“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Empat
Davina akhirnya benar-benar luruh. Begitu pintu kamar tertutup keras setelah Papa pergi, kakinya tak lagi sanggup menyangga tubuhnya. Ia melorot turun, punggungnya bersandar di sisi ranjang, lalu perlahan jatuh ke lantai. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. Bukan lagi isak pelan, tapi tangisan tersedu yang membuat dadanya naik turun tak beraturan.
Tangannya menutup wajah. Bahunya bergetar hebat. Takut. Itu satu-satunya kata yang memenuhi kepalanya sekarang.
Takut Papa benar-benar nekat. Takut ancaman itu bukan sekadar kata-kata. Takut Kevin benar-benar disakiti hanya karena dirinya terlalu berani mencintai.
“Bang Kevin …,” gumamnya di sela tangis. Suaranya nyaris tak terdengar.
Bayangan Kevin terus berputar di kepalanya. Senyum kecilnya yang selalu muncul saat Davina cemas. Cara Kevin selalu mendengarkan tanpa menghakimi. Cara laki-laki itu menatapnya, seolah dunia bisa berhenti kapan saja asal Davina baik-baik saja.
"Kalau terjadi sesuatu padanya .…"
Davina menggigit bibirnya sendiri, menahan jeritan yang hampir keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram jantungnya erat-erat.
Ia mencoba bangkit, meraih meja kecil di samping ranjang, berharap bisa mencari ponselnya. Tapi kosong. Laci-laci sudah dibuka. Tasnya tergeletak di sudut kamar, tanpa ponsel. Papa benar-benar mengambilnya.
“Aku harus bilang ke dia …,” bisik Davina panik. “Aku harus mengingatkan abang. Tapi bagaimana?
Tangisnya kembali pecah. Kali ini lebih lirih, lebih putus asa. Ia memeluk lututnya sendiri, meringkuk di lantai dingin kamar itu, merasa sendirian seperti anak kecil yang tersesat.
Beberapa menit berlalu atau mungkin lebih lama, Davina tak tahu. Waktu terasa kabur saat air mata terus mengalir.
Tiba-tiba, suara gagang pintu terdengar. Davina refleks menegakkan kepala. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya tercekat.
Tubuhnya menegang. Tangannya mencengkeram lantai. Ia menyiapkan diri untuk apa pun yang mungkin terjadi.
Namun pintu terbuka perlahan, dan sosok yang muncul bukan Papa Robby. Itu Mama. Mama Ema ibu kandung Kevin.
Wajah perempuan itu terlihat tegang. Rahangnya mengeras. Sorot matanya dingin, jauh berbeda dari sikap hangat yang biasa Davina lihat selama ini. Tidak ada pelukan. Tidak ada tatapan iba. Yang ada hanya amarah yang tertahan.
Davina menelan ludah. “Mam …,” panggil Davina pelan, suaranya serak.
Mama melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Langkahnya berhenti beberapa meter di depan Davina yang masih terduduk di lantai, wajahnya basah oleh air mata, pipinya memerah, bibirnya terluka. Namun Mama tak terlihat tersentuh.
“Kamu puas?” tanya Mama tiba-tiba. Suaranya datar, tapi tajam. “Dengan semua kekacauan ini?”
Davina menggeleng cepat. “Ma, aku ....”
“Kamu tahu nggak,” potong Mama, nadanya meninggi, “Apa yang bisa terjadi sama Kevin gara-gara kamu?”
Davina terdiam. Dadanya berdenyut nyeri.
“Apa pun yang Papa kamu rencanakan, apa pun yang bisa dia lakukan,” lanjut Mama, matanya berkilat marah, “Kalau sampai terjadi sesuatu sama anak saya, itu tanggung jawab kamu.”
Kalimat itu menghantam Davina lebih keras dari tamparan Papa.
“A-aku nggak pernah mau nyakitin Bang Kevin, Ma,” ucap Davina terbata, air matanya kembali jatuh. “Aku justru berusaha lindungi dia.”
Mama tertawa pendek, pahit. “Melindungi?” ulangnya sinis. “Dengan membangkang Papa kamu? Dengan bikin dia murka? Kamu pikir itu melindungi?”
