Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Xavier berharap dalam dinginnya hujan seperti ini ada Helen yang menemaninya. Tapi pikirannya terlalu jauh — mana mungkin Helen melakukan hal itu? Karena yang Xavier tahu, Helen tidak mungkin mau bersama dirinya.
Setelah sampai di rumah, Xavier langsung masuk dan membersihkan diri.
Setelah selesai, ia mencoba melihat CCTV barnya sambil menaruh pipinya di atas tumpukan tangannya. Xavier menghela napas melihat Helen di layar handphonenya sambil mengusap layar itu pelan.
“Kamu cantik… tapi kenapa kamu tidak peka sama aku, sayang?” bisiknya lirih.
Xavier sudah mencoba berbuat baik kepada Helen, tapi Helen malah menolak. Seolah Helen juga takut kepadanya. Lantas, Xavier harus berbuat apa agar bisa mendekati Helen?
Tak lama kemudian, handphone Xavier berdering — panggilan dari kliennya. Ia hanya diam dan segera mengurus pekerjaannya. Setelah selesai, Xavier ketiduran di atas kasur karena kelelahan dan kurang tidur.
Keesokan paginya, Xavier terbangun dan sadar bahwa dirinya tidur terlalu lama. Ia pun memutuskan mengambil cuti selama seminggu. Semua pekerjaannya sudah selesai, dan kini Xavier ingin pergi berlibur.
Namun, di dalam hati, Xavier tetap merindukan Helen. Lantas, apa yang harus ia lakukan?
Sekretaris Xavier datang membawa berkas yang harus ditandatangani. Xavier menghela napas panjang.
“Kenapa sih kamu datang sekarang? Emangnya kamu nggak tahu saya lagi cuti seminggu?”
“Maaf, Pak Xavier. Ini berkas penting yang harus ditandatangani. Kalau tidak, proyeknya bisa tertunda,” jawab sekretarisnya pelan.
Xavier sempat bingung, namun setelah melihat isi berkas itu, ia jadi paham. Setelah menandatangani semuanya, ia kembali menikmati sarapan yang disiapkan oleh bibik yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
“Tuan, ini makanannya.”
“Makasih, Bik. Bik, seminggu ini saya cuti. Saya mau liburan. Bibik juga liburan aja ya, kan sudah lama nggak pulang kampung. Pasti bibik kangen kampung dan anak-anak, kan?”
“Bibik sudah tua, Tuan. Jadi kalau mau pulang tuh rasanya sudah nggak kuat,” jawab bibik dengan senyum kecil.
Xavier jadi kepikiran tentang Helen lagi. Apakah selama dirinya libur, Helen juga akan berlibur? Ia mencoba untuk tidak peduli, tapi pikirannya terus kembali pada Helen.
Tiba-tiba Xavier berteriak, membuat bibik terkejut.
“Tuan, ada apa?”
“Tidak apa-apa, Bik. Cuma kepikiran hal yang nggak penting. Ya udah, Bik, nanti pulang aja, ya. Saya nggak enak kalau bibik sendirian di sini.”
“Tuan, bibik lebih senang di sini daripada pulang. Pulangnya repot.”
“Tenang, Bik. Nanti ada supir yang temani. Bibik bilang aja ke supir, ya. Jangan pikirkan apa-apa. Soal bensin, biar saya yang urus.”
Bibik merasa senang mendengar perhatian Xavier, walau ia sempat merasa membebani. Namun Xavier tidak merasa begitu — baginya, membantu bibik adalah kebahagiaan tersendiri.
“Bibik, nanti gajinya saya bayar sekalian sama bonusnya, ya. Bibik mau bawa pulang oleh-oleh apa? Nanti pilih aja, saya yang bayar.”
“Tidak usah, Tuan. Sudah bisa pulang aja, bibik sudah senang. Bibik tidak mau menambah beban Tuan, karena Tuan sudah terlalu baik.”
Xavier tersenyum. Ia kemudian masuk ke kamar untuk beres-beres pakaian. Setelah selesai, ia berangkat ke bandara untuk berlibur.
Sambil menunggu pesawat, Xavier membeli makanan dan minuman agar tidak lapar dan haus di perjalanan. Kadang, ia tidak cocok dengan makanan pesawat, jadi ia lebih memilih membawa bekal sendiri.
Setelah selesai membeli makan dan minum, ia berjalan menuju pesawat, memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Xavier merasa butuh liburan agar pikirannya lebih jernih, agar tidak semakin kacau.
