NovelToon NovelToon
Kau Dan Aku Selamanya

Kau Dan Aku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Crazy Rich/Konglomerat / Pelakor / Cinta Seiring Waktu / Suami Tak Berguna
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Sudah lima hari berlalu, tapi suasana di rumah itu tetap dingin, tetap sepi, seolah tak pernah mengenal suara kunci yang diputar oleh Chandra. Tak ada jejak sepatu di depan pintu, tak ada aroma parfum maskulin yang biasanya tertinggal samar di ruang tamu. Hanya kesunyian yang menjadi teman Audy, ditemani detik jam dinding yang terasa semakin menusuk tiap kali jarumnya bergerak.

CCTV yang dia pasang begitu apik, nyaris tak kasat mata. Para teknisi menatanya dengan hati-hati, sesuai dengan apa yang diinstruksikan oleh Audy.

CCTV ini akan menjadi perangkap tak terlihat yang siap menelan setiap kebohongan yang berani melintas di dalam rumah itu. Kamera-kamera itu menjadi mata tambahan miliknya, mata yang akan mengawasi setiap kejadia di rumah itu, 24 jam tanpa henti.

Namun di layar ponselnya, kenyataan justru semakin kejam. Permintaan follow dari akun barunya akhirnya diterima. Second account Jenny terbuka, dan di sanalah semua bukti kebusukan terpampang tanpa rasa bersalah. Postingan demi postingan menyayat hatinya: Chandra dengan senyum yang dulu begitu dia kenal, kini terbingkai bersama Jenny di sebuah hotel mewah, meneguk anggur di bawah cahaya lilin, hingga foto-foto liburan di negeri asing yang tak pernah sekalipun dijanjikan untuknya.

Audy terdiam, lalu genggaman tangannya mengepal begitu keras hingga buku jarinya memutih. Hatinya muak, marah, tapi juga getir. “Emang gila ya laki-laki ini…” gumamnya dengan suara pecah, “selama ini nggak pernah kasih aku nafkah yang cukup, bahkan bayar listrik pun aku yang tanggung. Tapi… dia malah buang-buang duit buat foya-foya kayak gini?!” Suaranya gemetar, separuh tawa sinis, separuh tangis tertahan.

Audy meraih ponselnya dengan gerakan kasar, mengetik pesan singkat:

“Besok aku akan ke Singapore tiga hari. Kapan kamu pulang?”

Balasan itu datang beberapa menit kemudian. Hanya sederet kalimat dingin, hambar, tanpa emosi.

“Ya. Belum tahu kapan aku bisa pulang, pekerjaanku masih belum selesai"

Seolah semua tahun kebersamaan mereka tak pernah berarti apa-apa.

Audy menatap layar itu lama, matanya buram oleh genangan air yang enggan jatuh. Lalu dengan gerakan malas, dia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Seprei dingin menyambutnya, menambah rasa kosong yang sudah menyesakkan dada. Hari itu weekend—seharusnya waktu untuk bersama, untuk berbagi tawa ringan dan obrolan hangat. Namun kenyataan justru menusuknya lebih dalam: dia justru sendirian, sepenuhnya ditinggalkan, sementara suaminya entah di mana, mungkin masih tenggelam dalam pelukan adik tirinya.

“Haaahhh…” Sebuah helaan napas panjang lolos dari bibir Audy. Napas berat, nyaris seperti erangan. Dirinya sudah terlampau lelah, bahkan untuk sekedar bernafas, lelah karena cinta yang dikhianati, lelah karena pengorbanannya yang tak pernah dihargai. Seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan beban di bahu, kini dia hanya bisa melepaskannya dalam tarikan napas panjang yang getir.

...***...

Bandara Soekarno–Hatta siang itu masih sama riuhnya seperti biasa. Suara roda koper beradu dengan lantai, panggilan boarding bergema lewat pengeras suara, bercampur dengan suara orang-orang yang lalu lalang. Di antara keramaian itu, Audy duduk bersama Yunita di salah satu kursi tunggu, matanya sesekali menatap layar ponsel, sesekali pula hanya menatap kosong ke arah pintu keberangkatan.

Sudah dua jam mereka di sini. Dua jam yang terasa lebih lama karena jantung keduanya berdetak tak karuan. Besok adalah hari penting—hari yang bisa mengubah arah karier mereka, atau justru menenggelamkan semuanya.

“Dy, aku gugup banget,” bisik Yunita sambil menggenggam tangannya sendiri.

