Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Suara itu bagaikan petir yang menggelegar di tengah keheningan malam. Kedua pria itu refleks menghentikan gerakannya. Aruna pun membeku, matanya membesar. Ia tahu suara itu.
Langkah berat mendekat, setiap pijakan terdengar mantap dan menekan, seolah bumi sendiri tunduk padanya. Dari kegelapan, sosok tinggi tegap dengan jas hitam mahal muncul, matanya menyala tajam, sorotnya seperti pisau yang siap mengoyak siapa saja yang berani menantangnya.
Arkan.
Aruna hampir terisak lega, tapi tubuhnya tetap gemetar.
Kedua pria besar itu saling melirik. Wajah mereka yang tadinya penuh percaya diri perlahan berubah pucat.
Arkan berhenti tepat di hadapan mereka. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal, dan suara rendahnya terdengar seperti raungan hewan buas yang siap menerkam.
“Lepaskan tangan kalian dari istriku.”
Kata istriku meluncur begitu tegas, bergema hingga menusuk telinga semua orang yang mendengarnya. Aruna terperanjat. Jantungnya seakan berhenti sejenak, matanya melebar menatap Arkan. Istrinya?
Kedua pria itu terdiam kaku. Wajah mereka berubah drastis.
“I… istrinya?” salah satu berbisik, suaranya tercekat.
“A-arkan… Arkan Dirgantara…” gumam pria kedua dengan suara bergetar. Mereka saling pandang, lalu buru-buru melepaskan cengkeraman di pergelangan tangan Aruna, seolah tersengat listrik.
Tubuh Aruna langsung jatuh berlutut lemah, tapi Arkan segera meraih lengannya, menariknya ke dalam dekapannya dengan satu gerakan protektif.
Tatapan Arkan menyala penuh amarah. “Kalau saja kalian berani menyentuhnya satu detik lagi… aku pastikan kalian tidak akan bisa berjalan keluar dari sini dengan tubuh utuh.”
Nada dinginnya membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Aura berbahaya yang terpancar dari matanya jelas menunjukkan bahwa itu bukan ancaman kosong.
Kedua pria itu gemetar hebat. Mereka sudah mendengar reputasi Arkan—seseorang yang tak hanya kaya raya, tapi juga punya kuasa untuk menghancurkan hidup siapa pun hanya dengan satu jentikan jari.
“S-sungguh kami tidak tahu dia… istri Anda,” salah satunya terbata, wajahnya basah oleh keringat dingin.
“Maafkan kami, Tuan Arkan. Kami tidak akan mengulanginya lagi.”
Arkan mendengus, dingin dan tajam. “Pergi sebelum aku benar-benar menghabisi kalian.”
Tanpa menunggu, kedua pria itu berlari tunggang langgang, lenyap ditelan kegelapan.
Aruna masih gemetar di dalam dekapannya. Napasnya tersengal, tubuhnya lemah tak berdaya. Arkan menatapnya, sorot matanya melembut sedikit, meski rahangnya masih tegang karena amarah yang belum reda.
“Aruna…” suaranya berat, namun kali ini ada nada lain—seperti sebuah ketakutan yang ia sembunyikan. Tangan besar itu menangkup wajah gadis itu, mengusap air mata yang terus mengalir. “Aku terlambat… maaf.”
Aruna hanya terisak, bibirnya bergetar tanpa bisa menjawab. Tapi di dalam pelukannya, ia tahu—ia aman.
Aruna masih terisak ketika tubuhnya tiba-tiba diangkat begitu saja. Arkan membungkuk, lalu menggendongnya dalam pelukan bridal style tanpa bertanya.
“P-p… apa yang kau lakukan?” suara Aruna bergetar, tangannya refleks mencengkeram jas mahal pria itu.
“Diam saja,” ucap Arkan dingin, tapi nada suaranya tegas dan penuh kendali. “Aku tidak akan membiarkanmu berjalan sendiri dalam keadaan seperti ini.”
Udara malam masih menusuk, tapi dada Aruna terasa sedikit hangat. Ia bisa mendengar detak jantung Arkan yang stabil, kontras dengan dirinya yang masih berdegup liar.
