Sinopsis
Arumi Nadine, seorang wanita cerdas dan lembut, menjalani rumah tangga yang dia yakini bahagia bersama Hans, pria yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Namun segalanya runtuh ketika Arumi memergoki suaminya berselingkuh.
Namun setelah perceraiannya dengan Hans, takdir justru mempertemukannya dengan seorang pria asing dalam situasi yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 33
Elfando duduk di kursi kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni yang mengilap. Di hadapannya, tumpukan dokumen terbuka, namun matanya tidak benar-benar membaca. Pandangannya kosong, seolah pikirannya terbang ke tempat lain.
Ketukan pintu yang ragu-ragu membuatnya tersadar. “Masuk,” ucapnya singkat.
Ryan melangkah masuk, sedikit menunduk, menutup pintu dengan hati-hati.
Ryan menatap Elfando dengan ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara pelan namun tegas,
"Pak, Nona Arumi benar-benar hamil."
Elfando menatap Ryan dengan sorot mata terkejut.
“Dia, benar hamil?” suaranya terdengar nyaris tak percaya.
“Iya, Pak,” jawab Ryan mantap.
Elfando terdiam sejenak, lalu mencondongkan tubuhnya. “Apa kau sudah memastikan itu anakku?”
“Sejauh yang bisa saya telusuri, kemungkinan 99% itu memang anak Anda,” jelas Ryan tenang. “Sejak bercerai dengan suaminya, Nona Arumi tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Bahkan, usia kandungannya sangat sesuai jika dihitung dari hari ketika Anda dan Nona Arumi bertemu.”
Elfando tersenyum mendengar penjelasan itu.
“Pak,” panggil Ryan, lalu menghela napas sebelum melanjutkan. “Ada urusan apa dia ingin menemuiku? Aku sudah membayarnya malam itu. Katakan saja padanya, kita sudah impas. Kami sama-sama saling menyenangkan. itu yang di katakan nona Arumi." Ujar Ryan.
Elfando, yang sedari tadi duduk di balik meja kerjanya, mengangkat pandangan dari berkas-berkas yang tengah ia baca. Tatapannya tajam, menusuk, namun suaranya tetap datar.
“Begitu katanya?” ujarnya pelan, seolah memastikan ia tidak salah dengar.
Ryan mengangguk sekali, ragu-ragu. “Iya, Pak. Itu persis seperti yang dia sampaikan.”
Elfando bersandar di kursinya, jemarinya kembali mengetuk perlahan permukaan meja. Ada jeda panjang, cukup membuat Ryan merasa suasana di ruangan itu semakin berat.
"Apa dia tidak tahu aku ini siapa?" Tanya Elfando.
"Sepertinya tidak Pak." Jawab Ryan.
"Kau tidak memberitahunya?" Tanya Elfando.
"Bapak tidak menyuruh saya memberitahunya." Kata Ryan.
Elfando hanya bisa menghela napas panjang. Seharusnya Ryan memberitahu Arumi siapa dirinya sebenarnya, seorang pengusaha muda yang sukses, memiliki pengaruh besar di dunia bisnis, menjadi salah satu pemuda terkaya di Indonesia.
Dia memutar kursi kerjanya, menatap keluar jendela besar kantornya yang menghadap panorama kota. Dari ketinggian lantai 30 itu, gedung-gedung tampak kecil, lalu lintas padat hanya seperti titik-titik bergerak. Namun pikirannya tidak sedang pada angka-angka atau proyek besar yang biasa ia tangani, melainkan pada satu nama. Arumi.
"Kalau dia tahu siapa aku, apa reaksinya akan berbeda?" pikirnya.
Telepon kantor berbunyi, memecah lamunannya. Ia mengambil gagang telepon dengan nada tegas namun terkendali.
“Ya?”
“Pak, jadwal rapat dengan investor dimajukan satu jam,” lapor sekretarisnya.
Elfando hanya menjawab singkat, “Siapkan semuanya.”
Setelah telepon ditutup, ia bersandar lagi. Di balik wibawa seorang pengusaha muda dengan kekuasaan dan kekayaan melimpah, dia tahu betul. Wanita manapun pasti akan luluh dengan uang dan kuasa.
"Kita berangkat rapat, setelah itu langsung ke apartemen wanita itu." Kata Elfando pada Ryan.
“Kita berangkat ke rapat sekarang,” ucap Elfando sambil merapikan jasnya. Nada suaranya datar namun penuh instruksi. “Setelah selesai, kita langsung menuju apartemen wanita itu.”
