Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Arrrrgghhh!" teriak Sani, melempar kasar bantal yang tak bersalah ke lantai. "Kenapa harus kayak gini. Kenapa?" duduk di tepi ranjang, menangis, meluapkan kekecewaan di hatinya. Ingin bahagia saja, kenapa susah sekali. Apa memang, anak haram sepertinya, tak pantas untuk bahagia?
Tok tok tok
"Sani, ini Papa," seru Fatur dari balik pintu. "Papa masuk ya, Nak."
Sani tak menyahut, namun Fatur tetap masuk. Laki-laki itu mendekati Isani, duduk di sebelahnya.
"Maafin Papa," Fatur mengusap punggung Isani. "Bukannya Papa lebih memihak Yumi, tapi masalahnya, dia hamil. Kalau orang tahu dia hamil di luar nikah, itu bisa merusak nama baik keluarga. Selain itu, kasihan Yumi, dia akan jadi bahan cemoohan."
"Kalau memang harus segera menikah, kenapa gak ijab kabul saja, acara kecil-kecilan di rumah. Kenapa harus mengambil acara Sani? Pengantin laki-lakinya sudah diambil, dan sekarang, semuanya juga ingin dia ambil," tersenyum getir. "Aku yang efforts banget mikir, dia yang tinggal senyum, jadi ratu sehari."
"Papa bakal ganti uang kamu dua kali lipat," bujuk Fatur.
"Ini bukan hanya soal uang, Pah," tekan Sani sekali lagi. "Ah sudahlah, Papa gak akan ngerti," tersenyum kecut.
"Sani... " Fatur merangkul bahu Isani, membawa putrinya tersebut ke dalam pelukannya, matanya memanas. Ia merasa kasihan pada Sani, namun kadang, rasa bersalah pada Farah dan Yumi, membuat dia harus mengutamakan mereka daripada Isani.
"Pah, kenapa dulu aku gak digugurin aja sih?" air mata Sani menetes. "Kenapa aku harus dilahirkan jika tak ada seorangpun yang menginginkanku?"
"Jangan bilang seperti itu, Papa sayang sama kamu," Fatur mengusap rambut Sani, mengecup puncak kepalanya.
Sani menyeka sudut mata dan menyusut hidung. "Andai aja dulu di dalam perut aku bisa bicara, aku pasti minta digugurin aja."
"Isani.. " Dada Fatur terasa sesak, air matanya mulai menetes.
"Andai aku bisa memilih orang tua, aku gak akan pernah memilih Papa sama Mama. Aku lebih memilih tak pernah dilahirkan daripada dilahirkan hanya digunakan sebagai alat, alat Mama untuk menekan Papa. Namun saat alat tersebut ternyata tak berfungsi, aku dibuang," Sani makin tersedu-sedu. "Pah, bukankah ibu adalah wanita yang sangat mulia, hingga surga ada di bawah telapak kakinya? Namun kenapa ibuku jahat?" tanyanya disela-sela isak tangis. "Orang bilang, kasih ibu sepanjang masa, namun kenapa sekalipun, Mama tak pernah melihatku setelah meninggalkanku. Apa mungkin, memang tak ada rasa sayang sedikitpun di hatinya untukku. Jika memang begitu, kenapa aku harus dilahirkan ke dunia?"
Fatur hanya bisa menangis mendengar semua pertanyaan Sani. Karena kesalahannya dan Erna, banyak yang jadi korban. Selain Farah dan Yumi, juga Isani. Ya, Isani yang paling jadi korban disini, meski Farah juga mengalami sakit hati yang hingga kini tak bisa dia lupakan.
"Kenapa aku yang harus dihukum atas kesalahan kalian berdua? Kenapa, Pah? Aku gak pernah minta dilahirkan, gak pernah."
"Maafin Papa, Nak. Maaf," Fatur ikut sesenggukan.
"Selama 20 tahun, aku tinggal di rumah dimana aku tak pernah dianggap keluarga. Dan itu menyakitkan banget, Pah." Sani teringat hari pertamanya tinggal di rumah ini.
"Ngapain kamu duduk di situ?" bentak Farah saat Sani duduk di kursi makan saat jam makan malam.
"Ma-mau makan, Tante," jawab Sani lirih, perutnya sudah keroncongan dari tadi karena belum makan dari siang. Dia dibiarkan begitu saja seharian, Papanya sibuk bertengkar dengan Farah.
"Kamu bukan bagian dari keluarga ini, turun dari kursi itu," bentak Farah.
"Mah, biarin dia ikut makan," bujuk Fatur.
"Oh, jadi Papa lebih bela anak haram itu? Baiklah, kalau begitu, aku dan Yumi saja yang pergi dari sini. Aku gak bisa makan sambil melihat hasil kumpul kebo kamu!"
Fatur yang merasa bersalah, hanya bisa menunduk. Seharian, ia berusaha membujuk Farah agar memaafkannya, dan sekarang, ia tak mungkin membuat wanita itu semakin marah. Selain itu, Farah hamil besar, kondisi anak dalam kandungannya juga harus diperhatikan.
Sani yang menatap Papanya, akhirnya memutuskan turun dari kursi saat laki-laki yang dia harap akan membelanya tersebut ternyata hanya diam. Dia meninggalkan meja makan, berjalan menuju dapur. Berkali-kali dia menoleh, berharap papanya akan memanggil, namun hingga sampai tiba di dapur, ia tak dipanggil.
Tinggalkan rumah Ucup
ayo Sani....kamu pasti bisa....ini br sehari....yg bertahun tahun aja kamu sanggup