Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam
[Malamnya]
"Nay!!!" teriak Serena dari dapur dengan suara yang menggema.
Serena terlihat sangat kesal dia berdiri di dekat meja makan yang kosong.
"Kamu ngapain teriak-teriak? Berisik!" tegur Alden yang baru turun dari kamarnya.
"Lihat! Naysila nggak masak! Aku lapar banget, seharusnya kan dia udah siapin makan malam di sini," kata Serena, tangannya menunjuk ke arah meja makan yang kosong.
"Lalu, apa kamu harus teriak-teriak seperti itu?"
"Harus dong! Biar Naysila turun dan masak, bukan cuma malas-malasan!"
Alden menghela napas, "Kamu kan bisa masak sendiri, kenapa harus mengandalkan Naysila?"
"Aku nggak bisa masak, Al. Aku gak punya keahlian seperti itu."
"Lalu?"
"Ya, harusnya Naysila yang memasak buat aku seperti biasa. Kalaupun aku bisa, aku akan masak sendiri."
Alden tersenyum mengejek, "Sepertinya Naysila benar, kalau kamu nggak tahu diri. Naysila bukan pembantu, dia adalah istriku yang sah di rumah ini, dan kamu nggak punya hak untuk menyuruh-nyuruh dia melakukan hal-hal seperti itu. Kamu perempuan, kamu bisa belajar masak. Jangan selalu mengandalkan orang lain untuk melakukan sesuatu yang bukan bagiannya."
"Kamu juga hanya menganggap dia sebagai pembantu, kan? Kamu gak pernah menganggap dia sebagai istri. Lalu, apa bedanya kamu denganku?"
"Tentu berbeda. Apapun yang Naysila lakukan untukku, itu akan jadi pahala untuknya sekalipun aku gak suka dia. Aku juga melakukan kewajibanku memberikan nafkah lahir padanya, walaupun tanpa nafkah batin. Jadi, itu setimpal, gak ada yang dirugikan. Tapi kamu? Apa yang bisa kamu berikan padanya sehingga kamu berani memerintah dia?"
Serena terdiam, rasa kesal dan malu bercampur aduk dalam dirinya setelah mendengar kata-kata Alden. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosinya. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang berbicara padanya seperti itu. Biasanya, para pria selalu menuruti keinginannya tanpa banyak bicara.
Namun, Alden berbeda. Ia tak segan-segan meremehkannya dan bahkan menyuruhnya untuk belajar memasak, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Serena merasa dipermalukan.
"Jadi, sekarang kamu mulai berpihak padanya?" tanyanya dengan suara lebih pelan, tak lagi meledak-ledak seperti tadi.
Alden mendesah pelan, sudah malas menanggapi Serena lebih lama. "Aku nggak membela siapa pun, aku hanya menyampaikan yang benar. Dan sekarang, kalau kamu lapar, cari makanan sendiri atau pesan di luar," ucapnya tegas.
Tanpa menunggu reaksi Serena, Alden berbalik dan berjalan menaiki tangga. Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan sekarang, yaitu memastikan keadaan Naysila.
Alden berdiri di depan pintu kamar Naysila, tangannya ragu untuk mengetuk. Tetapi, Alden merasa sangat khawatir padanya karena Naysila tidak juga keluar dari kamarnya sejak kembali ke rumah. Alden mengerti, mungkin Naysila tersinggung dengan perkataan Serena.
'Tok tok tok'
Alden akhirnya mengetuk pintu kamar Naysila, ia menunggu istrinya menyahut atau membukakan pintu.
"Nay?" panggilnya pelan.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya.
Naysila tidak menyahut. Tapi tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka sedikit. Alden menghela napas lega ketika melihat Naysila baik-baik saja.
"Ada apa, Mas?" tanya Naysila tanpa membukakan pintu lebih lebar.
"Kamu nggak apa-apa kan? Aku hanya khawatir. Sejak tadi kamu nggak keluar dari kamar."
"Aku nggak apa-apa, cuma lagi malas keluar aja."
"Oh."
Merasa Alden tidak memiliki kepentingan dengannya, Naysila hendak untuk menutup pintu. Tapi, Alden dengan cepat menahan pintu agar tidak tertutup. "Tunggu."
"Kenapa?" tanya Naysila.
"Kita belum makan malam."
"Aku minta maaf karena nggak masakin makan malam buat kamu. Mungkin kamu bisa meminta Serena memasak. Untuk sekarang, aku lagi nggak ingin memasak. Aku merasa gak enak badan," jawab Naysila yang langsung menjelaskan kondisinya pada Alden, seolah sadar suaminya sedang lapar.
"Bukan itu. Aku cuma bilang kalau kita belum makan. Kalau kamu mau, gimana kalau kita makan di luar?" timpal Alden cepat.
