Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.
Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.
Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.
Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dikirim ke hutan
Pria tua berjubah hitam itu perlahan bangkit dari duduknya. Gerakannya tampak sederhana, namun setiap langkah kecilnya membuat udara di dalam kuil tua itu bergetar halus, seolah lantai batu yang lapuk dan dinding berlumut sedang memberi hormat pada keberadaannya. Tubuhnya yang kurus seakan diselimuti kabut hitam tipis, dan wajahnya tetap tersembunyi rapat di balik kerudung arang. Namun, begitu ia berdiri tegak, matanya yang bersinar putih pucat menembus ruang hening itu, menatap lurus ke arah Xu Hao dengan tajam bagaikan bilah pedang yang telah menelan darah ribuan jiwa.
"Sudah saatnya kau pergi dari sini," suaranya terdengar berat, seolah datang dari kedalaman tanah purba. "Untuk menjalani jalan seorang kultivator sejati."
Xu Hao menegakkan tubuhnya. Meski hatinya diliputi kegelisahan, ia mengangguk perlahan, menyadari kata-kata itu bukan sekadar perintah, melainkan sebuah keputusan takdir.
Pria tua itu melanjutkan, nadanya tenang namun penuh tekanan yang menusuk jiwa. "Jalan kultivator penuh luka, darah, dan penderitaan. Setiap saat hatimu akan terguncang. Kau akan menyaksikan keluarga hilang, kematian orang yang kau kasihi, perpisahan yang menggerogoti jiwa, kerinduan yang menyesakkan dada. Tidak ada seorang pun yang dapat luput darinya. Setiap kultivator akan merasakannya."
Xu Hao menunduk. Suara itu menusuk hatinya. Ia menggenggam kedua tangannya erat, lalu berkata lirih, "Aku tidak punya siapa pun... Jadi tidak masalah bagiku."
Pria tua itu menyipitkan matanya. Dari balik kain hitam yang menutupi wajahnya, cahaya putih itu menyala lebih tajam. "Sekarang mungkin kau memang tidak memiliki siapa pun. Tapi bagaimana dengan masa depan?"
Xu Hao terdiam. Kata-kata itu menyambar seperti petir. Tanpa sadar ia membayangkan wajah Paman Cuyo, pria yang telah memberinya perlindungan dan kasih seorang ayah. Lalu wajah Lianxue, gadis yang begitu anggun, dengan mata phoenix abu-biru yang selalu melatihnya dengan sungguh-sunggu. Hatinya mencelos. Ia membayangkan sesuatu yang buruk menimpa mereka, dan rasa sakit yang tidak terkatakan menghantam dadanya.
"Aku..." Xu Hao menarik napas gemetar, lalu berkata tegas, "Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada mereka."
Pria tua berjubah hitam terkekeh kecil, suara tawanya serak dan dingin. "Kau terlalu naif, bocah. Kau belum mengerti. Kau tidak akan mampu benar-benar melindungi sesuatu yang sangat kau sayangi."
Xu Hao menatapnya penuh tanya. "Apa maksudmu, Pak Tua?"
Pria tua itu menggeleng perlahan. "Percuma aku menjelaskan sekarang. Kau tidak akan mengerti."
Xu Hao terdiam, dadanya bergetar oleh rasa penasaran yang bercampur takut.
Pria tua itu melanjutkan dengan suara yang terdengar seperti hukum yang tak dapat diganggu gugat. "Yang perlu kau ingat hanya satu. Jika di masa depan hal buruk benar-benar terjadi, jangan biarkan hati Dao-mu runtuh. Sekali hati Dao-mu hancur, maka dirimu akan hilang. Kau tidak akan lagi menjadi Xu Hao, melainkan hanya cangkang kosong yang berjalan di jalan tanpa akhir."
Xu Hao tercekat, menelan ludah, seakan kata-kata itu menancap dalam di jantungnya.
Pria tua itu berjalan beberapa langkah mendekat. Bayangannya memanjang di dinding kuil yang retak, seperti arwah kuno yang keluar dari kegelapan. "Di jalan kultivasi," katanya, "jangan terlalu mudah percaya pada orang lain. Jangan naif, dan jangan terlalu baik. Dunia ini akan mengoyak mereka yang berhati lembut."
Keheningan panjang menyelimuti. Xu Hao merasakan beban yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun akhirnya ia berdiri, tubuhnya bergetar namun matanya mantap. "Baiklah, Pak Tua. Aku akan mengingat perkataanmu."
Untuk pertama kalinya, senyum samar muncul di wajah pria tua itu. Meski wajahnya tersembunyi, Xu Hao bisa merasakan perubahan kecil dalam aura dinginnya. "Bagus. Sudah saatnya kau pergi."
Xu Hao mengerutkan kening. "Pergi? Pergi ke mana, Pak Tua?"
Pria tua itu menjentikkan jarinya. Dari ujung jarinya, seberkas cahaya hitam tipis berkilauan seperti api bintang yang padam. "Ke mana pun itu, ingatlah... tujuan akhirnya adalah puncak Dao."
Sebelum Xu Hao sempat menjawab, tubuhnya bergetar keras. Cahaya hitam itu melilit tubuhnya, dan dalam sekejap, sosoknya menghilang, ditelan oleh ruang yang terdistorsi.
Pria tua berjubah hitam berdiri sendirian di kuil tua itu. Angin malam masuk melalui celah-celah atap yang retak, membawa suara lirih seperti tangisan arwah. Ia menatap kosong ke arah Xu Hao menghilang dan bergumam pelan, "Aku berharap... kau masih sama seperti ini saat kita bertemu di masa depan."
