Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Tolong Ajari Aku Benji
...•••...
"Hey, the little b*tch!"
Suara tajam itu memecah kesunyian sore.
Haya, yang tengah asyik memetik bunga mawar, menoleh ke arah sumber suara. Di sana berdiri Diandra, kakak perempuannya, dengan ekspresi penuh kebencian yang sama seperti dulu. Jemarinya dengan malas menggenggam gelas jus mangga, sementara tubuhnya bersandar sengak pada pagar taman.
"Aku bukan j*lang," balas Haya, nadanya tenang tapi dingin. Ia menatap kakaknya tanpa gentar.
"Really?" Diandra menyeringai, langkahnya mendekat. "Jangan sok polos begitu, sayang."
Tiba-tiba, jemari Diandra meraih tangan Haya yang tengah memegang mawar dan meremasnya keras. Duri-duri tajam menusuk kulit Haya, meninggalkan goresan merah yang langsung mengalirkan darah.
"Mbak! Sakit!" seru Haya, menarik tangannya dengan cepat. Tapi luka itu sudah telanjur menggores kulitnya.
Diandra tertawa kecil—tawa yang penuh ejekan. "Sakit? Lebay amat," ucapnya sambil melirik darah di tangan Haya dengan ekspresi puas.
Haya menggigit bibirnya, menahan amarah yang mulai bergemuruh di dadanya. Ia menarik napas, mencoba tetap tenang. "Stop, ya, Mbak. Aku bukan perempuan lemah yang bisa kamu rundung seenaknya."
"Oh? Jadi lo udah ngga lemah lagi sekarang?" Diandra mendekatkan wajahnya ke arah Haya, suaranya merendahkan. "Apa lo juga udah nggak polos lagi? Udah diapain aja lo sama Adipta? Gue tahu, tuh cowok brengsek. Ya… cocok banget berjodoh sama lo."
"Jaga bicaramu, Mbak!" Haya menatapnya tajam, suaranya bergetar karena marah.
"Kenapa gue harus jaga bicara sama j*lang kayak—"
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Diandra, menghentikan kalimatnya seketika.
"What the hell?! Sialan, lo nampar gue?!" teriak Diandra, wajahnya memerah karena emosi.
Ia hendak membalas dengan tamparan serupa, tapi Haya dengan sigap menangkap tangan kakaknya dan memutarnya dengan keras.
"Aakh! Sakit, Haya! Lo jahat banget!" teriak Diandra melengking. Suaranya menarik perhatian orang-orang di rumah.
Langkah cepat terdengar mendekat. Beberapa sosok muncul di taman—Satya, Bara, dan Farel. Ketiga kakak laki-laki Haya menatap situasi itu dengan ekspresi berbeda.
Satya, anak kedua, langsung melangkah ke depan, matanya penuh amarah. "Kamu apakan adik saya?"
Haya menatapnya, berusaha menenangkan napasnya. "Aku cuma membela diri, Mas Satya. Mbak Diandra yang mulai."
Satya mendengus, tatapan jijiknya menusuk. "Sudah mengotori nama keluarga kami, sekarang kamu juga ingin menyakiti adik perempuan saya satu-satunya, hah?"
Ia mengangkat tangannya, siap menampar Haya.
Namun sebelum tamparan itu mendarat, Bara anak tertua keluarga Adhijokso, menahan tangan Satya dengan kuat.
"Jangan angkat tanganmu pada perempuan, Satya," katanya tegas. "Mendiang Ibu tidak pernah mengajarkan kita untuk berbuat kasar pada perempuan."
Satya menggeram kesal, tapi ia tak melawan. Ia meraih tangan Diandra dan menariknya pergi.
Bara tidak berkata apa-apa lagi. Tanpa sepatah kata, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Haya dalam keheningan yang menyesakkan.
Sementara itu, Farel, anak ketiga, hanya menyaksikan dari kejauhan dengan senyuman sinis di wajahnya, seolah menikmati betapa rendahnya Haya di mata mereka.
Kini, Haya berdiri sendiri di tengah taman. Pandangannya kosong menatap kepergian mereka.
