Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Unexpected Meeting
Tiga bodyguard itu melangkah maju, memandang Akari dengan pandangan menghina. Mereka mengira ini hanya akan menjadi pekerjaan mudah.
Setelah itu, Akari mulai melawan tiga bodyguard itu dengan keahliannya yang telah diasah selama berbulan-bulan. Amarahnya menjadi bahan bakar, tetapi latihannya yang keras adalah senjata utamanya.
Akari tidak menggunakan sapu itu untuk memukul, melainkan sebagai perpanjangan dari tangan dan kaki.
Lawan Pertama: Pria terbesar mencoba meraihnya. Akari dengan cepat merunduk, menggunakan bilah kayu di tangan kirinya untuk memblokir, dan bilah kanan menusuk ke arah perut lawan dengan kecepatan kilat, diikuti oleh tendangan roundhouse ke lututnya. Pria itu menjerit, keseimbangan kakinya langsung hilang.
Lawan Kedua: Pria ini mencoba memukulnya dengan tinju. Akari menahan pukulan itu dengan dua bilah kayu yang disilangkan, memanfaatkan kekuatan pukulan lawan untuk melakukan gerakan memutar (spin) yang cepat, meluncurkan dirinya untuk membalikkan badan dan menghantamkan sikunya tepat ke pelipis pria itu. Pria itu limbung.
Lawan Ketiga: Yang tersisa adalah yang paling gesit. Pria ini mencoba bergulat. Akari membuang bilah kayu yang tersisa, membiarkan pertarungan jarak dekat dimulai. Ia menggunakan teknik seni bela diri yang ia pelajari, mengunci lengan pria itu dan dengan gerakan cepat membantingnya ke tanah dengan bunyi BRAK! yang keras, mendaratkan lututnya ke punggung lawan.
Pertarungan itu berlangsung kurang dari sepuluh detik. Ketiga bodyguard itu kini mengerang kesakitan di jalanan, dilumpuhkan oleh seorang remaja yang penuh dendam.
Wanita perekrut AgateX, yang baru saja menyalakan mobilnya, menatap pemandangan itu melalui kaca spion dengan wajah terkejut yang luar biasa. Ia tidak menyangka pembully-nya yang dulu lemah kini telah menjadi mesin tempur.
Wanita perekrut AgateX itu panik melihat bodyguard-nya dilumpuhkan begitu cepat. Ia menginjak pedal gas untuk melarikan diri.
Namun saat wanita itu akan menginjak gas, Akari melempar potongan kayu sapu yang tersisa ke kaca samping mobil. Pecahan kayu itu menghantam kaca dengan keras dan hampir mengenai kepalanya. Mobil itu tersentak berhenti.
Akari membuka pintu mobil dengan paksa. Dengan kekuatan yang luar biasa, Akari menjambak rambut pembully-nya di masa lalu itu keluar dari mobil, menyeretnya ke aspal.
Wanita itu menjerit kesakitan, rasa arogansinya hilang sepenuhnya.
Akari bertanya kenapa dirinya berada di AgateX.
"Jawab! Kenapa kau bekerja untuk mereka?! Kau tahu betapa mengerikannya organisasi itu! Kau tahu apa yang terjadi pada orang tuaku!" bentak Akari, wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah wanita itu.
Namun, temannya ini berusaha terlihat kuat, mencoba mempertahankan kehormatannya.
"Aku... aku tidak akan memberitahumu, jalang! Aku tidak berhutang apa pun padamu!"
Akari tidak punya waktu untuk bertele-tele. Ia adalah pemburu. Akari menampar temannya beberapa kali dengan punggung tangan, tamparan keras yang menyakitkan, meninggalkan bekas merah di pipinya.
"Jangan bohong padaku! Jawab! Apa peranmu! Di mana Haruna!" tuntut Akari.
Wanita itu tersentak setelah tamparan Akari. Ia tahu ancaman AgateX lebih berbahaya, tetapi ancaman polisi adalah kepastian yang menakutkan baginya.
Akari mengancam akan melaporkan ke polisi.
"Aku sudah merobek kontrak itu, dan kau sudah mencoba melarikan diri. Sekarang, aku akan menyerahkanmu ke polisi," ancam Akari.
Mendengar kata 'polisi', wanita itu tersentak. Namun wanita itu akhirnya takut dan menangis. Ia segera merangkak dan memohon di kaki Akari.
"Tolong! Jangan! Jangan laporkan aku! Aku akan memberitahumu semuanya! Aku mohon!" isaknya.
Ia juga memasukkan penyesalan pribadinya ke dalam permohonannya.
"Aku minta maaf! Aku benar-benar minta maaf! Atas semua perbuatanku saat di akademi mem-bully mu! Aku bodoh! Aku hanya ingin terlihat keren!"
Akari menghela napas, rasa lelah dan muak bercampur. Ia menarik kakinya dari jangkauan wanita itu.
"Menarik," kata Akari, nadanya pahit. "Saat seperti ini baru kau meminta maaf dan mengakui semuanya? Saat kau terpojok, saat tidak ada lagi yang bisa melindungimu?"
