WHO¿
Seseorang tergantung bagaimana cara arah pandangmu. Jika isi pikiranmu penuh keburukan, bisa jadi dia adalah pelaku yang menyamar.
Day one...
Samudra High School, satu nama yang terrekam jelas dipikirannya. Bukan sekedar nama namun bisa jadi disebut neraka, bagi Aletha. Gadis itu memiringkan wajahnya sejenak, menatap sekeliling dipenuhi siswa-siswi yang masuk ke halaman sekolah. Dengan jas biru dongker yang jadi ciri khas sekolahan ini, dia justru mendegus, melirik pada beberapa murid yang menatapnya dengan penuh keanehan. Jas hitam dengan logo yang sama? Masih dengan bentuk, pola, dan tanda almet yang sama pula.
Aletha melangkahkan kakinya, menyusuri halaman sekolah dengan tatapan intimidasi yang tak berhenti. Menuju ruangan yang sudah tidak asing dimatanya, hanya sedikit perubahan tata letak dan orang didalamnya. Pria paruh baya dengan jas merah maroon tersenyum penuh sambutan, memicingkan mata saat nama Aletha Waniwongso melekat disana.
“Oh, saya belum memberitahu kelas kamu ya?”
Aletha terdiam sejenak, menatap papan nama yang entah sudah sejak kapan digantikan sebagai jabatan berlaku. Ruangan penuh interior kemenangan, cat dinding putih yang selalu menyalurkan suasana dingin, dan kemisteriusan. Aroma air laut semerbak menusuk sampai tulang hidung.
“Aletha ya” Mahen Septriyoso dengan status kepala sekolah itu membuka catatan yang sempat dia ambil dilaci. Mencari letak keberadaan nama murid yang dia cari.
“Sebelas Fisika Satu”
Pria itu mendongak, nada dingin yang dia dengar benar-benar menusuk kesunyian. Menimbulkan kecanggungan yang sejak awal gadis itu buat. Tawa yang Mahen mulai bahkan tidak mencairkan suasana. Harum mawar yang dia cium semakin pekat, mengepung ruangannya dengan lihai.
“Kamu sudah tahu, lalu kepentingan seperti apa yang ingin kamu tanyakan sepagi ini, Nona Waniwongso?”
Aletha menghela napas, sejenak melirik name tag-nya sebelum menatap kembali pasang mata penuh tawa yang kosong. Mahen, sejak kapan pria itu ada pada kursi kebohongan ini. Mengisi kemisteriusan yang tidak pernah siapapun bisa bayangkan.
“Kalau hanya diam,”
“Hanya sambutan murid baru, saya rasa Bapak melupakan itu kemarin”
Pria paruh baya itu tersenyum, meletakkan kedua tangannya diatas meja. Jas hitam dengan almamater Samudra High School sesuai permintaannya, maksudnya permintaan konyolnya. Saat warna biru tua jadi identitas sekolahan ini sejak lama, dengan bayaran dua kali lipat, gadis itu mampu merenggut kewarasan dunia.
“Selamat datang, putri Waniwongso”
Gadis itu berdiri, menerima ucapan selamat datang tanpa ekspresi. Daripada bahagia karena telah diterima disekolahan nomor satu di negeri, seperti semua murid disini. Dia justru merasakan beberapa tekanan yang terjadi dari masing-masing mata sejak pendaftarannya. Namun sayangnya, Aletha justru menikmati itu.
“Semoga betah”
“Saya rasa seminggu setelah ini anda akan menyesal”
Mahen menghela napas, menatap punggung Aletha yang mulai menghilang dari arah pandangnya, meninggalkan ruangan dengan jejak aroma mawar khas pemakaman. Jemari mulai memanjakan ketegangan dikepalanya, memijat lembut setelah sadar bahwa menerima siswi seperti Aletha sepertinya bukan keputusan yang tepat, tapi uang dan prestasi? Oh ayolah, tidak ada yang bisa menolak murid sepertinya. Gila prestasi dan penuh ambisi, walaupun sedikit menyeramkan?
