Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kebun binatang
Minggu pagi selalu datang tanpa terburu-buru.
Elara baru saja menyelesaikan putaran terakhirnya mengelilingi area mansion. Napasnya masih sedikit tersengal ketika ia berhenti di dekat taman kecil depan rumah. Ia duduk di bangku kayu, membuka botol minum, lalu meneguk air perlahan.
Tenang.
Hari tanpa sekolah selalu memberinya ruang untuk bernapas.
Baru saja ia menutup botolnya, ponsel di saku celana training-nya bergetar.
Arsenio.
Elara menurunkan alisnya sedikit, lalu membuka chat itu.
>nio:
Udah selesai olahraganya?
Elara tersenyum kecil.
> Elara:
Baru kelar. Kenapa?
Beberapa detik berlalu. Typing bubble muncul… lalu hilang. Muncul lagi.
> nio:
Hari ini lagi kosong gak?
Elara mengernyit tipis. Aneh. Biasanya Arsen tidak banyak basa-basi.
> Elara:
Harusnya iya. Kenapa?
Chat berikutnya masuk lebih cepat.
> nio:
Ke kebun binatang, mau?
Elara berhenti minum.
Kebun binatang?
Ia menatap layar ponsel lebih lama, memastikan dirinya tidak salah baca. Dari sekian banyak kemungkinan—ngopi, keliling kota, kebun binatang bukan sesuatu yang biasa keluar dari Arsenio Ravindra Mahesa.
> Elara:
Kok tiba-tiba, banget?
Beberapa detik hening.
> nio:
Pengen aja.
Jawaban singkat itu justru membuat Elara tersenyum.
> Elara:
cuman kita berdua, atau sama yang lain?
Tak sampai satu menit, balasan datang.
> nio:
iya cuman kita berdua, mau gak?
Elara terkekeh kecil, jarinya bergerak cepat.
> Elara:
Yaudah. Tapi aku mandi dulu.
> nio:
okk
Elara membaca satu kata itu sambil menggeleng pelan.
Masih sama.
Ia berdiri, melangkah masuk ke mansion dengan perasaan ringan yang tak ia sadari sedang tumbuh.
---
Di tempat lain, Arsen berdiri di depan lemari kamarnya. Ia segera meraih jaket, lalu mengambil kunci mobil di meja.
Pikirannya hanya satu: Elara.
Baru saja ia hendak keluar kamar, suara bundanya memanggil dari ruang tengah.
“Arsen.”
Ia berhenti.
“Iya, Bun?”
“Kamu mau pergi?”
“Iya.”
“Sekalian bawa Rafa ya.”
Arsen menoleh. “Hah?”
“Keponakan kamu. Tante kamu sama Bunda mau keluar sebentar.”
Arsen menghela napas pelan. “Bun, aku mau pergi—”
“Bunda tahu,” potong bundanya. “Tapi ini penting. Tante kamu mau siapin pertunangan saudara kamu. untuk kali ini rafa gak bisa diajak dulu takut ganggu, jadi bunda mau nitipin rafa kekamu bolehkan”
Arsen terdiam.
Pertunangan.
Ia mengusap tengkuknya. Rencananya hari ini cuma satu: Elara. Tidak ada anak kecil. Tidak ada gangguan.
“Bun… aku—”
“Sekali ini aja, Sen,” ucap bundanya lembut tapi tidak memberi ruang untuk menolak.
Beberapa detik berlalu sebelum Arsen akhirnya mengangguk kecil. “Iya.”
Tak lama kemudian, Rafa muncul dengan tas kecil dan topi lucu di kepalanya.
“Om Alsen!” serunya ceria.
Arsen mengangkat Rafa sebentar, lalu menurunkannya. “Kamu ikut Om hari ini.”
Rafa bersorak kecil.
★★★
Elara berdiri di depan cermin kamarnya lebih lama dari biasanya.
Ia memiringkan kepala sedikit, menatap pantulan dirinya sendiri. Rambut hitamnya dibiarkan terikat, dan helaian rambut tertiup pelan oleh angin dari jendela yang terbuka. Atasan rajut berwarna hijau lembut membingkai tubuhnya dengan sederhana, dipadukan dengan rok panjang putih yang jatuh anggun hingga mata kaki. Sepatu sneakers putih membuat penampilannya tetap kasual, tapi manis.
Cantik.
Elara menghembuskan napas kecil, lalu tersenyum tipis pada bayangannya sendiri.
Belum sempat ia melangkah menjauh dari cermin, suara mobil yang dikenalnya masuk ke halaman mansion terdengar jelas. Jantung Elara refleks berdetak sedikit lebih cepat.
“Arsen…”
Ia langsung meraih tas kecilnya dan bergegas keluar kamar. Namun langkahnya terhenti begitu kakinya menginjak anak tangga terakhir.
“El.”
