Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 02
Ban Mobil itu sampai berbunyi berdecit dikarenakan sang sopir menekan pedal rem penuh. Sedangkan sosok wanita kehilangan akal itu roboh.
“Tuan ….” napasnya tercekat dengan mata memandang lekat kedepan, berusaha melihat jelas. Ia mengubah kecepatan Washer pump mobil agar bergerak gesit membersihkan air hujan yang terus menghalangi penglihatannya.
“Periksalah!” titah sebuah suara dalam nan rendah tanpa melihat sang asisten merangkap sopir.
Tanpa diperintah dua kali dan memang jarang ada pengulangan kata, sosok berkacamata bening itu mengambil payung lipat di dashboard, bergegas membuka pintu samping kemudi, membuka benda yang dapat melindunginya dari derasnya air hujan.
Blam.
Pintu mobil kembali tertutup rapat, penumpang di belakang tetap tenang, sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi.
“Dia masih hidup 'kan?” monolognya, berusaha membungkuk, memperhatikan wanita yang terbaring meringkuk, mata terpejam, gaun bagian bawah tersingkap hingga pertengahan paha.
“Masih bernapas,” gumamnya lirih, menarik kembali jemari telunjuk dan tengahnya yang ia gunakan untuk memeriksa denyut nadi di leher dan pergelangan tangan.
Sang asisten kembali mendekati mobil dan membuka pintu kemudi.
“Tuan, dia seorang wanita, tak sadarkan diri. Sepertinya mobil kita tak ada mengenainya, tidak ada luka. Mungkin saja ia begitu terkejut sehingga pingsan. Lantas harus bagaimana?” tanyanya ragu-ragu.
“Tinggalkan!”
Satu kalimat yang mampu menggerakkan tubuh si asisten duduk kembali pada jok kemudi, menaruh asal payung di lantai mobil, lalu mulai memundurkan laju mobil agar bisa tancap gas dan menghindari wanita tadi.
Baru tiga menit mobil melaju, sosok yang selalu terlihat berekpresi tegas, irit bicara itu bersuara tegas nan dalam. “Putar balik!”
Pria berkacamata melirik ke arah belakang pada sang tuan berparas tampan. Saat merasakan keheningan yang menyiksa dan aura intimidasi semakin pekat, ia memutar habis setir kemudi, laju mobil menjadi melawan arah, jaraknya belum lah jauh dari sosok tergeletak tak berdaya.
Mata elangnya memandang pada seonggok raga tak sadarkan diri, tergeletak dikelilingi genangan air.
“Damar, masukkan dia ke dalam mobil!” titahnya kepada sang asisten.
“Baik, Tuan.” Damar mengulang reka adegan yang belum lama dilakukannya, kali ini tanpa membuka payung, ia menembus hujan. Membuka pintu mobil bagian penumpang samping kemudi. Kemudian menghampiri sosok yang tetap bergeming dengan rona wajah semakin pucat dan bibir membiru.
Pria bernama Damar itu menatap sekeliling, netranya melihat tas tangan yang ia duga milik si wanita, lalu mengambilnya. Kemudian membopong tubuh yang terasa ringan, lalu mendudukkan pada jok samping kemudi.
Selepasnya, Damar masuk ke bangku kemudi. Bukan cuma si wanita yang basah kuyup, dirinya pun sama.
Pada bagian kursi penumpang, sosok tenang itu memandangi saksama sisi wajah putih pucat, rambut basah meneteskan air hujan. Posisi duduk mereka saling berlawanan, sehingga dirinya leluasa menatap tanpa ekspresi apapun, selain datar.
“Pulang ke apartemen!” perintahnya seraya masih memandangi lengan kurus yang terkulai di samping jok.
“Baik, Tuan.”
Hujan masih turun, tapi tidak sederas tadi. Damar menambah laju mobil agar segera sampai di kawasan apartemen kelas atas perkotaan Medan, Sumatera Utara.
Setengah jam kemudian, mobil sedan berwarna hitam itu memasuki area parkir khusus.
Begitu melihat plat nomor yang dikenali, sang kepala keamanan mendekati, hendak membukakan pintu penumpang, tetapi gerakannya kalah cepat.
“Selamat malam, Tuan.” Sapanya sopan sembari menunduk.
“Malam. Perintahkan pihak keamanan untuk mematikan seluruh cctv yang beroperasi sampai hunian saya. Jangan ada jejak apapun yang menangkap keberadaan kami.” Langkahnya begitu tegas, menuju pintu yang terhubung dengan lift.
Meskipun tidak paham dan sangat penasaran, tapi sang kepala keamanan tahu bagaimana melindungi posisinya, ia memerintahkan kepada bawahannya melalui talkie walkie.