Aletha melangkahkan kakinya menyusuri lorong, tak peduli dengan pasang mata yang lagi dan lagi melihat kearahnya. Dari balik jendela kelas, ambang pintu, atau beberapa yang masih ada didaerah taman. Hanya satu yang jadi tujuannya sekarang, kelas sebelas fisika satu. Tempat yang akan jadi permulaan hidupnya yang baru. Samudra High School.
Riuh suara terdengar dengan jelas sebelum seseorang masuk begitu saja, menyebar aroma mayat, namun sedikit lebih bisa ditoleransi indra penciuman manusia. Menampilkan tatapan dingin yang membekukan ruangan. Hanya satu yang bisa dia lihat, pecahan kaca jendela pada sudut ruang kelas paling ujung.
“Selamat pagi, anak-anak”
Aletha menoleh saat suara wanita dibelakangnya mulai mengejutkan. Pandangan dingin itu sempat bertemu sebelum wanita ber-name tag Sasmita Yadhiatmo melantun penuh senyum. Menyuruhnya masuk dan mencairkan suasana kelas dengan pelajaran pertama mereka.
“Sebelumnya, mungkin bisa perkenalkan diri dulu”
Aletha justru memilih duduk pada kursi yang kosong, daripada berdiri didepan kelas dengan first impresion yang menarik, untuk teman-teman barunya. Seketika sunyi mengerubungi, hanya suara gesekan antar tas dan buku dari kegiatan Aletha. Gadis itu tidak suka jadi pusat perhatian, Aletha juga tidak suka ada banyak orang mengenalnya, lantas menjadi teman, dan dituntut untuk menjadi teman yang baik.
Dia tidak suka berteman.
“Oke, baiklah kita mulai pelajarannya”
Sasmita tersenyum menatap kehadiran Aletha yang tentu sudah bukan tanda tanya lagi baginya. Pertemuan pertamanya kemarin bersama keluarga Waniwongso justru sudah menjelaskan, secara transparan. Keluarga yang dingin dan tak terduga. Seperti yang tergambar oleh Aletha, gadis tanpa ekspresi yang penuh dengan keyakinan bahwa dunia memang hanya bisa dihadapi bersama dirinya sendiri.
“Hai, boleh kenalan?”
Daripada menjawab, Aletha lebih memilih memasukkan bukunya ke dalam tas, dan meninggalkan tempat duduknya. Saat bel istirahat berbunyi lebih nyaring dari sekolah yang sebelumnya.
“Eh mau kemana! Gue Roona!”
Suara lantang itu dibalas tepukan cukup kencang di pundaknya. Menimbulkan kejutan singkat dari gadis yang baru saja mengaku kalau namanya Roona. Vanus mendegus, menggeleng singkat mendapati sahabatnya justru terlihat sok akrab dari biasanya. Dengan dalih, ‘kan dia murid baru, jadi harus kita temenin’, padahal menurut sepengelihatan Venus. Gadis itu terlihat seperti tidak ingin ditemani.
“Lo ngga takut apa?”
Roona mendongak, menatap punggung murid baru itu tanpa kecurigaan seperti yang dirasakan Venus. Lantas beranjak untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Venus. Pandangan mereka bertemu, saling mengintimidasi satu sama lain. Roona yang selalu penuh ambisi untuk bersosialisasi dan Venus yang hidupnya penuh dengan kewaspadaan.
Kalau Maroona selalu mengedepankan berbaur dengan semua orang dimuka bumi ini. Venus tidak, gadis itu memang lahir sebagai manusia yang mudah sekali curiga dengan orang lain. Bahkan untuk membangun kepercayaan dengan Venus pun begitu sulit bagi Maroona.
“Takut gimana?”