Langkah-langkah lebar Arkan membawa mereka menuju parkiran. Orang-orang yang sempat melihat hanya bisa menunduk, tak seorang pun berani menegur setelah menyaksikan bagaimana aura pria itu barusan membuat dua lelaki kekar kabur seperti tikus.
Arkan membuka pintu mobil hitam mewahnya dengan satu tangan, lalu menurunkan Aruna dengan hati-hati ke kursi penumpang. Ia menunduk sebentar, memastikan sabuk pengaman terpasang. Sorot matanya tajam, tapi ada secercah khawatir di balik dinginnya.
“Jangan menangis lagi. Kau aman bersamaku,” katanya pelan, hampir seperti bisikan.
Aruna hanya bisa menunduk, pipinya panas, hatinya berkecamuk. Kata-kata istriku tadi masih bergema kuat di kepalanya.
Mobil melaju membelah jalanan malam. Tak ada percakapan panjang, hanya suara mesin yang bergemuruh dan sesekali tarikan napas berat dari Aruna.
Sesampainya di depan rumah, lampu teras masih menyala terang. Begitu mobil berhenti, sosok seorang wanita setengah baya segera keluar dengan langkah tergesa.
“Aruna!” Ibu Aruna berseru cemas, wajahnya pucat karena khawatir. “Kau ke mana saja, Nak? Ibu hampir gila menunggu!”
Aruna baru hendak menjawab, tapi matanya melebar ketika sang ibu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tatapan wanita itu kini tertuju pada pria yang berdiri tegap di samping mobil.
Arkan.
Wajah ibunya yang tadi panik mendadak berubah hangat. Senyum lega perlahan muncul, bahkan ada binar bahagia di matanya.
“Arkan…?” panggilnya pelan.
Arkan menunduk hormat. “Selamat malam, Tante. Saya mengantarkan Aruna pulang.”
Senyum Ibu Aruna makin lebar, seolah beban besar baru saja terangkat. “Astaga, syukurlah… jadi kau yang bersamanya. Masuklah, Nak. Jangan hanya berdiri di luar. Kau pasti lelah.”
Begitu mereka duduk di ruang tamu, Aruna belum sempat bertanya apa pun ketika suara ponsel Arkan berdering.
Arkan menatap layar sejenak, lalu mendengus kecil. "Ibu.” Ia berniat mengangkat, tapi tangannya mendadak terhenti ketika Ibu Aruna justru meraih ponsel itu dengan cepat.
“Biar tante saja yang bicara,” ucapnya, seolah hal itu sudah biasa.
Aruna tidak heran lagi karena ibunya benar-benar sangat ingin berbicara dengan ibunya Arkan.
Telepon tersambung, dan suara lembut seorang wanita terdengar dari seberang.
“Arkan? Kau baik-baik saja? Ibu khawatir sekali, sudah malam begini belum juga pulang.”
Ibu Aruna tersenyum sambil menjawab. “Tenanglah, Bu. Arkan baik-baik saja. Kebetulan dia ada di rumah saya sekarang.”
Seberang sana terdengar lega. “Oh, syukurlah… jadi Arkan ada di rumah calon mertuanya, ya? Tepat sekali. Tinggal seminggu lagi, semua persiapan pernikahan harus benar-benar matang. Saya lega sekali melihat anak-anak kita makin dekat.”
Aruna sontak membeku.
Apa…?
Kata-kata itu bagai petir yang menyambar kepalanya.
“S-seminggu…?” gumamnya lirih, suaranya nyaris tercekat.
Ibunya menoleh dengan ekspresi penuh arti. “Iya, Nak. Kau memang belum tahu detailnya, tapi pernikahanmu dengan Arkan sudah dijadwalkan seminggu lagi.”
Jantung Aruna berdetak tak karuan. Matanya melebar, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Ia menoleh ke Arkan yang duduk tenang di sampingnya, rahang pria itu mengeras, namun matanya tetap menatap lurus seolah sudah tahu bahwa pernikahan memang di laksanakan seminggu lagi.
“Seminggu lagi… aku akan menikah dengan… dia?”
Suara Aruna pecah, tak percaya, dan ruangan tiba-tiba terasa sesak oleh kenyataan yang menurutnya terlalu mendadak.