Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
Sabtu pagi, jam setengah tujuh. Kael duduk di depan TV tabung di rumah kontrakannya, remote control digenggam erat di tangan kanan, kaset VHS kosong siap dimasukkan ke VCR untuk merekam tayangan perdana mereka. Jantungnya berdegup kencang, lebih kencang dari saat ia pertama kali presentasi di depan Bu Ratna.
Dimas, Rani, dan Budi yang baru pulang kemarin malam dari kampung dengan kabar bahwa ayahnya sudah membaik duduk di lantai dengan posisi yang sama tegang. Arman bahkan datang dengan membawa kue bolu buatan ibunya, tapi tidak ada yang menyentuhnya. Semua mata tertuju pada layar yang masih menampilkan iklan susu anak.
"Gue nervous banget," gumam Budi sambil menggigit kukunya, kebiasaan buruk yang muncul setiap kali ia cemas.
"Kita semua nervous, Bud," jawab Dimas tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV.
"Harusnya gue bikin ending yang lebih bagus. Adegan terakhir masih kerasa terburu-buru." Rani memeluk lututnya, suaranya penuh penyesalan yang terlambat.
"Ran, kita udah revisi itu tiga kali. Itu udah bagus." Kael mencoba menenangkan, meskipun ia sendiri tidak yakin. Di dalam hatinya, ada seribu keraguan yang berteriak, apakah animasi mereka cukup bagus? Apakah anak-anak akan suka? Apakah Bu Ratna akan kecewa?
Lalu, musik pembuka acara TVRI dimulai. Logo TVRI muncul dengan animasi sederhana yang sudah puluhan tahun tidak berubah. Pembawa acara, seorang kakak-kakak dengan senyum lebar dan suara ceria muncul di layar.
"Selamat pagi, adik-adik! Hari ini kita punya sesuatu yang spesial. Sebelum kita masuk ke dongeng pagi, kita mau tunjukin karya anak negeri, animasi lokal pertama yang dibuat oleh tim muda dari Jakarta. Judulnya 'Petualangan Rizal: Kucing di Pasar Malam'. Yuk, kita tonton!"
Layar berubah. Musik angklung yang lembut mulai terdengar. Visual pasar malam yang hangat muncul, lampu-lampu bohlam warna-warni, pedagang yang sibuk, anak-anak yang berlarian. Lalu Rizal muncul, bocah kecil dengan topi rajut dan senyum polos berlari sambil memanggil kucingnya.
Kael tidak bernapas. Ia menatap layar dengan mata terbuka lebar, jantungnya berdebar keras sampai ia bisa mendengarnya di telinga. Setiap gerakan Rizal, setiap background yang Rani gambar, setiap efek suara yang Budi dan Arman buat, semuanya hidup di layar TV. Nyata. Bukan lagi sketsa di kertas. Bukan lagi file di VHS. Tapi sesuatu yang bisa dilihat oleh ribuan, mungkin puluhan ribu anak Indonesia di pagi ini.
Empat setengah menit terasa seperti empat detik.
Ketika adegan terakhir muncul, Rizal memeluk kucingnya dengan senyum lega, musik angklung menutup dengan nada yang hangat, layar menjadi gelap. Kredit muncul dengan tulisan sederhana: "Animasi oleh Studio Garasi - Kael Ardhana, Dimas Prasetyo, Rani Kusuma, Budi Santoso, Arman Wijaya."
Studio Garasi. Nama yang mereka sepakati semalam, sebagai penghormatan pada tempat di mana semuanya dimulai.
Hening.
Lalu Budi berteriak-teriak kegirangan yang pecah dengan keras sampai tetangga sebelah mengetuk dinding dengan kesal. "KITA DI TV! KITA BENERAN DI TV!"
Rani menangis, tangis haru yang tidak bisa ia tahan lagi. Dimas tertawa sambil memeluk Kael dengan erat. Arman hanya tersenyum lebar sambil bertepuk tangan pelan.
Kael? Ia hanya duduk di sana, menatap layar yang sudah kembali menampilkan pembawa acara, air mata mengalir di pipinya tanpa suara. Ini bukan pertama kalinya karya animasinya tayang di TV, di kehidupan sebelumnya, ia sudah pernah mencapai kesuksesan yang lebih besar. Tapi entah kenapa, momen ini terasa jauh lebih berarti. Mungkin karena ini adalah hasil kerja keras yang murni, tanpa kompromi, tanpa investor yang mengontrol setiap keputusan. Ini adalah mimpi yang terwujud dengan cara yang paling jujur.
"Kita berhasil, Kael. Kita beneran berhasil," bisik Dimas sambil menepuk bahu Kael dengan lembut, suaranya bergetar menahan emosi.
"Belum. Ini baru awal. Kita harus liat respon penonton dulu." Kael menjawab sambil menyeka air matanya dengan punggung tangan, mencoba kembali ke mode realistis meskipun hatinya ingin meledak dengan kebahagiaan.
Respon datang lebih cepat dari yang mereka kira.