Perlahan, ia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih berdarah akibat duri mawar tadi. Jemarinya mengepal erat, rahangnya mengatup kuat.
"Penghinaan ini… Kenapa aku yang harus menanggungnya…?"
Mengambil napas panjang, Haya akhirnya meletakkan bunga mawar yang tadi dipetiknya ke dalam vas berisi air. Setelah itu, ia berbalik, meninggalkan taman dengan langkah mantap.
•••
"You look so handsome, Ben."
Suara itu terdengar lembut namun penuh maksud. Arabela, guru piano di rumah Adhijokso, berdiri di dekatnya sambil menatapnya dengan senyum menggoda.
Ben tetap fokus pada motornya, tangannya cekatan mengutak-atik bagian mesinnya. Ia sama sekali tidak melirik ke arah perempuan yang kini berdiri di sampingnya.
"Apa Nona Bela tidak ada kesibukan lain?" tanyanya datar.
Bela tidak tersinggung sedikit pun. "Aku sudah selesai mengajar Nona Hayaning. Sekarang aku free." Ia tersenyum, "Seharusnya kita bisa mengenal satu sama lain lebih dekat, bukan?"
Ben akhirnya menghela napas pelan, tetapi masih enggan menatapnya. "Bukankah Nona sudah cukup mengenal saya? Lantas, untuk apa lagi?"
Alih-alih mundur, Bela justru ikut berjongkok di samping Ben. Pakaian yang dikenakannya terlalu terbuka di siang bolong itu, tetapi ia tampaknya tidak peduli.
"Ah, kamu terlalu dingin, Ben," ujarnya manja. "Malam ini aku ingin mengundangmu minum di paviliunku. Bagaimana?"
"Tidak." Jawaban Ben begitu cepat, begitu tegas.
Damn.
Bela berkedip beberapa kali. Ditolak mentah-mentah seperti ini? Itu bukan sesuatu yang biasa terjadi padanya.
Namun, ia tak mau menyerah. "Oh, kamu begitu to the point. Well, kalau begitu, bagaimana kalau kita minum di tempat terbuka saja?"
Ben menghela napas panjang, jelas tidak tertarik. "Saya sudah bilang tidak. Tapi jika Nona ingin minum, mungkin para pengawal yang lain lebih senang menemani."
Sial.
Pria ini benar-benar tidak bisa digoyahkan. Bela menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa kesal yang mulai merayap. Tapi ia masih punya cara lain.
Dengan gerakan halus, ia meraih lengan kekar Ben. "Kalau begitu, kapan kamu free?" bisiknya, jemarinya perlahan menyentuh kulitnya.
Ben bersiap menghempas tangannya, tetapi sebelum sempat melakukannya, Bela justru mendorongnya.
Tubuh Ben jatuh terdorong ke atas rumput, dan dalam hitungan detik, Bela sudah berada di atasnya dengan senyum puas.
Ben tidak pernah terlalu mempermasalahkan sentuhan perempuan, tapi entah kenapa, kali ini ia merasa jengah. Ada ketidaknyamanan aneh yang merayapi dirinya—seolah hanya satu perempuan yang boleh menyentuhnya. Hayaning.
"Akhh..."
Bela meringis saat tubuhnya terguling ke rumput yang kotor akibat gerakan cepat Ben.
"Kamu tega sekali, Ben?" keluhnya, ekspresinya berusaha seperti korban.
Ben menepuk celananya, membersihkan debu yang menempel. "Maaf, Ms. Bela, tapi yang tadi itu sangat tidak sopan," ujarnya datar.
Namun, sebelum Bela sempat mengatakan lebih banyak, matanya menangkap sosok yang berdiri di ambang pintu pagar.
"Nona Hayaning," panggil Ben, suaranya merendah secara refleks.
Hayaning melangkah mendekat.
Bela, yang masih berusaha menata dirinya, segera berdiri tegak dan menyapa dengan nada ramah, meskipun dalam hatinya, ia masih kesal pada Ben.
"Siang, Nona," ucapnya dengan senyum manis yang tak sepenuhnya tulus.
