Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Benang Hitam di Kota Mode
Wanita yang berdiri di depan Arini adalah Helena Vance, direktur dari salah satu konsorsium mode terbesar di dunia yang berbasis di Paris. Kehadirannya di Jakarta bukan tanpa alasan. Ia telah mengamati bagaimana Arini mengubah skandal penghianatan menjadi strategi pemasaran yang brilian melalui koleksi "Menjahit Luka". Namun, tatapan Helena yang tajam kini beralih kepada Damar, dan suasana seketika berubah menjadi kaku.
"Arini, karyamu luar biasa. Kau memiliki ketajaman yang jarang dimiliki desainer Asia," ujar Helena dengan aksen Prancis yang kental. "Aku ingin membawamu ke Paris Fashion Week 2026 sebagai tamu kehormatan. Namun, kerja sama ini hanya bisa terjadi jika Damar menjelaskan perannya dalam kegagalan Vance Textile tujuh tahun lalu."
Arini tertegun. Ia menoleh ke arah Damar, yang kini wajahnya tampak sangat pucat. Genggaman tangan Damar pada Arini perlahan melonggar. Ada sesuatu yang belum pernah Damar ceritakan tentang alasannya meninggalkan Paris dan kembali ke Indonesia saat itu.
"Apa maksudnya ini, Damar?" tanya Arini pelan. Rasa curiga yang dulu sempat padam kini kembali menyulut api kecil di hatinya.
Damar menghela napas panjang, menatap aspal di bawah kaki mereka. "Helena, aku tidak bermaksud menghancurkan perusahaan itu. Aku hanya mencoba menyelamatkan buruh-buruh pabrik dari bahan kimia berbahaya yang kalian gunakan."
"Dan dengan melakukan itu, kau membocorkan rahasia dagang kami ke publik, Damar," potong Helena dingin. "Kau hampir membuat kami bangkrut. Arini, aku menawarkanmu panggung dunia, tapi aku tidak bisa bekerja sama dengan perusahaan yang berafiliasi dengan pria yang pernah mengkhianati kerahasiaan industrimu sendiri."
Arini merasa dunia kembali berputar dengan cara yang menyakitkan. Ia baru saja melepaskan diri dari pengkhianatan Adrian, dan kini ia dihadapkan pada fakta bahwa Damar—pria yang baru saja ia percayai—juga memiliki label "pengkhianat" di mata industri internasional, meski alasannya tampak mulia.
"Aku butuh waktu untuk berpikir," ujar Arini tegas, memecah ketegangan di antara mereka. Ia menatap Helena tanpa gentar. "Aku tidak akan mengorbankan integritas bisnisku, tapi aku juga tidak akan menghakimi seseorang tanpa mendengar cerita lengkapnya."
Helena mengangguk kecil, memberikan kartu namanya. "Kau punya waktu empat puluh delapan jam, Arini. Paris menunggu, tapi keadilan bisnis tidak mengenal kompromi."
Setelah mobil Helena pergi, Arini berbalik menghadap Damar di parkiran yang mulai sepi. Angin sore meniup rambut Arini, menutupi sebagian wajahnya yang kini tampak sangat letih.
"Kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku, Damar?" tanya Arini, suaranya bergetar bukan karena sedih, tapi karena rasa kecewa yang mendalam. "Kau membiarkanku percaya bahwa kau kembali hanya karena aku, sementara ada skandal sebesar ini yang kau sembunyikan."
"Karena aku takut kau akan melihatku sama seperti kau melihat Adrian," jawab Damar dengan nada putus asa. "Aku melakukan pengkhianatan itu demi kemanusiaan, Arini. Aku tidak bisa membiarkan kain-kain indahmu dibuat dari darah dan penyakit para pekerja. Tapi di dunia bisnis, aku tetaplah seorang pembocor rahasia."
Arini terdiam. Ia memandangi tangannya yang selama ini begitu mahir menjahit kain. Ia menyadari bahwa hidup ternyata tidak pernah memiliki benang yang benar-benar putih bersih. Semua orang membawa benang hitam mereka masing-masing.
"Aku butuh waktu sendirian, Damar," ucap Arini sembari berjalan menuju mobilnya. "Aku harus memutuskan apakah aku akan menjahit masa depanku di Paris bersamamu, atau tanpamu. Karena kali ini, jika aku membuat kesalahan lagi dalam memilih benang, aku tidak tahu apakah aku masih punya kekuatan untuk merobeknya kembali."
Malam itu, Arini kembali ke studionya, menatap gaun merah marun dengan kancing emas pemberian Damar. Ia menyadari bahwa luka lama belum benar-benar sembuh, dan kini ia harus memutuskan: apakah kejujuran yang terlambat lebih baik daripada pengkhianatan yang terencana? [1][2]