Senin sore, Bu Ratna menelepon Kael ke wartel, karena Kael tidak punya telepon di rumah. Suaranya terdengar antusias, tidak seperti biasanya yang formal dan tenang.
"Kael, kamu di mana? Bisa ke kantor sekarang? Ada yang perlu kita bicarakan," ucap Bu Ratna dengan nada yang membuat Kael tidak bisa menebak, apakah ini kabar baik atau buruk.
"Bisa, Bu. Saya ke sana sekarang."
Kael berlari ke garasi, mengajak Dimas dan Rani, Budi sedang ada urusan keluarga lagi. Mereka bertiga naik angkot menuju gedung TVRI dengan perasaan campur aduk.
"Menurut kalian kenapa Bu Ratna nelpon mendadak?" tanya Rani sambil memegang erat tas selempangnya, wajahnya pucat karena cemas.
"Mungkin ada komplain. Mungkin animasi kita jelek. Mungkin Bu Ratna mau batalin kontrak." Dimas menjawab dengan nada pesimis yang membuatnya terdengar lebih gugup dari biasanya.
"Atau mungkin ada yang suka. Jangan negative thinking dulu." Kael mencoba berpikir positif, meskipun di dalam hatinya ia juga khawatir.
Sampai di kantor Bu Ratna, mereka disambut dengan senyuman lebar, sesuatu yang jarang Bu Ratna tunjukkan.
"Duduk, duduk. Aku punya kabar bagus," ucap Bu Ratna sambil menunjuk kursi-kursi di depan mejanya, matanya berbinar dengan antusiasme yang membuat Kael sedikit lega.
"Kabar bagus?" Kael bertanya hati-hati, tidak berani terlalu berharap.
"Animasi kalian kemarin... responnya luar biasa. Telepon kantor gak berhenti dari pagi sampai tadi. Orang tua nelpon, guru SD nelpon, bahkan kepala sekolah dari beberapa daerah nelpon minta animasi kalian ditayangkan lagi. Mereka bilang anak-anak mereka suka banget. Minta episode selanjutnya." Bu Ratna berbicara dengan cepat, suaranya penuh semangat yang jarang ia tunjukkan.
Kael, Dimas, dan Rani saling pandang, mata mereka membulat dengan perasaan tidak percaya yang bercampur dengan kebahagiaan yang meledak-ledak.
"Serius, Bu?" tanya Rani dengan suara gemetar, tidak yakin apakah ia mendengar dengan benar.
"Serius. Bahkan ada kios kaset di Pasar Senen yang udah nanya, mereka mau jual rekaman animasi kalian. Aku bilang tunggu dulu, karena aku mau tanya kalian dulu." Bu Ratna membuka laci mejanya, mengeluarkan tumpukan kertas, surat-surat dari berbagai sekolah dan komunitas orang tua. "Ini semua surat yang masuk. Baca sendiri."
Kael mengambil salah satu surat dengan tangan gemetar. Tulisan tangan rapi dari seorang ibu di Bekasi "Terima kasih sudah membuat animasi yang bagus dan mendidik. Anak saya, Dina, sangat suka dengan karakter Rizal. Dia bahkan menggambar Rizal di buku gambarnya. Tolong buat episode lagi, ya!"
Dimas membaca surat lain dari seorang guru SD di Bogor "Saya memutar ulang rekaman animasi ini di kelas. Anak-anak sangat antusias. Mereka belajar tentang gotong royong dan kebaikan lewat cerita sederhana ini. Terima kasih."
Rani tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahu-bahunya bergetar.
"Kalian berhasil. Kalian beneran berhasil bikin sesuatu yang menyentuh hati orang." Bu Ratna tersenyum hangat, matanya juga sedikit berkaca-kaca. "Aku bangga sama kalian."
Kael tidak bisa bicara. Tenggorokannya terasa tersumbat oleh emosi yang terlalu besar untuk diungkapkan dengan kata-kata. Ia hanya bisa mengangguk pelan, air mata kembali mengalir.
"Sekarang, aku mau tanya. Kalian mau lanjut? Aku bisa kasih slot reguler, setiap Sabtu pagi. Tapi kalian harus komit bikin minimal dua episode per bulan. Aku tau itu berat, tapi... aku yakin kalian bisa." Bu Ratna menatap mereka bertiga dengan tatapan serius tapi penuh harapan.
Kael menatap Dimas dan Rani. Mereka berdua mengangguk, tidak ada ragu.
"Kami mau, Bu. Kami akan lanjut." Kael menjawab dengan suara yang akhirnya stabil, penuh tekad yang tidak bisa digoyahkan.
"Bagus. Kalau begitu, kita bikin kontrak resmi. Kalian akan dapat honor, tidak besar, tapi cukup buat beli peralatan yang lebih baik." Bu Ratna mengulurkan tangan. "Selamat datang di industri televisi, anak-anak muda."
Mereka bertiga berjabat tangan dengan Bu Ratna, jabat tangan yang menandai awal dari perjalanan yang jauh lebih panjang dan berliku dari yang mereka bayangkan.