“Ya horror aja gitu kelihatannya, lo ngga ngerasa tadi pas dia masuk? Ruangan langsung kerasa banget dark-nya”
“Whatever, yuk ke kantin”
Dan dari pada menelaah manusia, Roona juga lebih suka mengajak sahabatnya makan bakso di kantin. Merangkulnya disepanjang lorong menuju tempat utama anak-anak Samudra High School. Menurut mereka, pelarian paling menyenangkan ya di sana. Karena sudah terlalu muak dengan pelajaran dan tuntutan orang tua demi nilai yang sempurna.
Aletha terdiam. Bersama sepoi angin yang menemaninya siang ini, menyapu anak rambut sampai berantakan. Sisa napas yang dia punya seakan tidak berharga jika digunakan hanya untuk diam. Cairan yang sempat mengering itu sekarang sudah diselimuti keramik, pohon mangga yang jadi saksi bisu sudah sisa badan bawah sampai akar. Gadis itu melangkah, duduk diantara kesunyian beralas badan pohon mangga. Sejenak memejamkan mata untuk mereka ulang adegan yang dia ingat. Atau hanya sekedar skenario yang dia buat-buat.
“Ngapain?”
Aletha membuka matanya, menatap dingin seorang pria yang bersandar pada dinding belakang kelas. Sejak kapan dia ada disana? Sejak kapan pria itu melihat kegilaan pertama Aletha? Sejak kapan ada orang yang berani menguntitnya?
“Sejuk juga ya?”
Bukannya menjawab, gadis itu hanya diam. Masih dengan tatapan yang sama saat sang lawan bicara ingin membentuk percakapan pertama mereka. Bagi Aletha ini hanyalah basa-basi, jadi apa pelu menjawab pembahasan yang tidak pelu?
“Gue Khalil, lo pasti ngga lihat gue sih, cuman kita satu kelas”
“Duduk di bangku kedua dari belakang, dekat jendela barisan meja guru”
Khalil tersenyum. Selain bisa dibilang menyeramkan, gadis itu ternyata lebih pengamat dari yang dia pikir. Khalil hanya menganggapnya sebagai siswi aneh yang suka belajar dan tidak banyak bicara. Tidak mempedulikan sekitarnya dan lebih memilih asik dengan isi kepalannya sendiri, tapi ternyata asumsinya salah.
“Pindahan dari mana?”
Aletha merasa, ini bukan pertanyaan yang perlu dijawab. Hanya saja, pria dengan picing serigala itu tidak mungkin datang hanya untuk menanyakan hal sepele.
“Mau ke kantin nggak?”
“Gue ngga butuh temen”
Dari senyum berubah tertawa. Suasana yang tiba-tiba memanas. Tepat saat tiga pria dengan minuman kaleng di tangan mereka datang. Bersamaan dengan kejut yang sedikit tidak bisa didefinisikan dengan baik. Dua diantara mereka memilih duduk pada bangku yang tak jauh dari kedua mansuia itu berdiri, sementara satu lainnya melempar sekaleng soda untuk Khalil.
“Oke kalau lo mau kita musuhan”
Eden terkekeh, menyesap rokok elektrik yang baru saja dia keluarkan dari saku celananya. Membuat gadis yang tengah bercengkrama dengan Khalil menoleh. Memberikan tatapan dingin yang menusuk dan cukup menimbulkan kecanggungan sesaat.
“Bay the way, kok seragam lo hitam sendiri? Alergi warna ya?”
Khalil hanya diam saat suara Angkasa mendominasi, seketika topik utama memenuhi ruang bebas siang ini. Bersama Aletha si anak baru yang berani membeda dari anak-anak Samudra High School lainnya.
“Lo ngapain kesini?”
Khalil tahu bahwa gadis itu serasa sedang diintimidasi, bersama keempat pria yang seolah-olah mengepungnya. Walau kenyataan apa yang Aletha pikirkan justru sebaliknya. Gadis itu hanya ingin ada pada ketenangan yang tidak ada siapapun disana. Dan Khalil bersama ketiga temannya itu menganggu pikirannya.