Belum juga selesai bertitah, netranya membulat melihat sosok lemas yang dibopong orang kepercayaan pemilik saham apartemen mewah ini.
Damar melangkah tanpa terlihat keberatan, wanita asing dalam gendongannya masih tidak sadarkan diri.
Di dalam lift yang akan membawa mereka ke lantai paling atas, hanya ada keheningan. Sang kepala keamanan begitu pelan menghela napas.
Ting.
Begitu gesit pria berumur berkisar 40 tahun itu menahan tombol buka lift, setelah sang tuan dan asistennya serta sosok misterius keluar, ia pamit undur diri. Tugas mengantar pun selesai sudah.
.
.
Sementara di lain tempat, kehebohan sedang terjadi. Keluarga kedua belah pihak sibuk mencari keberadaan Sahira yang menghilang di saat pesta belum usai.
“Apa yang kau lakukan sehingga Sahira kabur, hah?!” Sigit Wiguna terlihat begitu murka, ia seperti seorang ayah yang mencemaskan putrinya, menatap sinis calon menantunya.
“Saya hanya memintanya berdiam diri di ruang pesta, tak lebih!” Wira mencoba membela diri, melepaskan cengkraman tangan calon ayah mertua pada kerah kemejanya.
“Pembohong! Sahira bukanlah sosok pembangkang, dia begitu penurut. Pasti kau telah menyakiti hatinya dengan sengaja! Dasar Bedebah!”
Bugh!
Satu tinju menghantam rahang Wira. Membuat pemuda itu mundur satu langkah, tidak memperkirakan gerakan tiba-tiba Sigit Wiguna.
Suasana pun menjadi ricuh, beruntung area pesta sudah lenggang, para tamu undangan telah pulang, tinggal keluarga inti saja dari kedua belah pihak.
“Pa, sudah! Kita selesaikan dengan kepala dingin.” Widya Mandala, selaku istri dari Sigit Wiguna menarik lengan suaminya.
“Bagaimana dengan rekaman cctv?” tanya Widya.
“Sedang diperiksa oleh kepala keamanan yang berwenang,” jawab Wira, tangannya mengusap rasa nyeri di rahang.
‘Ku harap kau mati, wanita miskin!’ Jenny mendengus, diantara kerumunan orang, hanya dirinya yang terlihat sumringah sambil mengamati setiap wajah dirundung cemas.
“Hasil cctv nya sudah dapat diakses, Tuan.” Orang kepercayaan Sigit Wiguna membuka ipad-nya, memperlihatkan adegan demi adegan dimana Sahira terlihat berjalan sempoyongan sembari menangis.
Namun, tidak ada satupun rekaman yang menampilkan tayangan penyebab Sahira meneteskan air mata.
“Dia keluar dari gedung perhotelan ini? Apa kau sudah menggerakkan anak buahmu?” gigi Sigit Wiguna bergemeletuk, nada suaranya menggeram.
“Sudah, Tuan. Orang kita sedang melakukan penelusuran.”
‘Apa gadis bodoh itu melihat ku dan Jenny sedang bercumbu?’ Wira mendengus, dalam hati terkekeh geli.
'Baguslah kalau iya. Siapa juga yang mau memperistri sosok layaknya tengkorak hidup sepertinya. Dan kalian ... sampai mati pun takkan mendapatkan bukti itu,’ sambungnya.
Wira Tama sangat percaya diri bila kelakuan tidak bermoral nya aman dari pantauan kamera ataupun mata-mata. Sebelumnya, dia sudah menyuap anggota keamanan yang berjaga di area basement.
“Ini sangat memalukan! Pesta harus dihentikan dikarenakan si wanita menghilang! Kau itu bisa tidak mendidik anak pungut mu, Sigit?!” papa nya Wira terlihat murka, dia merasa dipermalukan dan dipermainkan.
“Sebelum kau menuduh yang tidak-tidak, sebaiknya interogasi putramu yang terkenal suka bergonta-ganti pasangan itu!” Tunjukkan tepat di wajah Wira.
“Kita tunggu saja kabar selanjutnya, Sahira tidak mungkin berani melarikan diri setelah berhutang budi begitu besar,” ungkap ibu angkatnya Sahira.
Keadaan sedikit mencair, tidak lagi saling menyerang.
“Pastikan berita ini tidak sampai diketahui orang luar yang mengakibatkan nama baik keluarga tercoreng.” Sigit Wiguna melepaskan tangan istrinya yang bergelayut, dia memilih duduk pada kursi tamu.
***
“Namanya Sahira, putri angkat Sigit Wiguna, ayah mertua Anda, Tuan.” Damar membacakan data diri wanita yang tadi ditolongnya, mencari lewat tanda pengenal di dalam tas.
Kening Thariq Alamsyah mengernyit. “Sahira ....”
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