NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:265
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 20

Suasana mall sore itu ramai, dipenuhi riuh tawa anak-anak dan suara musik dari gerai-gerai yang bertebaran. Lampu-lampu neon berwarna hangat memantulkan cahaya di lantai mengilap, menciptakan nuansa yang meriah. Zia, Jenny, dan Raka berjalan beriringan, menelusuri lorong demi lorong. Jenny sesekali berhenti di depan etalase butik, matanya berbinar melihat tas atau sepatu yang dipajang. Raka hanya tersenyum tipis, sementara Zia, yang awalnya agak kikuk, kini mulai terbawa suasana.

Mereka sudah hampir satu jam berkeliling, mencoba beberapa makanan ringan di food court. Jenny sibuk menceritakan hal-hal lucu yang ia alami di sekolah, dan Raka, yang biasanya cuek, kali ini ikut tertawa. Zia tak menyangka, ternyata bersama Raka tidak seburuk yang ia kira. Ada sisi tenang dan perhatian yang perlahan membuatnya nyaman.

Di sebuah toko aksesori, Jenny memegang sebuah gelang berwarna pastel. “Bagus nggak?” tanyanya sambil menatap Zia.

“Bagus banget, cocok buat kamu,” jawab Zia sambil tersenyum tipis.

Raka yang berdiri di dekat mereka hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk melihat jam tangan di etalase lain.

Namun, suasana hangat itu mendadak berubah ketika Jenny, yang sedang membolak-balik gelang di tangannya, berkata pelan tapi penuh arti, “Zi… gue mau nanya sesuatu, tapi Lo jangan marah.”

Zia menoleh, sedikit bingung. “Apaan?”

Jenny menghela napas, lalu menatap Zia dengan mata penuh rasa ingin tahu. “lo kerja di salah satu mansion kan?”

Pertanyaan itu membuat Zia membeku. Tangannya yang tadi memegang kalung kecil terhenti di udara. “Hah? Kok kamu tau?” ucap Zia dengan nada gugup, matanya berkedip cepat menahan rasa kaget.

Jenny menatapnya sambil mengangkat satu alis. “Karena gue selalu liat lo pulang dengan arah yang berbeda. Harusnya lo ke rumah Bi Lina, kan?” ucapnya datar, tapi ada nada penasaran di balik suaranya.

Zia menelan ludah, lalu berkata pelan, “Maaf aku nggak jujur sama kamu, Jenny. Tapi aku kerja… ada alasannya.”

Jenny langsung menyipitkan mata, seolah sudah punya dugaan. “Pasti gara-gara lama dan bibi lo, kan?” ucapnya, suaranya sedikit meninggi, tanda ia benar-benar kesal.

“Bukan kok…” jawab Zia cepat, meski nadanya terdengar ragu.

Jenny menggeleng, senyum tipis tapi pahit muncul di wajahnya. “Zia, lo jangan ngeles deh. Gue udah tau gimana sifat bibi dan paman lo. Dari dulu nggak pernah berubah.”

Raka yang dari tadi memperhatikan, akhirnya buka suara. “Udah jen… mungkin Zia sekarang nggak mau cerita dulu. Mending kita makan.” Suaranya tenang, tapi tatapannya jelas ingin meredam ketegangan.

Jenny menarik napas panjang, lalu memandang Zia dengan wajah sedikit menyesal. “Maaf ya, Zi… gue maksa lo buat jujur.”

Zia tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Nggak papa. Harusnya dari awal Zia juga jujur.”

Jenny tersenyum kembali, kali ini lebih tulus. “Ya udah, yuk… sekarang kita cari makan.” Ia lalu meraih tangan Zia, menariknya pelan menuju eskalator, sementara Raka berjalan di belakang mereka, matanya sesekali memperhatikan Zia dengan tatapan yang sulit diartikan.

---

Suasana restoran itu cukup hangat. Lampu-lampu gantung berwarna kuning keemasan menciptakan nuansa nyaman, sementara aroma makanan yang menggoda memenuhi udara. Zia duduk di antara Jenny dan Raka, mencoba menikmati makanan yang baru saja dihidangkan. Mereka bertiga tertawa lepas saat Raka bercerita tentang kejadian lucu di sekolah, membuat Zia mulai merasa lebih santai di sekitar cowok itu.

Namun tawa itu terhenti ketika ponsel Zia bergetar di atas meja. Ia menunduk, membuka layar, dan membaca pesan yang baru saja masuk.

Azka: “lo di mana?”

Jari Zia refleks mengetik balasan.

Zia: “Lagi makan di restoran.”

Tak ingin memicu rasa curiga, ia mengambil foto suasana meja mereka—makanan, gelas minum, dan sedikit latar belakang ruangan—lalu mengirimkannya.

Hanya butuh beberapa detik sebelum tanda centang biru berubah, menandakan Azka sudah membaca. Namun balasan yang datang membuat napas Zia tercekat.

Azka: “Itu siapa lelaki di meja lo?”

Zia membelalakkan mata. “Aduh… blur pun masih kelihatan, ya?” gumamnya pelan, merasa sedikit panik. Foto yang ia kirim memang tanpa niat menunjukkan Raka, tapi ternyata siluetnya masih terlihat di pinggir frame.

Pesan berikutnya muncul nyaris tanpa jeda.

Azka: “Pulang sekarang. Atau mau gue yang jemput?”

Nada dingin dan tegas dalam pesan itu terasa jelas, bahkan lewat teks. Jantung Zia berdetak lebih cepat. Ia tahu Azka bukan tipe yang main-main kalau sudah memberi perintah seperti itu. “Uh… sepertinya aku harus pulang,” ucapnya pelan pada Jenny dan Raka, mencoba tersenyum meski ada rasa khawatir di matanya.

Jenny mengangkat alis. “Kenapa? Kok buru-buru?”

Zia hanya menggeleng. “Nggak papa. Ada urusan di mansion” jawabnya singkat, enggan membocorkan hal sebenarnya.

Raka menaruh sendoknya dan menatap Zia penuh perhatian. “Kalau gitu biar gue sama Jenny yang nganterin. gimana?”

Zia sempat ragu. “Nggak usah repot, zia bisa pulang sendiri kok.”

“Tapi kan udah mulai malam Zia,” sela Jenny sambil menatapnya khawatir. “Daripada sendirian, mending bareng kita.”

Akhirnya Zia mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Mereka bertiga pun segera membayar makanan dan meninggalkan restoran. Di perjalanan menuju parkiran, Zia diam saja, sibuk memikirkan ekspresi Azka nanti. Ia tahu cowok itu punya sifat melindungi yang… terkadang terlalu intens.

Raka yang menyetir sesekali melirik ke kaca spion, melihat Zia yang duduk di belakang bersama Jenny. “lo kelihatan tegang banget, kenapa?” tanyanya.

Zia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkelebat. “Nggak, cuma capek aja,” jawabnya, mencoba terdengar santai.

Namun dalam hati, ia tahu ini bukan sekadar lelah. Ada seseorang yang sedang menunggunya… dan mungkin akan menginterogasinya.

______

Azka berdiri tegak di teras depan mansion, langkahnya mondar-mandir tak beraturan. Udara sore yang mulai dingin tak sedikit pun meredakan rasa gelisah di dadanya. Matanya sesekali melirik ke arah gerbang, menunggu sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya.

“Kenapa gue kayak gini, sih…” gumamnya pelan, nyaris seperti menggerutu pada diri sendiri. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat dari biasanya, tapi dia sendiri tak tahu apakah itu karena marah, cemas, atau campuran keduanya.

Tiba-tiba suara pintu yang terbuka memecah lamunannya. Aksa keluar dengan santai, mengenakan kaos longgar sambil membawa segelas jus mangga. Ia memandang kakaknya dengan tatapan heran.

“Ngapain lo di luar, Bang?” tanya Aksa, mengangkat sebelah alisnya.

“Lagi nunggu Zia. Sana pergi, kerjain PR!” jawab Azka cepat, suaranya terdengar seperti mengusir.

Aksa mendengus kecil. “Ngapain coba Bang Azka nungguin tuh cewek…” gumamnya tak percaya, lalu berjalan pergi meninggalkan teras.

Azka kembali menatap gerbang. Detik-detik terasa lama, sampai akhirnya suara mesin mobil terdengar mendekat. Sebuah mobil putih berhenti tepat di depan mansion. Pandangan Azka langsung mengeras.

Dari kursi kemudi, seorang lelaki keluar. Ia berjalan memutar ke sisi penumpang, lalu dengan sopan membukakan pintu. Dari sana, muncullah Zia. Gadis itu menunduk, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin malam

“Terima kasih…” ucap Zia lirih pada lelaki itu sebelum mobil melaju pergi.

Azka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Amarah bercampur rasa tak nyaman memenuhi dadanya. Bisa-bisanya dia jalan sama cowok… padahal tadi Aksa bilang dia main sama cewek.

Zia berjalan pelan mendekat, masih menunduk. Langkahnya terasa ragu, seperti tahu bahwa yang menunggunya bukan sekadar seseorang yang akan menyambutnya hangat.

Saat jarak mereka tinggal beberapa langkah, Azka menatapnya tajam. Sorot matanya penuh tanya, tapi juga menyiratkan sesuatu yang membuat Zia semakin gugup.

Udara di sekitar mereka seolah mengental. Tidak ada kata-kata yang keluar dalam beberapa detik pertama, hanya suara angin yang menyapu halaman mansion.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!