Lalu ia berbalik, berjalan perlahan ke arah altar batu yang retak di tengah kuil. Ia duduk bersila, menutup mata, dan dalam sekejap tubuhnya kembali diam tak bergerak. Seolah ia adalah bagian dari kegelapan itu sendiri, abadi di dalam kesunyian.
Langit senja yang redup menebarkan cahaya keemasan di atas hutan yang lebat. Pohon-pohon menjulang tinggi, akar-akar tua menonjol dari tanah, dan kabut tipis melayang di antara batang-batang pohon. Dari kejauhan terdengar suara burung malam yang memanggil, memberi kesan bahwa hutan ini bukanlah tempat yang tenang.
Tiba-tiba, cahaya hitam dan merah melintas dari langit. Seperti kilatan petir yang menembus awan, tubuh Xu Hao jatuh dari udara. Namun, alih-alih terhuyung, ia mendarat dengan sempurna. Tanah di bawah kakinya sedikit retak, dedaunan berjatuhan, tetapi tubuhnya tegak, kokoh seperti gunung.
Xu Hao membuka matanya perlahan. Tatapannya dingin, dalam, seakan menyimpan ribuan rahasia. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mengamati hutan yang asing ini. Bibirnya melengkung tipis, lalu terdengar gumamannya.
“Sial, pak tua itu… Aku masih ingin bertanya banyak hal. Namun dia memindahkanku dengan terburu-buru.”
Nada suaranya tenang, namun ada sedikit kekesalan. Ia melangkah perlahan, langkahnya mantap. Heningnya hutan hanya diiringi suara gesekan dedaunan dan ranting yang patah di bawah kakinya.
Dalam keheningan itu, pikirannya melayang jauh. Bayangan wajah Paman Cuyo muncul di hatinya. Xu Hao mengingat bagaimana pria berjubah biru itu, dengan tatapan penuh wibawa, pernah menuntunnya selama sebulan penuh di puncak Gunung Tianhe. Lalu bayangan Lianxue menyusul, sosok anggun dengan mata phoenix yang tenang, yang dulu melatih fisiknya tanpa mengenal lelah. Xu Hao mengepalkan tangannya.
“Paman Cuyo, Lianxue… aku tidak akan melupakan budi kalian. Suatu hari, aku akan membalas kebaikan itu.”
Namun di balik keteguhan itu, ada sedikit rasa getir. Sosok wanita lain muncul di kepalanya, Lin Huayue, istri Paman Cuyo. Wajahnya yang cantik namun penuh wibawa, tetapi dinginnya bagaikan pedang yang menusuk hati. Xu Hao menghela napas berat.
“Untuk saat ini aku tidak bisa kembali ke Kota Tianhe. Jika aku kembali, wanita itu pasti akan bertindak. Dia membenciku… dan aku takut pada akhirnya aku akan membunuhnya. Sifatnya… benar-benar seperti iblis.”
Suara lolongan panjang tiba-tiba memecah renungannya. Xu Hao berhenti, tubuhnya tegang. Tatapannya menyipit, telinganya menangkap arah suara itu. Ia melangkah cepat menuju sumber suara.
Tak lama kemudian, dari balik pepohonan, terlihat pemandangan pertempuran. Dua orang sedang dikepung sekawanan serigala besar. Serigala-serigala itu memiliki bulu abu keperakan, mata merah menyala, dan tubuh mereka dua kali lipat lebih besar dari serigala biasa. Nafas panas mereka keluar seperti kabut, menebar bau amis darah.
Pria di tengah pertempuran berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya tegap, alisnya tegas, dan sorot matanya tajam seperti mata elang yang sedang mengincar mangsa. Rambut hitamnya diikat dengan pita sutra biru, tubuhnya dibalut jubah hitam berlapis perak. Gerakannya mantap, penuh keyakinan. Ia membentuk segel tangan, dan di hadapannya berputar formasi bercahaya. Dari formasi itu, terbentuk bilah pedang Qi yang memancarkan aura tajam. Dengan sekali gerakan jarinya, bilah-bilah pedang itu melesat, menembus tubuh beberapa serigala, darah muncrat, dan raungan kesakitan menggema.
Di sisinya, seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh tahun berdiri anggun. Wajahnya cantik, namun dingin bagaikan es yang tak pernah mencair. Rambut hitam panjangnya tergerai, sebagian diikat dengan tusuk konde perak yang berkilauan. Gaun hijaunya melambai lembut setiap kali ia bergerak. Tatapannya dingin, segel tangan terbentuk di jari-jarinya.
Dari tanah tempat serigala-serigala itu berpijak, cahaya biru pucat berkilat. Formasi es terbuka, dan dari dalamnya muncullah tombak-tombak es tajam. Dalam sekejap, tombak itu menembus tubuh serigala, membekukan darah mereka sebelum sempat menyembur keluar. Raungan serigala berhenti satu per satu, digantikan oleh suara tubuh yang jatuh berdebam ke tanah.
Hening kembali menyelimuti hutan, hanya tersisa hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan.
Xu Hao berdiri di kejauhan, menyaksikan semua itu dengan mata yang tenang. Aura dari kedua orang itu jelas bukanlah manusia biasa. Mereka adalah kultivator sejati, pengendali formasi dan Qi.
Di dalam hatinya, Xu Hao berbisik.
“Jadi… inilah dunia para kultivator. Menarik sekali.”
Ia tidak melangkah mendekat, hanya berbalik dengan tenang, melanjutkan perjalanannya menembus hutan rimbun itu. Sosoknya perlahan menghilang di antara bayangan pepohonan, meninggalkan dua kultivator muda itu yang masih berdiri di medan pertempuran yang dipenuhi bangkai serigala.