jonathan melanjutkan kalimat putranya dengan tenang. "Aku tahu, Nak."
"Jonathan..." Clara memejamkan mata, menahan air mata. "Kita sudah bicara ini berkali-kali. Apa tidak bisa bukti itu diserahkan saja ke pihak yang lebih bisa melindungi kita?"
"Ke siapa, sayang?" Jonathan menatap istrinya dengan lembut. "Polisi? Mereka dibayar. Jaksa? Mereka bagian dari sistem. Media besar? Mereka takut. Jika aku tidak melakukannya, siapa yang akan melakukannya?"
Clara menangis. Air matanya jatuh begitu saja, tanpa isak. "Tapi kita punya anak, Jonathan. Kita punya Alex. Kita punya Elena."
"Dan justru karena itu aku harus melakukannya." Jonathan melepas genggaman tangan istrinya, lalu berdiri. Ia berjalan ke arah Alex, berlutut di hadapan putranya. Tangannya yang kasar menyentuh pipi Alex dengan lembut. "Nak, kamu tahu kenapa Papa jadi jurnalis?"
Alex menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca.
"Karena Papa ingin dunia ini jadi tempat yang lebih baik untuk kalian. Untuk kamu dan Elena. Untuk anak-anak kalian nanti." Jonathan tersenyum, meski senyumnya penuh kesedihan. "Uang lima puluh triliun yang dikorupsi itu... kamu tahu untuk apa seharusnya uang itu?"
Alex menggeleng lagi.
"Untuk membangun rumah sakit, sekolah, jalan. Untuk orang-orang seperti kita. Untuk orang-orang yang lebih miskin dari kita." Jonathan menggenggam bahu Alex. "Setiap hari, anak-anak mati karena tidak ada rumah sakit. Anak-anak putus sekolah karena tidak mampu. Orang tua tidak bisa makan karena tidak punya uang. Sementara dua puluh orang itu... mereka hidup di mansion, punya puluhan mobil mewah, anak-anak mereka kuliah di luar negeri."
"Adipati Guntur..." bisik Alex. "Nama itu yang paling sering Papa sebut."
Jonathan mengangguk. "Dialah dalangnya. Dia yang memimpin semuanya. Dan besok, seluruh dunia akan tahu siapa dia sebenarnya."
Elena tiba-tiba turun dari kursinya, berlari memeluk ayahnya dari belakang. "Papa... aku takut."
Jonathan berbalik, memeluk putri kecilnya erat-erat. Ia mengecup puncak kepala Elena berkali-kali. "Papa juga takut, sayang. Tapi Papa tidak bisa diam saja."
Clara bangkit, berjalan menghampiri keluarganya. Ia memeluk Jonathan dan Elena dari samping. Alex ikut mendekat, memeluk mereka semua.
Di ruang makan kecil itu, keluarga Rafael berpelukan erat. Hujan di luar semakin deras. Angin mulai berhembus kencang.
"Apapun yang terjadi," bisik Jonathan, suaranya serak, "kalian adalah hal terbaik yang pernah Papa miliki. Papa mencintai kalian."
"Kami juga mencintai Papa," jawab Alex, menenggelamkan wajahnya di bahu ayahnya.
Clara menangis dalam pelukan itu. Entah kenapa, hatinya terasa sangat sesak. Seolah ini adalah pelukan terakhir mereka.
Jonathan memejamkan mata, menghirup aroma rambut anak-anaknya, merasakan kehangatan istri yang telah menemaninya selama delapan belas tahun. Ia tahu. Ia tahu besok mungkin segalanya akan berubah. Ia tahu orang-orang yang ia ungkap tidak akan tinggal diam.
Tapi ia sudah memilih.
Untuk keadilan. Untuk masa depan yang lebih baik. Untuk anak-anaknya.
Meski ia harus membayarnya dengan nyawa.
"Ayo tidur," kata Jonathan akhirnya, melepas pelukan itu perlahan. "Sudah larut."
Elena menguap. "Papa tidur di kamarku malam ini?"
Jonathan tersenyum. "Boleh. Papa akan bacakan dongeng untuk Elena."
"Aku juga mau!" Alex, meski sudah lima belas tahun, masih ingin merasakan kehangatan masa kecilnya.
"Baiklah. Kalian berdua tidur di kamar Elena malam ini. Mama dan Papa akan menemani kalian sampai tidur."
Malam itu, keluarga Rafael berkumpul di kamar kecil Elena. Jonathan membacakan dongeng tentang ksatria pemberani yang melawan naga jahat. Clara berbaring di samping Elena, mengusap rambut putrinya dengan lembut. Alex berbaring di kasur tipis di lantai, mendengarkan suara ayahnya.
Satu per satu, mereka tertidur.
Yang tidak mereka tahu, di luar sana, sepuluh orang sedang bersiap.
Dan jam terus berdetak.
Menghitung mundur menuju malam yang akan mengubah segalanya.
Malam yang akan merenggut segalanya.
Malam pembantaian.