Ryan hanya mengangguk, paham bahwa setiap kata Elfando bukanlah sekadar rencana, melainkan perintah yang tak bisa diganggu gugat.
Rapat itu selesai lebih cepat dari perkiraan. Begitu pintu ruang rapat tertutup, Elfando langsung berdiri dan melangkah keluar tanpa banyak basa-basi. Ryan mengikutinya dari belakang, membawa tas kerja dan beberapa berkas.
Mobil hitam itu melaju mulus di jalanan sore yang mulai padat. Sepanjang perjalanan, Elfando tidak banyak bicara, matanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, seolah sudah menyusun kata-kata yang akan ia lontarkan begitu bertemu Arumi.
Sesampainya di depan apartemen Hilda, ia turun tanpa menunggu Ryan membuka pintu. Langkahnya cepat dan mantap, membuat beberapa orang yang berpapasan di lobi refleks menyingkir.
Ryan beberapa kali menekan bel apartemen sebelum akhirnya pintu terbuka.
Hilda muncul di ambang pintu dengan tatapan waspada.
“Kamu lagi? Apa kurang jelas yang tadi kami bilang, temanku nggak mau ketemu sama, si Ilpan itu,” ucap Hilda, sengaja salah menyebut nama Elfando dengan nada sinis tak melihat jika ada Elfando di sana.
"Apa Nona Arumi ada di dalam?" suara Elfando terdengar, membuat Hilda refleks melirik ke samping.
Begitu melihat sosok pria itu, Hilda sontak terdiam. Seolah waktu berhenti sesaat. Wajah tampan dengan garis tegas, tubuh tinggi semampai layaknya model papan atas, dan bahu bidang yang memancarkan wibawa. Saking terpukaunya, Hilda bahkan tanpa sadar menelan ludah.
“A… ada di dalam. Silakan masuk,” ujar Hilda sambil bergeser memberi jalan. Nada suaranya terdengar sedikit gugup, seolah bibirnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya. Tatapannya masih terpaku pada sosok Elfando, seakan langkah pria itu menarik magnet tak kasat mata yang membuatnya sulit berpaling.
Elfando melangkah masuk di ikuti Ryan di belakang, aroma parfum maskulinnya yang mewah langsung menyelinap ke udara ruang tamu yang mungil itu. Hilda refleks menutup pintu perlahan, tapi matanya masih sempat melirik ke punggung tegap pria itu, seperti memastikan apa yang baru saja terjadi bukan sekadar mimpi.
"Bisa tolong panggilkan nona Arumi." Kata Elfando. Hilda pun langsung menganggu tanpa bicara.
"Rum.... Arumi...." Panggil Hilda tanpa beranjak dari tempatnya berdiri di samping Elfando yang sudah duduk di sofa.
Begitu namanya dipanggil, Arumi keluar dari kamar dengan langkah ragu. Rambutnya masih sedikit berantakan, menandakan ia baru saja berbaring. Matanya membulat seketika melihat siapa yang duduk di ruang tamu.
"Kenapa?" Tanya Arumi sambil menguap, belakangan ini sejak hamil, dia sering sekali merasa kantuk.
"Ada yang mau ketemu." Kata Hilda.
"Nona Arumi." Elfando langsung berdiri.
Arumi sedikit mengernyit, mencoba mengingat apakah ia punya janji temu hari ini. Dengan langkah pelan, ia berjalan mendekat, sementara rasa kantuknya perlahan menguap berganti rasa penasaran.
Elfando menundukkan kepala sedikit, memberi salam sopan sebelum melirik sekilas pada Hilda, seakan meminta izin untuk melanjutkan pembicaraan.
“Ada yang ingin membicarakan sesuatu secara langsung dengan Anda,” ujarnya hati-hati, nada suaranya mengisyaratkan bahwa hal ini cukup penting.
Arumi menatapnya lekat-lekat. “Siapa?” tanyanya pelan.
“Saya Elfando Dominic. Pria yang tidur dengan Anda di club, malam itu,” kata Elfando pelan, tapi setiap kata meluncur seperti bom yang meledak di telinga Arumi.
Sejenak, dunia seolah berhenti berputar. Arumi membeku, matanya melebar tak percaya, bahkan napasnya sendiri terasa hilang.
Arumi menelan ludah, bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Sementara itu, Elfando hanya menatapnya dalam, seolah ingin memastikan Arumi mengingat setiap detik malam yang ia bicarakan.
*****
Support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya, biar author semangat up-nya. Terima kasih....