Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima
Aletha disana, tepat saat kasus pelecehan itu terjadi sampai menyeretnya pada meja ber-papan nama-kan, Mahen Ganespati. Dikungkungnya hampir satu jam atas pembelaan yang benar adanya justru disangkal sendiri oleh korban, sungguh ironis.
“Saya cuman buang-buang waktu disini”
“Nona Waniwongso, kasus pelecehan tidak pernah terjadi di Samudra High School”
“Pernah” ucapnya dingin.
Mahen hanya sedang mengendalikan diri. Atas setiap kalimat yang anak seusianya tidak penah dipikirkan sebelumnya, justru jadi masuk akal jika gadis ini lontarkan.
“Kejadian tanpa bukti?”
“Saya tidak buang-buang waktu untuk hal bodoh”
“Membela orang lain adalah kebodohan buat kamu?”
Aletha terdiam, pria paruh baya itu mengakuinya sendiri. Tidak perlu banyak tenaga untuk menodai nama sendiri bukan? Gadis itu memiringkan wajahnya, menatap berapa lama agar Mahen sadar dengan pernyataannya sendiri.
“Anda selalu punya cara untuk menutupi semuanya, semuanya yang justru saya tahu”
Gadis itu beranjak tanpa persetujuan. Menatap jendela yang sempat dia bobol semalam masih terbuka dengan gaya yang sama. Kasihan karena tidak diperhatikan pemilik, kalau saja dia benda hidup, sudah lebih memilih pemilik lain yang jauh lebih pengertian dari pemiliknya yang sekarang.
Aletha meninggalkan ruangan tanpa cegahan atau suara apapun. Sedikit bernapas kesal karena pengakuannya justru tidak di hargai. Langkah kaki yang seimbang mengitari lingkungan sekolah. menemukan banyak hal yang semakin dia tahu, justru semakin dia tidak tahu.
Tepat saat jam istirahat berlangsung. Pada rutinitas barunya dibelakang sekolah. suasana yang ramai tapi sepi, cuaca yang cerah namun sendu, kebisingan yang tidak dianggap. Gadis itu menoleh saat seorang pria mencengkam lengan seorang lain, dengan paksa.
“Lepasin”
Apa ini lirih yang sama, saat asumsi jika kasus pembullyan sempat terjadi dengan Revano kala itu? Aletha bisa lihat dengan jelas wajah gadis itu meringis kesakitan, menahan luka yang tidak bisa dia lawan.
“Kalau tidak nurut ya aku lepasin, sialan”
Aletha menghela napas. Derap langkah memudarkan cekaman ditangan pria itu. Senyum miring sekaligus tatapan sarkas Aletha terima. Padahal biasanya, dia yang melakukannya untuk orang lain. Ternyata semenyenangkan ini ditatap demikian?
“Ternyata lo cantik juga ya?”
Maniknya melirik, Septian Adriasa.
“Tapi bukan tipe gue, sana pergi aja”
Aletha membaca situasi. Tatapannya melayang pada jam tangan yang dipakai Septian, lantas teralih pada sudut lain, cctv yang dibicarakan Khalil. Yang katanya masih menyimpan semua data kejadian tiga tahun yang lalu, padahal yang tidak pria itu tahu, bisa saja semua berkas itu tidak ada, alias cctv nya palsu.
“Kepala sekolah akan lewat dua menit lagi, lo bisa laporin semuanya”
“Laporin apa?”
Ketiga manusia itu menoleh pada sumber suara. Tatapan dingin yang angkuh, Aletha bisa lihat bagaimana Mahen berdiri disana. Mungkin tempat saat hitungan detik dia selesaikan.
“Kasus pelecehan”
“Septian, apa yang kau lakukan?”
Pria bodoh itu, merangkul gadis yang sempat dia aniaya. Merapihkan anak rambut yang sempat berantakan dan melempar senyum lebarnya.
“Jesika?”
“Kita hanya bersenang-senang, Bapak kan tahu kita pacaran”
Picing mata yang stabil, kekesalan yang dia lampiaskan dalam bentuk diam. Gadis itu menghela napas, saat Jesika justru mengangguk dalam ketakutan yang ketara. Bersama Mahen yang tetap menutup mata, sialan.
Memilih untuk tidak ada disana adalah keputusan tepat, tapi sayangnya dia menyesal karena tidak memilih itu. Aletha berusaha tetap tenang pada kejadian diluar kuasanya. Lagian dia juga tidak ingin berada disana saat kedua sepasang kekasih sedang bertengkar. Dia juga tidak seharusnya peduli saat pria itu melakukan hal diluar nalar.
Tanda lain dari gangguan kepribadian antisosial, tidak memiliki empati atau rasa kasihan pada orang lain.
“Cocok banget ya mereka, lo vote siapa?”
Aletha menoleh saat sekelompok siswa-siswi berkerumun pada majalah dinding utama sekolah. Menampilkan poster pemilihan Putra-Putri Samudra High School tahun ini. Pasangan yang serasi, Khalil Gibran M. dan Jeovanca Maria atau Utari Tsabiani.
“Jeovanca oke sih kalo soal visual tapi akademiknya agak ngga ngimbangin Khalil”
“Ya lo berharap murid baru yang horror itu jadi Putri sekolah kita?”
Aletha melanjutkan langkahnya. Seperti bukan topik yang pas untuk dia dengar atau pertaruhkan dibatinnya. Pandangannya teralih pada suara yang tidak asing mengema dilapangan. Anggota paskibra yang sedang latihan untuk acara pengibaran senin depan. Suara yang sama yang berbisik malam itu.
Gadis itu lebih memilih menuju tujuan selanjutnya, perpustakaan yang bisa jadi salah satu tempat bukti itu tersimpan. Kepingan lembar koran tiga tahun yang lalu akan terbaca jika disatukan. Kasus pembunuhan yang terjadi di Sam,-
Aletha menghela napas, tidak mungkin lembaran koran tahun itu masih tersimpan. Kecuali ada jadi satu bersama bukti berkas kepolisian itu.
“Kepolisian”
To Be Continue...