Audy menoleh, senyum tipis terbit di wajahnya meski hatinya sendiri sama rapuhnya. “Kamu pikir aku nggak? Aku juga sama gugupnya, Yun. Tapi ya semoga semua berjalan lancar. Kita udah kerja keras, kan? Jadi yakin aja kalau semuanya akan berjalan lancar.” Suaranya pelan, berusaha menenangkan, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk sahabatnya.

Tiba-tiba Yunita menegakkan badan, matanya membulat. “Eh, itu Pak Dion!” katanya setengah berbisik, setengah berseru.

Audy ikut menoleh. Dari kejauhan, sosok Dion muncul, langkahnya mantap, koper hitam menggeret di belakang. Wajahnya tenang seperti biasa—tenang yang justru membuat Audy selalu sulit membaca isi pikirannya.

Yunita mencondongkan tubuh, berbisik penuh rasa jahil, “Dilihat-lihat Pak Dion emang ganteng ya. Pantesan aja banyak yang naksir.”

“Masa sih?” Audy mengangkat alis, pura-pura tidak percaya.

“Jangan salah,” lanjut Yunita dengan nada penuh gosip, “banyak loh pegawai cewek yang suka curi-curi kesempatan deketin Pak Dion. Tapi ya gitu… nggak pernah ditanggepin. Apa jangan-jangan… dia nggak suka cewek, ya?” katanya dengan senyum nakal.

Audy hampir tertawa, tapi buru-buru menegur, “Hush! Nanti kalau Pak Dion denger, bisa-bisa kamu kena SP.”

Mereka berdua saling pandang, menahan tawa. Namun sesaat kemudian, sosok Dion sudah berdiri tepat di hadapan mereka. Suaranya bariton, tegas tapi tenang. “Maaf, kalian jadi nunggu lama. Yuk, kita check-in dulu.”

“Nggak masalah kok, Pak. Nggak lama juga,” jawab Yunita buru-buru, suaranya mendadak sopan sekali.

Audy melirik sahabatnya, hampir meledak menahan senyum. Baru saja bergosip, sekarang Yunita berubah seperti anak ayam ketakutan di depan serigala.

Dion melangkah lebih dulu. Namun tiba-tiba, ia berhenti, berbalik. Tatapannya lurus pada Yunita. “Yunita.”

Yunita sontak tegak, “Ya, Pak?”

“Sekedar informasi. Saya masih suka dengan perempuan,” ucap Dion datar.

Sesaat waktu berhenti. Yunita mematung, wajahnya langsung memerah, sementara Audy tak bisa menahan diri—tawa meledak keluar, begitu keras hingga beberapa penumpang di sekitar menoleh penasaran.

“Aduh, maaf…” Audy nyaris tak bisa berhenti tertawa.

Sementara Yunita ingin menghilang dari muka bumi. “Maaf Pak, saya bener-bener nggak bermaksud…”

Dion hanya mengangkat tangan, senyum tipis menghiasi wajah yang jarang sekali tersenyum itu. “Sudah, santai saja. Saya tahu kamu bercanda.”

Audy masih terkekeh, menepuk bahu sahabatnya. “Makanya, Yun, hati-hati kalau ngomong”

Yunita menunduk, wajahnya merah padam, sementara Dion kembali berjalan tenang. Tapi dalam hati Audy, ada sesuatu yang tak bisa dia jelaskan. Dia merasa Dion sempat menatapnya singkat, tatapan singkat yang sempat terlempar sebelum dia berbalik. Tatapan yang… entah bagaimana sulit dia jabarkan.

...***...

Begitu tiba di hotel di Singapura, malam sudah tiba dengan lampu-lampu kota berkilauan di luar jendela kaca. Lorong hotel dipenuhi keramaian tamu yang akan check-in dan aroma pengharum ruangan yang bercampur dengan dinginnya pendingin ruangan yang menggigit kulit. Ketiganya berjalan pelan, menyeret koper masing-masing menuju kamar yang sudah disiapkan.

“Kalian istirahat dulu. Kalau mau jalan-jalan, silakan. Tapi jangan lupa, besok adalah ahri yang penting" ucap Dion sebelum membuka pintu kamarnya. Suaranya tenang, penuh wibawa.

“Siap, Pak. Terima kasih,” jawab Audy singkat.

Begitu pintu kamar tertutup, Audy dan Yunita saling bertukar pandang singkat lalu masuk ke kamar mereka. Ruangan itu hangat dengan lampu temaram, dua ranjang putih berlapis sprei bersih menunggu tubuh lelah mereka. Yunita langsung menghempaskan diri, membiarkan koper miliknya tergeletak begitu saja.

“Uhhhhh…” dia mengerang panjang sambil meregangkan tubuhnya. “Padahal penerbangannya nggak lama, tapi rasanya capek banget. Semoga besok lancar, ya Dy.”