Naysila tertegun, ia menatap suaminya. Ia merasa aneh, tak pernah sebelumnya Alden mengajaknya makan malam diluar. Ini sesuatu yang tidak biasa dilakukan suaminya.
"Maaf, aku nggak terlalu lapar. Kalau kamu memang mau makan di luar, kamu ajak Serena saja. Aku mau istirahat," Naysila menolak tawaran suaminya.
Setelah itu, Naysila menutup pintu kamarnya sebelum Alden bereaksi kembali.
Alden menelan ludah dengan kasar, penolakan dari Naysila cukup membuatnya tersinggung. Namun, Alden sadar mengapa Naysila menolak dirinya, sikap Naysila memang lebih dingin setelah ia membawa Serena ke rumah.
Alden beranjak, ia pergi dari sana tanpa berkata-kata. Sementara itu, Naysila duduk di lantai dengan bersandar pada pintu kamarnya, ia merasakan sesal telah menolak ajakan Alden.
Naysila tahu, Alden mungkin ingin memperbaiki hubungan dengannya sehingga sikapnya berubah perlahan-lahan. Tetapi, Naysila tetap tidak bisa menerima perbuatan Alden padanya yang menikah lagi tanpa izin darinya.
Naysila sangat paham mengapa suaminya melakukan itu, sebab Alden tak pernah mencintainya dan sangat ingin dirinya pergi. Bagi Naysila, Alden termasuk orang yang jahat, tidak punya hati dan sangat kejam. Ia bertekad untuk tak akan terpengaruh dengan apa yang Alden lakukan padanya untuk mempertahankan rumah tangga mereka.
"Malam, cepatlah berlalu... Aku ingin pulang..."
*
Dini Hari...
'Tok tok tok'
"Nay!"
Pintu kamar Naysila diketuk dengan keras lalu diiringi dengan panggilan yang tak kalah keras. Naysila yang sedang terlelap dalam tidurnya, terperanjat akibat suara itu.
"Naysila! Buka pintunya!"
Suara itu tak asing.
Ya, suara Serena.
Naysila turun dari tempat tidurnya, memakai jilbab dan mendatangi pintu. Naysila membuka pintunya, Serena berdiri di sana dengan raut wajah yang panik.
"Kenapa kamu gedor-gedor pintu kamarku semalam ini? Kamu nggak punya sopan santun," tegur Naysila, cukup kesal.
"Gimana aku nggak gedor-gedor pintu kamar kamu? Aku panik banget," kata Serena.
"Panik kenapa? Kamu kan bisa minta bantuan sama Mas Alden kalau ada apa-apa sama kamu. Kenapa harus ganggu aku?"
"Justru itu, aku panik karena Alden."
"Mas Al? Memangnya dia kenapa?"
"Alden demam tinggi, tapi dia nggak mau aku obati. Dia malah membungkus diri dengan selimut dan usir aku setiap aku mendekat," Serena menjelaskan.
Naysila terkejut, Alden pasti demam tinggi gara-gara semalam kehujanan bersamanya.
"Terus, kenapa kamu panggil aku?" tanya Naysila, pura-pura tak peduli.
"Alden sebut nama kamu terus! Mungkin dia pengennya dirawat sama kamu, bukan aku. Makanya, cepetan kamu ke kamar dan lihat kondisi dia, obati dia biar demamnya reda!" jawab Serena dengan sikap jutek.
Serena pergi dari hadapan Naysila, ia kembali masuk ke dalam kamar Alden.
Naysila dilema, entah ia harus benar-benar masuk ke kamar Alden atau tidak. Naysila sebenarnya sangat khawatir dengan kondisi suaminya, Alden sakit karenanya. Tetapi, Naysila juga ragu untuk masuk, karena belum tentu Alden benar-benar ingin ia yang merawatnya.
Naysila berpikir cukup lama, hingga akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar Alden dengan niat hanya untuk melihatnya saja.
Saat Naysila membuka pintu kamar Alden, dia celingak-celinguk mencari sosok Alden di kamar itu, tetapi Alden tak ada bahkan di tempat tidur. Hanya ada Serena di sana, wanita itu meringkuk sendirian dan tak peduli Naysila masuk kamarnya.
"Di mana Mas Al?" gumam Naysila.
Naysila merasa aneh, seharusnya Alden ada di tempat tidur jika memang sedang sakit.
"Kenapa mereka tidur terpisah?" tanyanya dalam hati.
Akhirnya, Naysila mendengus, ia berpikir Serena hanya mengerjainya saja.
"Kurang kerjaan!" umpatnya pelan sambil melangkah keluar.
"Hei, mau ke mana lagi?" tiba-tiba Serena bertanya padanya.
Naysila menghentikan langkahnya, "Aku mau balik ke kamarku. Kamu kurang kerjaan banget ngerjain aku."