“Bukan urusan lo”
“Gue pikir sariawan” celetuk Niko, pria berambut sedikit gondrong dengan pelet merah tua tersembunyi dibalik dominan hitam helai lainnya. Dingin dan egois, Aletha tahu betul gaya bicara yang dia utarakan ke bumi. Seperti tidak takut mati jika kepala sekolah menggunakan gunting untuk membuat kepalanya botak.
Tidak ingin membuang banyak tenaga, gadis itu berbalik, enggan meninggalkan kelompok Khalil tanpa jejak. Namun, pandangannya justru tertuju pada bercak yang seperti tidak ingin hilang pada dinding, yang hampir dia lewati.
“Lo bukan badan intelegen yang lagi menguak khasus di sekolahan ini kan?”
Khalil mendengus, melempar batu kerikil yang baru saja dia ambil di tanah kepada Eden. Menyuruhnya berdiam dan tidak mencari masalah dengan siapapun, termasuk dengan gadis aneh yang jadi murid baru dikelasnya.
“Lo nonton serial Wednesday ngga?”
Khalil melirik pada Angkasa, meletakkan ponsel yang sempat mengganjal di saku celana disebelah duduknya. Lantas kembali fokus dengan ketiga sahabat yang sedang menunggu kelanjutan ucapannya.
“Ya itu horror anjir, kaya tuh cewek”
“Bajunya juga beda sendiri, ngga mungkin dia juga lagi nyari monster yang bikin sekolah kita terkutuk kan?”
Untuk pernyataan jika Aletha lebih mirip Wednesday dalam serial yang mereka tonton, itu masih bisa Angkasa terima. Tapi untuk lanjutan opini yang Eden katakan, sepertinya memang hanya ada di serial dan drama televisi saja. Lagian mana ada monster didunia nyata? Bahkan ungkapannya yang spontan tentang kealergian warna pada gadis itu, sepertinya tidak benar-benar ada.
“Ngaco!” timpal Niko.
“Siapa tahu yang lo takutin itu justru ngga beneran kejadian? Kalo emang dia gitu, mau gimana lo pada?”
“Lil, dunia ini luas banget ya buat mengerti wanita. Tapi ngga senggak masuk akal ini juga kalik” senggol Angkasa.
Khalil menghela napas, menatap jejak yang dia yakini masih ada disana walau tampak samar. Kedatangan gadis itu yang tiba-tiba membekukan ruangan, rasa canggung yang terasa lebih dalam dari pada saat kencan pertama, semuanya tampak nyata, semuanya seakan bukan bagian dari dunia nyata bagi Khalil.
“Kamu ngapain disini?”
Aletha menoleh cepat, pada pria berseragam satpam lengkap dengan atributnya. Lantas kembali melihat pada jendela yang cukup usang dibelakang ruang kepala sekolah. Hanya ada jejak sapuan tangan yang seperti sudah tertanda lama dan lupa dibersihkan. Bukannya menjawab, gadis itu justru memberi jeda sambil memiringkan wajahnya sejenak. Berkedip sekali lantas meninggalkan tempat tanpa bicara.
“Dasar anak aneh”
Gumaman itu masih terdengar, bahkan setelah lorong pertama hampir selesai dia jamah. Langkah kaki teratur dengan derap yang tak berubah nada. Aletha hanya bisa merasakan gemuruh murid saat istirahat, suaranya terdengar semakin mengeras.
Sementara, Mahen tersenyum saat mendapati murid barunya baru saja berbelok dari halaman belakang ruang kepala sekolah. Seperti sapaan kecil, supaya tidak ada pagi yang menyeramkan seperti tadi.
