Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Punya Pacar Katanya
"Gak tau ah, udah sana!!" ucapku dengan wajah yang memerah.
Laki-laki itu terkekeh melihatku lalu pergi kembali bekerja setelah cukup lama mengobrol di ruangan.
Tidak lama setelahnya, teteh sepupu datang dengan minuman yang dibelinya.
"Teteh abis darimana?" tanyaku.
"Abis beli sarapan dari kantin, terus tadi ngerokok dulu bentar di luar rumah sakit. Jadi agak lama," jawabnya dengan sedikit cengengesan.
"Uangnya ada Teh?" tanyaku, "kok gak minta sama neng."
"Kan udah dikasih sama bapak kamu, ngapain juga minta lagi," jawabnya hanya membuatku mengangguk paham.
Wanita itu mendekat padaku dengan senyumannya, "yang barusan nganterin makanan siapa?"
"Orang yang kerja di sini dong Teh,"
"Bukan sekedar itu kan?"
"Maksudnya?" tanyaku.
"Gak usah malu-malu begitu, dia pacar kamu ya?" tanyanya.
Aku terkekeh mendengarnya, "bukan lah Teh. Cuman kenalan doang, kebetulan dia yang ngurus makanan buat pasien. Makanya tadi nganterin katanya gitu."
"Ya gak mungkin juga dia nganterin setiap makanan ke pasien sambil ngobrol gitu kan?" tanyanya, "diliat dari cara dia natap kamu juga, dia mau coba deketin itu kalau kalian emang gak ada apa-apa."
Aku mendecak mendengarnya, "ah teteh bisa aja, suka so tau gitu."
"Yehhhh!!!! Dibilangin malah gak percaya. Coba aja tanyain sama dia," ucap Teteh sepupu.
"Ya kali ditanyain Teh. Bisa dikira so kecakepan nanti aku," ucapku membuatnya terkekeh.
Di sisi Hanif,
Laki-laki itu kembali berkutik dengan data pasien yang cukup banyak di ruangannya dengan beberapa rekan kerja seperti biasa.
Seseorang mendekat padanya, "lo abis darimana barusan? Bukannya cuman cek ke dapur?"
"Abis ngobrol dulu sama pasien baru," jawab Hanif tanpa menoleh pada rekannya.
"Pasien yang mana yang dimaksud?" tanyanya.
Hanif menoleh dengan tatapan sinis pada rekan sekaligus sahabatnya, "gak usah kepo!"
"Dihhhh lo gitu banget. Gw sih gak penasaran ya, biasanya pasien yang lo ajak ngobrol itu ibu-ibu atau enggak anak kecil," ucapnya membuat Hanif terkekeh pelan.
"Eh iya Nif. Data pasien yang baru masuk semua ada di lo kan?" Hanif mengangguk, "kenapa emangnya?"
"Tadi dokter spesialis dalam tanyain, katanya ada pasiennya yang masih muntah darah. Dia minta catatan ulang buat makanannya," jelas rekannya—Adri.
Hanif mengangguk, "iya nanti gw ngobrol sama dokternya. Soalnya barusan ke ruangan, dia lagi di poli."
Siangnya—sebelum makan siang tiba, Hanif pergi menemui dokter spesialis yang menangani Riyani. Laki-laki itu cukup banyak mengobrol dengan dokter sembari mengobrolkan beberapa pasien lain.
Untuk saat ini, berhubung luka di lambungnya cukup parah. Dokter hanya menyarankan untuk makan makanan yang lebih lembut dibanding sebelumnya.
Di sisi Riyani,
Makanan makan siang baru saja diantarkan. Aku juga baru saja membukanya dengan sedikit rasa mual yang mulai datang ketika melihat makanan benyek itu.
Kayaknya aku bakal muntah lagi ini mah!!
Tapi gimana lagi, aku juga pengen sembuh.
Gak mau gini terus.
Seseorang masuk da merebut piring yang baru saja akan kubuka.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Makannya ganti ini aja, yang itu biar nanti saya yang makan," jawabnya.
"Kenapa diganti?" tanyaku lagi sembari memperhatikan dia yang sedang membuka wrap yang membungkus piringnya.
"Resepnya baru lagi. Tadi pagi kan udah diperiksa sama dokter, saya baru selesai ngobrolnya ternyata makan siangnya udah dibawain. Padahal resepnya ganti," jelasnya.
Aku menekuk wajah melihat makan siangnya, "sekarang malah makin benyek."
"Kata dokter, makannya yang lembek dulu biar lambung kamu gak terlalu kerja keras," jawabnya.
"Lambung kerja mulu dapet gaji gak?" tanyaku dengan konyol membuatnya terkekeh.
"Gaji lambung itu cuman makanan yang sehat dan normal buat dia," jawab Hanif.
"Maksudnya makanan saya gak normal makanya dia sakit?" tanyaku, "saya gak makan paku tuh!"
Hanif menyentil keningku, "bukan gitu. Maksudnya makanan yang kamu makan itu sembarangan, yang kamu pikir sehat-sehat aja dan bagus untuk diet itu belum tentu baik buat lambung dan usus kamu."
Baru saja aku akan kembali berbicara, laki-laki itu langsung menyelanya, "udah buruan makan! Terus minum obat yang tadi dikasih sama perawat." Aku mengangguk mengiyakan.
Dengan sedikit rasa mual, aku mulai melahap bubur yang dibawakannya tadi. Sesekali memakan melon untuk meredakan panas dalam.
Sedangkan Hanif pamit kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Laki-laki itu tidak mungkin berdiam diri kembali setelah tadi pagi mengobrol cukup lama denganku.
Beberapa hari kemudian,
Aku sudah merasa lebih baik, sekalipun memang belum disarankan untuk diet kembali dan juga menjaga makanan dengan tekstur yang sedikit lembek.
Bapak dan Mamah yang akan menjemput. Sekalipun aku akan menginap beberapa hari di rumah abang agar mudah untuk check-up.
"Hari rabu diusahakan ke sini lagi untuk pemeriksaan ulang setelah beberapa hari di rumah ya! Kalau misalnya sebelum hari itu, kamu muntah darah atau misalnya merasa perut terbakar, periksakan lagi aja ya!" ucap dokternya.
Aku mengangguk, "insyaallah enggak Dok! paling cuman rasa mualnya aja."
Dokter mengangguk paham, "rasa mual itu terjadi karena asam lambungnya masih sering naik. Jadi usahain jangan sembarangan dulu makan ya!" Aku mengangguk paham.
Padahal rasanya ingin makanan yang terasa masam seperti rujak buah, atau pedas seperti mie instan setelah lama tidak makan makanan itu.
Tidak lama setelahnya, mamah dan bapak datang. Begitupun dengan abang yang bertemu dengan orangtuanya di parkiran.
"Abang kok bisa barengan datangnya?" tanyaku sembari duduk pada tepian ranjang.
"Ya kan janjian sama bapak. Jadi ketemu di parkiran," jawabnya membuatku mengangguk paham.
Bapak dan Abang yang mengangkut barang-barangnya. Sedangkan aku didorong pada kursi roda oleh teteh sepupu dan juga mamah.
"Teh kenapa harus di kursi roda sih?' tanyaku, "kan neng udah sembuh. Lagian kalau jalan kan bisa, neng bukan lumpuh."
"Iya Teteh juga tau, tapi kata pacar kamu tadi pakein kursi roda aja. Takutnya kamu pusing," jawabnya.
Mamah menoleh padaku, "loh kamu punya pacar? Siapa?"
"Bukan Mah. Teteh salah paham," jawabku dengan cepat.
"Salah paham gimana neng? Emang beneran kok dari tatapannya aja udah suka dia sama kamu," ucap Teteh.
"Gak usah dipercaya deh Mah. Teteh cuman ngada-ngada doang," jawabku membuat mamah menyenggol lengan teteh sepupu dengan senyuman yang ditahannya.
"Ganteng gak?"
Teteh mengangguk dengan senyumannya.
"Mamah udah deh!" ucapku membuat mamah dan teteh terkekeh mendengarnya.
Abang menatapku heran, "sidedek kenapa Mah?" godanya.
Aku mendelik pada abang.
"Itu loh Bang, adiknya ada yang deketin katanya," jawab mamah meladeninya.
"Mamahhhhhhh ihhh!!!" protesku mendengarnya.
Mamah terkekeh mendengarnya.
"Siapa Mah?" tanyanya, "suruh ke rumah abang lah kalau gitu. Buat main kapan-kapan."
"Ih abang sama mamah sama aja," ucapku.
Abang terkekeh mendengarnya, "ya gak apa-apa atuh neng. Kan udah usianya ini."
Sembari mengangkat tubuhku ke mobil, abang kembali berbisik, "orang mana nih? cakep gak?" tanyanya.
"Abangggg!!!!"