Davina tak mampu menjawab. Ia hanya menunduk, bahunya gemetar.
“Kamu egois, Davina,” lanjut Mama tanpa ragu. “Kamu cuma mikirin perasaan kamu sendiri. Kamu tahu Kevin itu anak seperti apa. Dia selalu nurut. Selalu mengalah. Dan sekarang dia harus menanggung risiko karena kamu.”
Setiap kata terasa seperti pisau yang ditancapkan perlahan ke dada Davina.
“Aku minta maaf, Ma …,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Mama menatapnya lama. Ada kilatan emosi di matanya, marah, takut, dan mungkin sedikit khawatir. Tapi semua itu tertutup oleh amarah yang lebih besar.
“Kalau sampai terjadi apa-apa sama Kevin,” kata Mama dingin, “Ingat baik-baik. Semua ini karena kamu.”
Setelah mengatakan itu, Mama berbalik. Tanpa menunggu jawaban. Tanpa menoleh lagi. Pintu kamar kembali tertutup.
Davina terdiam beberapa detik, lalu tangisnya pecah lebih keras dari sebelumnya. Ia membenamkan wajah ke lengannya, menangis sesenggukan sampai tubuhnya bergetar hebat.
Rasa bersalah itu kini menindihnya tanpa ampun. Apa benar semua ini salahnya?
Kalau saja ia diam. Kalau saja ia menuruti Papa. Kalau saja ia tidak berani jujur tentang perasaannya.
“Bang Kevin …,” lirihnya. “Maaf … maaf banget .…”
Ia ingin menghubungi Kevin. Sekadar mendengar suaranya. Sekadar memastikan ia baik-baik saja. Tapi ponselnya tidak ada. Tidak ada siapa pun yang bisa ia hubungi. Tidak ada jalan keluar. Davina merasa terkurung.
Di kota lain, ratusan kilometer dari rumah itu, Kevin duduk di balik kemudi mobilnya.
Wajahnya tampak lelah. Lingkar hitam samar terlihat di bawah matanya. Sudah dua hari Davina tak menghubunginya. Dua hari tanpa kabar. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada balasan. Itu bukan Davina.
Kevin menggenggam setir lebih erat. Matanya sesekali melirik ponsel yang tergeletak di dudukan dashboard. Layar masih menyala, menampilkan ruang chat terakhir mereka.
Pesan terakhir dari Kevin terkirim semalam.
"Davi kamu ke mana? Aku khawatir."
Tak ada centang biru. Tak ada balasan.
“Kenapa kamu nggak jawab …,” gumam Kevin pelan.
Pikirannya penuh. Terlalu penuh. Ingatannya melayang pada percakapan terakhir mereka. Cara Davina terdengar cemas. Cara suaranya sedikit bergetar, seolah menyimpan ketakutan yang besar.
Kevin menarik napas panjang, mencoba fokus ke jalan. Tapi pikirannya terus kembali ke satu hal yang sama.
Ada yang salah. Ia mencoba menelepon lagi. Nada sambung terdengar, lalu mati. Tak diangkat. Lagi.
Kevin menghela napas frustrasi. Tangannya mengusap wajahnya kasar. Jalanan di depannya cukup lengang, tapi hujan tipis mulai turun, membuat aspal sedikit licin.
“Fokus, Kevin …,” katanya pada diri sendiri.
Namun detik berikutnya, ponselnya bergetar. Kevin refleks melirik layar. Bukan Davina. Panggilan dari nomor tak dikenal.
Kevin ragu sepersekian detik, lalu mengangkatnya. “Halo?”
Namun saat itu juga, matanya terlambat kembali ke jalan. Lampu depan sebuah truk menyilaukan pandangannya. Klakson panjang terdengar. Kevin menginjak rem sekuat tenaga, setirnya diputar refleks.
Semuanya terjadi terlalu cepat.
Bunyi benturan keras menggema. Tubuh Kevin terhempas ke depan. Dunia terasa berputar. Suara logam beradu, kaca pecah, dan jeritan rem bercampur menjadi satu. Gelap.