Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Asap hitam masih bergulung ke langit, menyelimuti gudang tua yang kini hanya tersisa puing dan bara merah. Bau besi terbakar, kayu hangus, dan jelaga menusuk tajam ke paru-paru. Malam itu seperti hening, tapi setiap orang yang ada di sana tahu: tragedi baru saja terjadi.
Anak buah Rafael bekerja cepat memadamkan api. Lampu-lampu kendaraan mereka menyorot liar, berganti dengan cahaya merah-biru dari ambulans yang baru tiba. Dua paramedis turun tergesa, membawa kantong jenazah yang hangus.
Dominic berdiri kaku di tempatnya. Matanya membesar begitu melihat sehelai kain sapphire yang gosong, masih melekat di tubuh yang sudah tak lagi berbentuk. Itu gaun yang sama… gaun yang Elanor kenakan di ballroom beberapa jam lalu.
Kakinya lemas. Dunia seolah berhenti berputar. Tangannya bergetar ketika menyentuh pinggiran kantong jenazah itu. Di antara kain yang hangus, ia menemukan kalung yang ia kenal betul, kalung kecil dengan liontin tipis, kalung favorit dari adiknya itu. Tidak ada lagi keraguan. Itu memang Elanor.
“Tidak…” suara Dominic pecah, hampir tidak terdengar. “Bukan gini cara lo pulang, El…”
Paramedis dengan wajah serius menutup kantong jenazah rapat-rapat. Dominic langsung berlutut, menggenggam tangan gosong itu meski sudah tak lagi bisa disebut tangan. Air matanya tumpah deras, jatuh bercampur dengan abu di tanah.
Ambulans segera menyalakan sirene. Dominic, dengan langkah goyah, ikut naik. Ia duduk di samping jenazah, kedua tangannya meremas lutut, wajahnya basah oleh air mata. Matanya tak lepas dari kantong jenazah itu sepanjang perjalanan.
Jalanan kota berkelebat lewat jendela ambulans, lampu-lampu malam terlihat kabur oleh air matanya sendiri. Ia tidak tahu harus marah, hancur, atau mati bersama Elanor di dalam sana. Yang ia tahu hanya satu: hidupnya baru saja kehilangan separuh jiwa.
Ambulans akhirnya berhenti di depan rumah sakit. Pintu belakang terbuka, paramedis segera menurunkan tandu berisi jenazah. Dominic ikut turun, wajahnya kusut, langkahnya seperti mayat hidup.
Begitu pintu ruang gawat darurat terbuka, jeritan histeris Bella langsung meledak.
“ENGGAAA! JANGAN BILANG ITU LALA!!!” Bella berlari, tapi terhenti ketika melihat kantong jenazah yang baru dibawa masuk. Lututnya goyah, tubuhnya jatuh tersungkur di lantai. Tangisnya meledak, menyesakkan udara rumah sakit yang putih dingin itu.
Daniel yang duduk di kursi roda, mencoba tegar. Tapi matanya basah, bahunya bergetar pelan. Ia menunduk, seolah tak sanggup menatap langsung pada kenyataan yang baru saja merobek hatinya.
Dominic berdiri membeku. Matanya merah, rahangnya mengeras, tapi air matanya terus jatuh tanpa bisa ia kendalikan.
Dan di layar televisi ruang tunggu, Casandra kembali tampil di depan kamera. Air matanya tumpah dengan indah, suara parau penuh kepura-puraan: “Putriku… kenapa kau harus meninggalkanku secepat ini…”
Dominic menatap layar itu. Dadanya bergejolak, amarah dan duka bertubrukan. Dengan gerakan kasar, ia meraih vas bunga di meja dan menghantamkan ke televisi itu. Suara kaca pecah memenuhi ruangan.
Tangis Bella makin keras, Daniel menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan Dominic hanya berdiri, terengah, seperti binatang yang sedang terluka parah.
Di sisi lain kota, Rafael masuk ke apartemennya yang remang. Jaketnya masih berbau asap dan mesiu. Rafael membuka pintu menuju ruangan rahasia tersembunyi di balik lemari. Lampu neon putih dingin menerangi ruangan penuh monitor, rak senjata, dan meja kerja.
Ia duduk di depan laptop hitam. Folder foto Elanor terbuka. Satu per satu wajah gadis itu terpampang di layar, ketika tersenyum ceria, tertawa kecil, bahkan foto diam-diam di ballroom malam terakhir.
Tangannya bergetar di atas keyboard. Kursornya sudah berada di tombol Delete All. Napasnya pendek, dadanya terasa sesak.
“Aku janji akan menjagamu…” suaranya rendah, hampir berbisik. “Tapi kamu malah—” suaranya pecah, lalu ia mendesah panjang.
Matanya memerah. Ia menggenggam kepalanya, jemarinya menekan pelipis kuat-kuat seolah rasa bersalah bisa dihancurkan dengan kekuatan fisik.
Tiba-tiba, telepon satelit di meja berdering. Suaranya nyaring, menusuk keheningan. Rafael menoleh, ragu, sebelum akhirnya mengangkat.
“Tuan, gerakan selanjutnya bagaimana?” suara dari seberang terdengar tegas, dingin.
Rafael tak segera menjawab. Ia menunduk, lalu menutup mata. Bayangan wajah Elanor muncul dalam benaknya. Kalimat gadis itu waktu itu terngiang: “Papa bilang, kalau aku yang akan jadi pewaris keluarga Cromwell.”
Ia membuka mata. Tatapannya berubah.
“Kirim mata-mata ke kediaman Cromwel, Dan cari surat wasiat itu. Bagaimanapun caranya. Aku ingin dokumen itu ada di tanganku secepat mungkin.”
“Baik, Tuan.”
Telepon terputus. Rafael menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi, menutup wajahnya dengan satu tangan. Suaranya bergetar ketika berbisik pada dirinya sendiri:
“Kalau aku tak bisa menyelamatkanmu… setidaknya aku akan menjaga apa yang menjadi milikmu, Elanor.”
Besok hari pun datang. Langit sore itu seolah tahu duka yang menimpa keluarga Cromwell. Mendung bergelayut rendah, angin berhembus pelan membawa aroma tanah basah dan bunga lili yang bertebaran di sekitar liang lahat.
Di tengah kerumunan, sebuah peti hitam berlapis kain beludru berdiri sunyi. Di atasnya, foto Elanor dengan senyum lembut dipajang, senyum yang kini terasa seperti ejekan kejam bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Dominic berdiri paling depan, tubuhnya kaku seperti patung. Jas hitamnya kusut, wajahnya pucat dengan mata merah bengkak. Dari rahangnya yang mengeras, jelas terlihat ia sedang berusaha keras menahan amarah yang bercampur dengan kepedihan. Matanya terpaku pada peti itu, seakan masih berharap Elanor akan keluar sambil tertawa, berkata semua ini hanya mimpi buruk.
Di sampingnya, Bella sudah tidak bisa mengontrol tangisnya. Ia menutupi wajah dengan sapu tangan, bahunya berguncang hebat. Sesekali ia mencoba berdiri tegak, tapi akhirnya roboh ke kursi, tubuhnya gemetar. Tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Daniel.
Daniel sendiri hanya duduk diam di kursi roda. Ekspresinya tenang, tapi air matanya terus jatuh tanpa henti, membasahi wajahnya yang pucat. Ia tak berteriak, tak meronta, hanya diam, dan justru itu yang paling menyesakkan, seolah duka itu sudah menghancurkan dirinya dari dalam.
Casandra, di sisi lain, tampil sempurna sebagai “ibu yang hancur.” Gaun hitam panjangnya berkibar anggun, wajahnya basah oleh air mata. Setiap isakan terdengar dramatis, setiap gerakannya terukur, seakan ia sedang berada di atas panggung. Kamera wartawan menyorotnya tanpa henti, merekam setiap detail “kesedihan” itu. Dominic sempat melirik, rahangnya mengetat, ia sangat ingin membanting kamera-kamera itu, ingin sekali ia berteriak kalau semua ini hanya sandiwara. Tapi suaranya tertelan bulat oleh tangisnya sendiri.
Ketika pendeta selesai berdoa dan tanah mulai ditimbun, suara gumpalan tanah yang jatuh ke atas peti terdengar jelas
duk… duk… duk…
seperti palu godam yang menghantam dada Dominic. Sesuatu dalam dirinya runtuh seketika. Ia terjatuh berlutut di tepi liang, kedua tangannya menggali tanah yang masih basah, memukulnya berulang-ulang.
“ELANOOOOOR!!” suaranya parau, penuh luka, menembus udara mendung.
Bella tersentak, buru-buru ikut berlutut menahan Dominic. “Cukup, Kak! Tolong, cukup…” suaranya pecah, tapi justru ia ikut menangis semakin keras, memeluk bahu Dominic dengan gemetar.
Daniel menunduk makin dalam. Air matanya jatuh membasahi tangannya yang lemah di atas kursi roda. Ia menutup wajah dengan kedua telapak, akhirnya isakannya pun pecah, meski lirih, nyaris tak terdengar di antara raungan keluarga yang lain.
Para pelayat yang hadir ikut menundukkan kepala. Ada yang terisak, ada yang diam saja, tapi semua tahu, kalau mereka sedang menyaksikan sebuah keluarga yang benar-benar kehilangan.
Dari kejauhan, seorang pria berjas hitam berdiri sendiri, kacamata hitam menutupi matanya. Rafael. Ia tidak maju, tidak ikut mendekat. Ia hanya berdiri di balik kerumunan, menatap tanah yang kini perlahan menelan peti itu.
Di balik kaca hitamnya, matanya basah. Namun tidak ada yang melihat, tidak ada yang tahu. Rafael menggenggam erat tangannya sendiri, berusaha menahan rasa bersalah yang terus menjerit di dalam kepalanya.
“Maafin Aku... El.... Maafin aku....…”
Suara gumpalan tanah terakhir menutup liang lahat, menutup pula semua harapan.
Hari itu, semua orang yang hadir percaya satu hal yang sama yaitu, Elanor Cromwell benar-benar telah pergi.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