Suara itu membuat Elara berhenti.
Papa Samudera berdiri di ruang tengah, menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Mau ke mana kamu?”
Elara menelan ludah kecil, lalu tersenyum manis. “Ehh… Papa. Hari ini El mau ke kebun binatang sama nio, Boleh kan, Pa?”
Papa Samudera menyilangkan tangan, terlihat berpikir. “Kebun binatang?”
“Iya,” jawab Elara cepat. “Cuma sebentar kok.”
Papa Samudera menghela napas pelan. “Gimana ya…”
Elara langsung mendekat, menarik lengan papanya pelan. “Plisss, Pa. Boleh ya.”
Tatapan memohon itu membuat Papa Samudera akhirnya tersenyum kecil, kalah. “Ya sudah. Tapi pulangnya jangan malam. Dan hati-hati.”
Wajah Elara langsung berbinar. “Makasih Papa!”
Ia mencium pipi papanya sekilas, lalu berbalik cepat. “Elara berangkat dulu ya!”
Papa Samudera hanya menggeleng pelan sambil tersenyum melihat anak gadisnya berlari kecil keluar mansion.
Di depan, mobil Arsen sudah terparkir rapi.
Elara membuka pintu depan dan duduk di kursi penumpang. “Hai.”
“Hai,” jawab Arsen singkat, menoleh sebentar padanya.
Belum sempat Elara mengatakan apa-apa lagi, sebuah suara kecil terdengar dari belakang.
“Hai juga, kakak cantik.”
Elara membeku.
Ia menoleh pelan ke kanan, lalu ke kiri, lalu kembali menatap depan. Wajahnya berubah serius.
“Nio…” ucapnya perlahan. “Kamu ngerasa ada yang ngomong nggak sih barusan?”
Arsen menahan senyum.
“Jangan-jangan mobil kamu angker lagi,” lanjut Elara serius. “Atau ada hantunya.”
Sudut bibir Arsen terangkat tipis.
“Maca Lafa dicebut hantu, cihh,” suara kecil itu kembali terdengar, dengan pelafalan cadel.
Elara langsung berbalik.
Matanya membulat ketika melihat seorang anak kecil duduk manis di kursi belakang. Wajahnya imut, rambutnya rapi, dan matanya menatap Elara dengan penasaran.
“El…” Arsen baru ingin bicara, tapi Elara sudah lebih dulu menunjuk anak itu.
“Nio,” ucapnya pelan tapi tajam. “Ini anak siapa.”
Arsen menggaruk belakang lehernya. “Itu—”
“Jangan-jangan kamu nyulik ya?” lanjut Elara setengah bercanda, namun nadanya terdengar serius.
Arsen mendesah kecil. “Itu anak tante aku. Bunda nitipin. Mereka mau nyiapin pertunangan buat saudara aku.”
Nada suaranya sedikit bersalah. “Nggak papa kan?”
Elara menatap Arsen beberapa detik, lalu menggeleng pelan. “Gak papa sih… tapi aku kaget.”
Ia kembali menoleh ke belakang. “Tapi kok kamu biarin dia duduk sendirian di belakang sih?”
Nada kesalnya jelas terdengar.
Arsen mengangkat bahu. “Dia cerewet. aku nggak suka.”
“Enak aja,” sahut anak kecil itu sambil melotot. “Lafa celewet.”
Elara terkekeh kecil, lalu menoleh ke belakang. “Ihh kamu lucu banget. Mau duduk sama kakak nggak?”
“Mau!” jawabnya tanpa ragu.
“Eh—” Arsen refleks menoleh. “Jangan. Nanti kamu pegel.”
“Nggak papa,” jawab Elara cepat. “Kasihan dia sendirian.”
Arsen terdiam beberapa detik, lalu mengangguk kecil. “Yaudah.”
Anak kecil itu langsung pindah ke depan dan duduk di pangkuan Elara dengan wajah puas.
“Asikk,” katanya ceria. “Duduk sama kakak cantik.”
Elara tertawa kecil. “Kamu juga imut ganteng lagi.”
arsen yang mendengar itu seketika ingin muntah
Ia menatap anak itu lembut. “Nama kamu siapa?”
“Nama aku Lafa.”
“Hah?” Elara mengernyit. “Lafa?”
“Bukan lafa,” bantahnya kesal. “r-lafa.”
Arsen akhirnya tertawa kecil sambil menyalakan mobil. “Namanya Rafa. Dia masih susah ngomong R.”
“Ohhh,” Elara mengangguk paham. Ia mengelus kepala Rafa pelan. “Salam kenal ya, Rafa.”
Rafa tersenyum lebar.
Arsen melirik sekilas dari samping. Melihat Elara memangku Rafa dengan alami—tanpa ragu, tanpa canggung—entah kenapa membuat dadanya terasa hangat.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, senyumnya benar-benar kembali.