Audy menoleh sekilas, senyum samar meski pikirannya entah berada dimana. “Iya, semoga saja,” jawabnya lirih sambil menata isi koper sebagai dalih agar dia bisa menenangkan kekacauan dalam kepalanya.

Yunita menatap sahabatnya dari ranjang. Tatapannya lembut, penuh tanda tanya yang tidak sanggup dia ucapkan. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Audy saat ini—bukan seperti rasa gugup karena akan menghadapi presentasi, tapi karena sebab lain.

Namun Yunita lebih memilih untuk menahan diri. Sebelum Audy sendiri yang bercerita. Sekalipun mereka bersahabat baik, tapi Yunita tahu ada batas yang tidak bisa dia langgar begitu saja.

Hening sejenak. Lalu Yunita memecahnya, suara hati-hati tapi penuh rasa ingin tahu. “Ngomong-ngomong… gimana kemarin pasang CCTV-nya? Lancar kan?”

Audy berhenti sebentar, lalu tersenyum tipis. “Lancar kok. Temen kamu cekatan, sesuai sama yang aku mau. Makasih ya, Yun, udah ngenalin.”

Yunita mengangguk kecil, tapi di matanya ada tatapan lain yang sulit dia sembunyikan. “Dy?” suaranya ragu, seolah melangkah di atas lantai rapuh. “Kamu baik-baik aja kan? Maksudku… kamu sama Chandra, nggak ada masalah kan?”

Gerakan Audy terhenti. Tangannya yang tadi sibuk melipat pakaian kini diam, menegang di udara. Perlahan dia menoleh, matanya menatap Yunita lurus. Senyum tipis kembali muncul, kali ini lebih sebagai topeng daripada ekspresi. “Tentu aja. Kami baik-baik aja kok. Emang kenapa? Apa kelihatan kayak ada masalah?”

Yunita cepat-cepat menggeleng, menyembunyikan keresahannya. “Nggak kok. Ya syukur deh kalau kalian baik-baik aja.” sahutnya sambil tersenyum walaupun setengah agak dipaksakan

Namun di dalam hatinya, kata-kata itu bergema hampa. Ingatan Yunita masih jelas terekam memori beberapa hari lalu, di sebuah mall, dia tanpa sengaja melihat Chandra dan Jenny. Duduk berdampingan di kursi bioskop, tertawa kecil, lalu… ciuman singkat di kening Jenny yang membuat perut Yunita bergejolak. Suami sahabatnya berselingkuh dengan wanita lain.

Yunita menggigit bibir, menahan diri agar tidak mengucapkannya. Dia bukannya takut mengatakan yang sebenarnya, tapi dia juga tidak ingin dianggap ikut campur dengan masalah rumah tangga Audy.

Dan ketika Audy meminta bantuan soal CCTV beberapa waktu lalu, firasat Yunita makin kuat. Audy pasti sudah mencium sesuatu. Dia hanya belum menemukan buktinya.

Yunita memejamkan mata, menarik napas panjang. Malam itu, di kamar hotel kedua sahabat sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

Dan di luar sana, Singapura berkilau, seakan tidak peduli ada hati yang sudah retak di balik jendela kamar lantai tinggi itu.

...****************...

1
Widya Herida
lanjutkan thor ceritannya bagus
Widya Herida
lanjutkan thor
Sumarni Ukkas
bagus ceritanya
Endang Supriati
mantap
Endang Supriati
engga bisa rumah atas nama mamanya audi.
Endang Supriati
masa org penting tdk dpt mobil bodoh banget audy,hrsnya waktu dipanggil lagi nego mau byr berapa gajinya. nah buka deh hrg. kebanyakan profesional ya begitu perusahaan butuh banget. td nya di gaji 15 juta minta 50 juta,bonus tshunanan 3 x gaji,mobil dst. ini goblog amat. naik taxi kwkwkwkwkkk
Endang Supriati
audy termasuk staff ahli,dikantor saya bisa bergaji 50 juta dpt inventaris mobil,bbm,tol,supir,by perbaikan mobil di tanggung perusahaan.bisa ngeclaim entertaiment,
Endang Supriati
nah itu perempuan cerdas,sy pun begitu proyek2 sy yg kerjakan laporan 60 % sy laporkan sisanya disimpan utk finslnya.jd kpu ada yg ngaku2 kerjja dia,msmpus lah.
Syiffa Fadhilah
good job audy
Syiffa Fadhilah
sukur emang enak,, menghasilkan uang kaga foya2 iya selingkuh lagi dasar kadal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!