Aletha lihat betul bagaimana lugunya kepala sekolah Samudra High School menyapa murid-murid mereka. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu atau hal mengenaskan di tempat kebanggannya ini. Suasana yang dia rasa jauh lebih menyedihkan dari film kematian justru jadi suasana yang dia realisasikan untuk kemenangan mutlak.
“Saya baru bicarakan soal konsultasimu bersama Doktor Utomo”
“Itu bukan sesuatu yang bisa kita bicarakan di ruangan terbuka, kepala sekolah Mahen”
Pria itu kembali tersenyum. Menyadari kejanggalan diluar pertemuan pertama mereka kemarin. Bahwa anak ini unik dan penuh teka-teki. Bicara dengannya seperti sedang mempertaruhkan segala harta benda ke perampok yang membobol rumah.
“Bapak hanya ingin menyampaikan apa yang orang tuamu bilang”
“Saya tidak akan lupa, lagian sejak kapan saya absen ke psikiater?”
Mahen mengangguk, mengabaikan Aletha adalah keputusan yang tepat. Gadis aneh yang membuat seisi sekolahan ketakutan dengan aura mayat yang semerbak, bagaimana bisa dia menerima murid sepertinya? Mahen tersenyum simpul, meninggalkan tempat setelah menepuk pundak gadis itu dengan pelan. Mendapat intimidasi sesaat setelah percakapan dingin yang pria paruh baya itu dia akhiri dengan baik.
“Oh hai!”
Suara yang memekikkan gendang telinga. Gadis dengan rambut yang terikat sempurna itu masih setia di tempat terakhir kakinya berpijak. Melirik pada keramaian yang sudah lama sekali tidak dia rasakan, walau selama ini dia sudah cukup nyaman dengan hidupnya. Tarikan napas stabil bersama helaan yang senada masih membuat hening dijumpaan kedua mereka.
Maroona Jovianca dan Vanus Indris S. Dua gadis dengan aroma tubuh yang sama, saat terakhir kali pertemuannya beberapa menit lalu. Dan Aletha, gadis bau mayat yang membuat Roona obses ingin menjadikannya teman.
“Kita satu kelas loh”
“Udah tahu, duduk di barisan tengah meja ketiga dari depan”
Roona menatap kejut, tentu dengan ekspresi berlebihannya, dan Venus yang hanya menatap tidak percaya saja, karena yang dia sangka aneh justru malah mengamati.
“Kita bakal jadi team kalo lo mau!”
“Nggak tertarik”
Venus hanya diam, menatap sahabatnya yang tengah berusaha mendekati orang yang katanya butuh ditemani itu. Percobaan kedua dengan kegagalan yang sama, ditinggalkan. Aletha melangkah menjauh dengan aura dinginnya, meninggalkan hawa yang cukup membuat mereka berdua merinding.
“Dia kaya dukun ngga sih?”
Venus hanya tertawa, mengajak Roona kembali fokus dengan tujuannya. Koprasi sekolah untuk mencari buku tulis dan pena. Mengabaikan pertemanan yang kedengarannya mustahil terjadi antara mereka dan Aletha.
Disebrang, Aletha bisa lihat dengan jelas bagaimana ricuhnya Khalil dan teman-temannya yang entah sejak kapan berpindah tempat. Mengukir tawa untuk menemani rumput hijau dan pepohonan yang rindang. Membuat cemburu pada siswi yang melihat mereka lebih memilih bicara dengan angin, lantas menjadikan mereka terkesima secara bersamaan saat senyuman manis tampil pada masing-masing wajah. Terkecuali Aletha yang tidak peduli sama sekali. Seperti nisan yang diberi warna, seperti tanah kuburan yang baru saja di taburi bunga. Patut ditangisi, terlebih guyonan yang kata mereka seru justru adalah yang paling bisa Aletha rutuki.
Hanya satu fungsinya disini, mendapatkan keadilan. Selebihnya bukan tanggung jawabnya lagi.
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments