Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Chesna berdiri di lorong, tubuhnya bergetar setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri Alan memanggil Miko dengan sebutan Papa. Pandangannya kosong, seakan pikirannya tercerabut ke dalam pusaran yang membingungkan.
Dari samping, Shenia muncul sambil membawa buku catatan. Awalnya gadis itu heran melihat sahabat barunya berdiri mematung, menatap aula dengan sorot yang tak biasa.
“Chesna,” panggil Shenia pelan, menyentuh bahunya.
Chesna tersentak sedikit, buru-buru menghapus jejak air mata di sudut matanya. “Eh… a-aku… tidak apa-apa.” Suaranya bergetar, sulit ia sembunyikan.
Shenia menoleh ke arah pandangan Chesna dan langsung menemukan jawabannya. Di sana, Alan masih berjalan berdampingan dengan Miko, keduanya terlihat dekat, penuh kebanggaan seorang ayah pada anaknya.
“Oh… jadi ini yang kamu lihat,” gumam Shenia, nadanya lembut. Ia lalu menoleh lagi pada Chesna. “Kamu pasti kagum, ya lihat kedekatan Pak Miko sama putra satu-satunya itu? Ya, semua orang tua dikalangan kami memang sangat sibuk tapi… Alan adalah anak paling beruntung karna papanya selalu punya waktu buat dia.”
Chesna membeku. Kata-kata itu seperti palu menghantam kepalanya. Meski ia baru saja mendengar sendiri Alan memanggil Miko “Papa”, mendengar penegasan dari mulut Shenia membuat segalanya semakin nyata dan semakin menyakitkan.
“Mereka ayah dan anak… kandung?” gumam Chesna pelan, hampir tak terdengar.
Shenia mengangguk kecil. “Iya. Semua orang di sekolah tahu itu. Pak Miko kan donatur besar sekolah ini, sering datang ke acara-acara penting. Alan juga selalu jadi kebanggaan beliau.” Ia tersenyum samar, seolah itu hal biasa yang tak perlu dipertanyakan. “Lihat aja, wajah mereka sangat mirip.”
Sementara itu, dada Chesna terasa semakin sesak. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang tak berujung. Kalau Alan benar anak kandung om Miko, lalu aku ini siapa?
Shenia memperhatikan perubahan raut wajah Chesna bingung, shock, campur aduk. “Hei, kamu kenapa? Mukamu pucat banget.”
Chesna memaksakan senyum tipis. “Nggak… nggak apa-apa.”
Shenia mengernyit, jelas tak puas dengan jawaban itu. Tapi ia memilih tak mendesak lebih jauh. “Kalau begitu, yuk kita ke kelas. Jangan sampai terlambat.”
Chesna hanya mengangguk pelan. Tapi langkahnya terasa berat. Setiap detik, bayangan Alan bersama Miko terus terulang di kepalanya, membuat hatinya semakin remuk dan kebingungan kian menumpuk.
Chesna duduk di bangku kelasnya, buku pelajaran sudah terbuka di meja. Suara guru yang sedang menjelaskan materi terdengar jelas di depan, tapi seolah hanya jadi gema samar di telinganya. Matanya menatap kosong ke arah papan tulis, namun yang terus muncul di kepalanya adalah pemandangan tadi. Alan yang memanggil Miko dengan sapaan Papa… dan Miko yang membalas dengan bangga.
Tangannya gemetar, memegang pena tapi tak bisa menulis satu kata pun. Dadanya terasa penuh, sesak menahan segala rasa yang campur aduk. Jadi… Alan hidup dengan Papa? Sementara aku… tidak?
Chesna menghela napas panjang, mencoba meredakan gejolak itu. Ia bahkan sempat menggigit bibirnya sendiri agar air mata tak jatuh. Namun perasaan hampa tetap tak bisa diusir.
Di sebelahnya, Shenia sempat melirik. “Hei, kamu nggak apa-apa? Dari tadi bengong terus,” bisiknya.
Chesna buru-buru menegakkan punggungnya, lalu tersenyum tipis. “Aku cuma… agak pusing,” jawabnya singkat.
Shenia mengangguk, walau raut wajahnya masih menyimpan tanda tanya. Ia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mengganggu sahabatnya ini.
Pelajaran kembali berjalan, tapi bagi Chesna, waktu terasa berjalan lambat. Ia hanya bisa menunduk, menggambar coretan tak jelas di buku catatannya, sementara pikirannya terpecah-pecah.
Alan… dia kembaranku atau bukan? Apa mungkin aku memang salah orang? Tapi kenapa persis seperti Alanku?
Saat bel istirahat berbunyi, Chesna tetap duduk di kursinya. Semua teman berlarian keluar, termasuk Shenia yang mencoba mengajaknya makan bersama. Tapi Chesna menolak halus, memilih tetap tinggal di kelas.
___
Malam itu kamar kos Chesna sepi. Hanya lampu belajar kecil yang menyala, memantulkan cahaya redup ke dinding. Chesna duduk bersila di ranjangnya, masih mengenakan seragam sekolah yang belum sempat ia ganti. Ranselnya tergeletak begitu saja di lantai, buku-buku berserakan.
Sejak pulang sekolah, pikirannya tak pernah berhenti berputar. Tatapan Alan, sapaan Papa, senyum bangga Miko—semua itu berputar-putar seperti film yang diputar ulang tanpa henti.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya. Layar ponsel menampilkan nama Mama di aplikasi pesan. Jantungnya berdegup keras. Lama ia hanya menatap layar, menimbang-nimbang, sebelum akhirnya jemarinya mulai menulis.
Chesna: Ma… hari ini aku lihat sesuatu. Aku lihat Alan. Dia ada di sekolah yang sama denganku. Dia manggil seorang pria dengan sebutan Papa. Dan aku kenal orang itu, pria itu Om Miko. Jadi benar, ya, Ma? Alan sekarang tinggal sama Papa?
Ia berhenti, air mata jatuh membasahi layar. Dengan gusar, ia usap cepat, lalu mengetik lagi.
Chesna: Kenapa Mama nggak pernah cerita sama aku? Kenapa aku harus tahu dengan cara seperti ini? Rasanya sakit sekali, Ma…
Kali ini ia benar-benar tak kuasa menahan tangis. Isaknya pecah dalam kesunyian kamar. Namun di tengah rasa sakit, ada kerinduan yang membuncah.
Chesna: Aku kangen Alan. Aku kangen punya dia di sampingku, kayak dulu. Kita kan kembar, Ma. Kenapa kita harus dipisahkan?
Ia terdiam sebentar, menatap huruf-huruf itu dengan mata kabur. Lalu, dengan perasaan yang hancur, ia menulis kalimat terakhir:
Chesna: Tolong jawab aku, Ma. Aku nggak kuat kalau harus menanggung rahasia ini sendirian.
Pesan itu terkirim. Layar hanya menampilkan tanda centang. Belum ada balasan.
Chesna memeluk ponselnya erat-erat, seolah dari benda kecil itu ia bisa mendengar suara ibunya. Air matanya terus mengalir, membasahi bantal tipis.
Di luar, suara tawa tetangga begitu hangat di depan kos. Tapi di dalam kamar kecil itu, dunia Chesna runtuh oleh kebenaran pahit yang akhirnya ia temukan.
“Aku tidak tahu ini sebuah kebenaran atau tidak. Aku hanya merasa ini sangat membingungkan.”
__
Malam itu laut tampak tenang, hanya suara mesin kapal yang bergemuruh di kejauhan. Rania duduk di sudut kabin sempit tempat ia beristirahat, tubuhnya letih setelah seharian bekerja menjajakan makanan dan minuman untuk para penumpang. Rambutnya sedikit kusut, keringat masih terasa menempel di pelipis.
Ia meraih ponselnya yang baru saja menangkap sinyal tipis dari menara terdekat. Notifikasi pesan masuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Nama itu muncul di layar: Chesna.
Rania buru-buru membuka. Matanya menyapu kata demi kata yang ditulis putrinya, dan seketika dadanya diremas perasaan bersalah.
Tangan Rania bergetar. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, menahan isakan yang nyaris pecah. Air matanya jatuh begitu saja, membasahi layar ponsel.
Setiap kalimat berikutnya membuat luka lama terbuka kembali:
Rania menekuk tubuhnya, ponsel ia dekap di dada. Seluruh kabin terasa sempit, pengap oleh sesak yang tak bisa ia tumpahkan.
“Ya Tuhan…” bisiknya lirih. “Anakku… aku cuma ingin memilikimu, Chesna. Aku ingin kalian berdua bahagia, meski bukan bersamaku. Tapi kenapa begini caranya kau harus tahu?”
Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba menenangkan diri. Namun air mata tak berhenti mengalir. Pikirannya penuh dilema. Haruskah ia jujur pada Chesna sekarang? Atau tetap menutupi kenyataan itu demi egonya?
Tangannya sempat menyentuh papan ketik ponsel, ingin menulis balasan. Tapi jemarinya terhenti di udara. Tidak ada kata yang cukup untuk menjawab rindu dan luka putrinya.
Akhirnya, Rania hanya bisa mengetik singkat:
Rania: Sayang, Mama akan jelaskan nanti. Tolong bersabar sebentar lagi. Jangan menangis sendiri, ya. Kamu kuat, Nak. Mama selalu mencintaimu.
Ia mengirim pesan itu, lalu kembali terisak. Laut malam yang dingin menyelimuti tubuhnya, tapi yang paling menusuk adalah dinginnya kenyataan. Smakin lama rahasia itu disimpan, semakin besar luka yang menganga di hati anak-anaknya.