"Saat itu kenapa tidak kau lakukan? Kau melihatku menderita setiap hari!" Akari menatapnya tajam. "Apa karena berkelompok kamu pikir superior? Kau tidak lebih dari pecundang yang hanya berani saat bersembunyi di balik orang lain. Sama seperti sekarang, bersembunyi di balik Haruna dan AgateX!"
Wanita itu terdiam, tidak mampu membantah kebenaman kata-kata Akari. Ia benar-benar hanya berani karena ada perlindungan kelompok.
Setelah mendapatkan pengakuan penuh dan menyadari penderitaan batin dari mantan pembully-nya itu, Akari membuat keputusan. Ia tidak lagi melihat wanita itu sebagai musuh pribadi, tetapi sebagai korban lain dari lingkaran setan utang dan keserakahan AgateX.
Akari akhirnya menelepon Araya dan menceritakan situasi darurat itu. Ia tidak menceritakan detail perkelahiannya, tetapi hanya melaporkan penemuan seorang perekrut AgateX dan tiga bodyguard yang berhasil ia amankan.
Araya, yang sedang frustrasi di kantor, langsung tahu bahwa ia harus mengirim tim yang bisa dipercaya. Ia segera mendatangkan Akihisa untuk menjemput mereka bersama tim penangkapan resmi.
Tak lama kemudian, mobil-mobil polisi yang tidak mencolok tiba di dekat toserba. Akihisa keluar, memimpin timnya, dan terkejut melihat kekacauan di jalanan: tiga pria besar mengerang kesakitan, dan wanita elegan itu terisak di tanah.
Akihisa, yang sigap, segera mengamankan wanita itu dan mengurus para bodyguard yang lumpuh.
Saat Akihisa sibuk mengambil keterangan dan mengumpulkan kontrak AgateX yang robek, Akari menarik lengan kemeja Akihisa menjauh dari yang lain. Ia berbisik, tidak ingin didengar oleh siapapun.
"Akihisa-san," bisik Akari, pandangannya tertuju pada mantan pembully-nya. "Aku tahu dia jahat, dia membully-ku, dan dia menjerat orang lain."
"Tapi... dia mungkin hanya terpaksa melakukannya karena utang, seperti orang tuaku. Haruna pasti memanfaatkannya." Akari menelan ludah, menunjukkan belas kasihan yang rumit. "Aku mohon kepada Akihisa-san meringankan hukumannya, walau dulu dia sering membully-ku di akademi. Dia sudah mengakui semuanya padaku."
Akihisa menggaruk kepalanya, merasa terdesak. Permintaan ini sangat tidak terduga dari seorang gadis yang sedang membalas dendam.
"Akari..." Akihisa menggaruk kepalanya frustrasi. "Aku tidak bisa janji. Aku hanya detektif, dan kasusnya ada di tangan Jaksa. Walau sudah menjadi Jaksa—maksudku, bekerja dekat dengan jaksa—aku tidak bisa memanipulasi hukum."
"Tapi," lanjut Akihisa, melihat mata Akari yang penuh permohonan, "Aku akan mencobanya. Aku akan pastikan jaksa tahu bahwa ia adalah korban yang dipaksa dan bersaksi melawan Haruna. Itu yang terbaik yang bisa kulakukan."
Akari mengangguk. Cukup. Ia telah mendapatkan keadilan pribadinya, dan keadilan hukumnya akan diurus oleh tim yang ia percayai.
Setelah Akihisa dan timnya mengamankan semua tersangka, Akari kembali ke dalam toserba. Ia melihat pasangan lansia itu masih gemetar di balik meja kasir.
Akari mendekati mereka dengan senyum lembut, meyakinkan mereka bahwa bahaya telah berlalu.
"Nenek, Kakek," kata Akari. "Tolong dengarkan saya baik-baik."
Akari masuk kembali dan menjelaskan dengan tegas untuk tidak menerima tawaran dari siapapun yang mencurigakan, terutama yang melibatkan kontrak utang atau uang cepat.
"AgateX adalah perusahaan yang jahat. Mereka tidak akan membantu kalian," tegas Akari. "Jika ada tawaran seperti tadi lagi, tolong pastikan meminta cucu kalian untuk memeriksanya terlebih dahulu. Atau jika perlu, panggil saja saya."
Kedua lansia itu menangis terharu. Mereka sudah menganggap Akari sebagai bagian dari keluarga mereka. Mereka memeluk Akari dengan erat.
"Terima kasih, Akari-chan. Kau menyelamatkan kami, nak," isak Nenek itu. "Kau benar-benar pahlawan bagi kami."
Walau bukan kerabat kandung, kedua lansia itu menganggap Akari cucu mereka juga. Ikatan komunitas di sana terasa kuat.
Setelah itu, Akari pamit dan pulang ke rumahnya. Saat ia hendak membayar minumannya, Nenek itu menggeleng.
"Tidak usah, Akari-chan. Ini hadiah dari Kakek dan Nenek. Terima kasih sudah menjaga kami," kata Nenek itu.
Akari akhirnya membawa belanjaan yang diberikan secara gratis oleh pasangan lansia itu. Ia kembali ke rumah dengan hati yang lebih ringan, meskipun ia tahu konfrontasi dengan Haruna semakin dekat.