"Siapa yang ngerjain kamu? Aku serius soal Alden yang sakit. Kalau kamu nggak percaya, cek aja ke ruangan kerjanya," kata Serena acuh tak acuh.
Naysila mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tak wajar dengan Serena dan Alden. Tapi, Naysila tidak bertanya lagi, ia gegas masuk kembali dan berjalan ke arah ruangan kerja suaminya yang terletak di samping kamar mandi.
Kamar Alden sangat luas, memiliki dua ruangan yang berbeda di dalamnya selain kamar tidur. Yaitu kamar mandi dan ruang kerja. Naysila pernah beberapa kali masuk ke kamar suaminya, tapi hanya untuk membersihkan kamarnya saat Alden diluar kota.
Naysila ragu-ragu ketika memegang gagang pintu ruang kerja, ia takut suaminya tak suka dengan kedatangannya. Namun, Naysila sangat cemas, ia tak bisa membiarkan suaminya sakit sendirian.
"Mas," panggil Naysila pelan. "Aku masuk ya."
Naysila memutar gagang pintu dan membuka pintu ruangan itu dengan hati-hati. Saat Naysila telah masuk ke ruangan itu, ia terbelalak ketika melihat Alden benar-benar membungkus dirinya dengan selimut tebal, ia tampak menggigil kedinginan. Naysila segera mendekat dan menghampiri Alden.
"Mas, kamu kenapa?" tanyanya.
Alden tidak menjawab, hanya terus menggigil, selimutnya pun terlihat bergetar hebat.
Tak menunggu lama, Naysila berlari keluar dari kamar Alden dan pergi ke dapur. Ia mengambil sebaskom air hangat dan sapu tangan jenis handuk miliknya, lalu bergegas kembali ke kamar Alden.
Naysila meletakkan baskom air tadi atas meja, kemudian menarik selimut yang menutupi tubuh Alden perlahan. Saat selimutnya terbuka, Naysila melihat Alden sangat kedinginan, bibirnya pucat dan matanya terpejam. Ia menyentuh dahi Alden, dan benar saja tubuhnya sangat panas.
"Mas, aku kompres ya, biar demamnya turun?" Naysila meminta izin.
Alden tak menjawab, matanya masih terpejam namun tak tidur.
Naysila dengan berani meluruskan posisi tidur Alden dan memastikan kepalanya bersandar dengan nyaman di bantal. Naysila memeras sapu tangan yang ia celupkan ke air hangat, lalu menempelkannya di dahi Alden.
Alden masih menggigil, Naysila menyelimuti suaminya hingga menutup dada. Mata Naysila menatap wajah suaminya, ada rasa kasihan pada Alden, tapi juga benci dengan perbuatannya.
"Nay..." Alden tiba-tiba menyebut namanya dengan suara parau.
Naysila terhenyak. Ternyata benar apa yang dikatakan Serena, suaminya memang memanggil namanya.
"Nay..."
Naysila menelan ludah, ia tak percaya Alden terus menyebut namanya meskipun matanya terpejam. Entah mengapa Alden terus menyebut namanya, mungkinkah ia tengah bermimpi tentangnya?
Naysila menyentuh tangan Alden dan menggenggamnya, "Aku di sini, Mas..."
Alden hanya balas menggenggam tangan Naysila, tidak mengatakan apapun apalagi membuka mata.
Beberapa menit kemudian, Naysila mencelupkan kembali sapu tangan itu, memerasnya dan menempelkannya kembali ke dahi Alden. Naysila melakukannya berulang-ulang setiap kali sapu tangan sudah kering, ia berusaha menjaga Alden dan memastikan panasnya turun.
Setelah dilakukan berulang-ulang, demamnya akhirnya turun, tubuhnya tidak terlalu panas. Naysila melakukannya sekali lagi dan membiarkan kain itu tetap berada di dahi suaminya.
Naysila melirik jam dinding di ruangan itu, waktu sudah menunjukkan pukul 03:50. Itu artinya ia telah berada di sana selama lebih dari satu jam. Alden juga tertidur pulas, wajahnya terlihat tenang dalam tidurnya sementara tangan Naysila masih di genggam olehnya.
Naysila mulai menguap, ia kembali mengantuk. Kepalanya akhirnya di sandarkan pada sisi lain bantal yang Alden tiduri. Naysila tak ingin meninggalkan suaminya, walaupun ia membencinya, tapi ia sadar rasa cintanya pada Alden masih sama.
Naysila mendekati bibirnya ke telinga Alden dan berbisik. "Mas... Aku sangat mencintaimu. Tapi kamu tidak memiliki rasa yang sama untukku. Kamu jahat, Mas, kamu kejam. Tapi aku gak bisa berbuat apa-apa untuk semua yang kamu lakukan. Aku ingin kamu bahagia, maka aku ikhlas jika kita berpisah."
*****