Di dalam pesawat, Xavier sempat berniat menikmati pemandangan dari jendela, tapi malah ketiduran.
Tak terasa, ia sudah sampai di tempat tujuan — sebuah pantai. Kali ini, ia memilih berlibur ke tempat yang bernuansa pantai karena ingin menyatu dengan alam. Tadinya ia ingin ke pegunungan, tapi ia tidak tahan jika harus mendaki, jadi pantai adalah pilihan terbaik.
Setelah sampai di penginapan miliknya sendiri, Xavier tak menyangka pemandangannya begitu indah. Rasanya ia ingin tinggal di sana lebih lama daripada di kota.
Hidup di kota membuat pikirannya rumit — kalau bukan soal pekerjaan, ya soal wanita.
Pekerjaan adalah hal yang Xavier sukai, jadi ia tidak pernah merasa terbebani olehnya.
Namun tiba-tiba sekretarisnya mengirim laporan: Helen sedang jalan bersama Bobby di pantai.
Xavier ingin marah, tapi sadar — dirinya bukan siapa-siapa. Untuk apa marah? Daripada emosi, ia memilih menghibur diri dengan berjalan di tepi pantai dan mematikan handphone-nya.
Meski begitu, ia tak bisa menahan diri untuk tidak berpikir: andai saja Helen ada di sini.
Xavier tidak bisa marah kepada Helen, meski wanita itu sudah menyakiti hatinya. Ia selalu memaafkannya. Entah terbuat dari apa hati Helen — Xavier hanya bisa menatap foto Helen yang tersenyum bersama Bobby, lalu merasakan hatinya remuk.
Ia berharap Helen tidak benar-benar berpacaran. Tapi, apa hubungannya dengan dirinya? Xavier bukan siapa-siapa Helen. Lalu kenapa harus marah?
Ia sadar, dirinya harus tahu tempat. Jangan terlalu berharap banyak pada Helen.
Seminggu berlalu. Xavier pulang dari liburan. Sesampainya di bandara, ia dijemput oleh sekretarisnya.
“Gimana urusan kantor? Aman?”
“Aman, Pak. Tenang aja, apalagi urusan bar.”
Xavier hanya mengangguk. Namun saat naik ke mobil, ia kaget — Helen ada di dalam.
Xavier ingin senang, tapi merasa seperti sedang bermimpi.
“Kamu? Kamu beneran Helen?” tanyanya pelan.
Helen diam, wajahnya terlihat kesal karena harus berada di mobil Xavier. Padahal Xavier tidak mencarinya, tapi entah bagaimana Helen bisa datang duluan.
“Kayaknya aku nggak pernah nyuruh kamu ke sini. Kamu tahu dari mana aku liburan? Kamu stalker aku, ya?”
“Katanya, dalam waktu setahun akan ada kenaikan pangkat. Tapi kenapa aku belum naik pangkat? Katanya kalau mau naik pangkat harus bicara dulu sama kamu. Maksudnya apa?”
Xavier diam. Mungkin ini ide sekretarisnya. Padahal, Helen memang sudah layak naik pangkat sebelum ia menanyakannya.
“Oh… jadi kamu ke sini jauh-jauh cuma buat minta dinaikkan pangkat?”
“Ya.”
“Kamu mau naik pangkat jadi apa emangnya? Dan kamu sudah kerja berapa lama?”
Helen marah. Kalau tahu bosnya adalah Xavier, ia tidak akan mau bekerja di sana. Tapi hanya tempat itu yang menggajinya cukup besar. Tempat lain tidak ada gaji sama sekali. Helen tidak punya pilihan.
Ia bekerja untuk melarikan diri dari pamannya yang gila. Sejak bibinya meninggal, hidup Helen jadi berantakan. Pamannya pernah melecehkannya, dan sejak itu Helen tidak mau lagi peduli pada laki-laki tua itu.
“Emangnya kamu mau naik jabatan sebagai apa?” tanya Xavier akhirnya.
Helen terdiam. Ia tahu bosnya menyukainya. Mungkinkah jika ia meminta sesuatu, apa pun itu, Xavier akan mengabulkan?
“Mau jabatan manajer… kalau bisa,” ucap Helen akhirnya.
“Ya sudah, kalau begitu besok kamu jadi manajer,” kata Xavier tenang. “Saya mau lihat kinerja kamu. Kalau bagus, saya nggak masalah. Tapi kalau ada kekurangan, ya saya akan menyalahkan kamu. Nggak masalah dong, kan kamu sendiri yang mau tanggung jawab atas itu.”