Hayaning menatap pakaian guru pianonya. Terlalu terbuka, pikirnya.
Apakah dia sengaja ingin menarik perhatian Ben?
"Bela, kamu terjatuh? Pakaianmu kotor," ujar Haya, nada suaranya tetap tenang.
"Ah—ya, tadi saya terpeleset, Nona," jawab Bela, tersenyum tipis.
"Kalau begitu cepatlah berganti pakaian. Dan satu lagi..." Haya menatapnya sekilas sebelum mengalihkan pandangan ke Ben. "Lebih baik kenakan yang lebih tertutup. Di sini banyak pria, dan aku tidak ingin ada masalah yang tidak perlu."
Ben sendiri tetap diam, tapi ketika melihat telapak tangan Hayaning yang terluka, ekspresinya berubah. Ia langsung meraih tangan kanan Haya, memeriksa luka itu dengan cermat.
"Nona, kamu terluka." Ucapnya sedikit tercekat. "Kenapa bisa begini?"
"Terkena duri mawar," serunya, sedang matanya tak lepas menatap Ben.
Bela menyadari itu dan ia merasa ada tatapan berbeda dari Hayaning terhadap bodyguard-nya sendiri.
"Kalau begitu saya permisi," ujar Bela sebelum pergi dari hadapan mereka.
"Biar saya obati."
Ben membawa Hayaning menuju teras paviliun, mengambil kotak obat, lalu kembali duduk di sampingnya. Tangannya dengan cekatan membuka perban dan antiseptik.
"Mengapa Nona begitu ceroboh?" tanyanya sambil mulai membersihkan luka di tangan Haya.
"Aku tidak sengaja meremas batangnya," sahut Haya santai.
Ben menghentikan gerakannya sejenak. Otaknya, entah kenapa, menafsirkan kalimat itu ke arah yang tidak seharusnya. Ia menggeram dalam hati.
Prik! Sadarlah, Ben!
Ia mengingatkan dirinya sendiri, menghela nafas, lalu kembali fokus pada luka di tangan Hayaning.
"Jangan lagi seperti ini Nona, atau jika Nona ingin, Nona bisa meminta saya untuk memetikan bunga mawar nya."
Haya tersenyum kecil, "ya, sepertinya aku harus meminta bantuan mu lain kali."
PLAK!
Tetiba Haya menepak jidatnya sendiri. "Ah maaf, ini seharusnya menjadi hari libur mu, tapi aku malah mengganggumu Benji."
Ben menggeleng pelan, "tidak masalah, libur atau tidak saya harus tetap menjaga Nona. Jadi, ada gerangan apa Nona kemari?"
Hayaning terdiam sejenak, ia mengatur kata-katanya dahulu sebab jantungnya tengah berdetak tak karuan ketika tangan Ben menyentuh lembut untuk mengobati tangannya.
"Benji... Tolong ajari aku berlatih bela diri, menembak dan memperkuat keamanan diri lebih keras lagi."
Ben mengernyitkan keningnya, "ada apa Nona? Apakah ada yang menyakiti Nona?"
Rasa pedih seakan menyelusup kedalam hati Hayaning. "Aku hanya ingin berjaga diri, sebab pernikahanku dengan Adipta tetap akan terjadi, jadi untuk meminimalisir jika ia ingin berbuat kekerasan padaku, aku bisa melawannya."
Sontak Ben terpatri memandang netra milik Hayaning dengan lekat. "Maka jangan menikah dengan pria seperti itu,"
"Aku tidak memiliki pilihan,"
"Nona pasti memiliki pilihan,"
"Aku tidak sepertimu Ben, aku tidak bisa terbang bebas."
Ben terdiam, ia mengetatkan rahangnya sembari melanjutkan mengobati luka ditangan Haya.
"Selalu ada pilihan Nona, walaupun jalan itu terjal, percayalah pada keinginan nona Hayaning." Ben kembali menatap Haya dengan sorot yang emosional.
Haya tersenyum lirih, "aku hanya ingin menikmati segalanya dalam sisa waktu ini. Benji... Bersama kamu, maka tolong ajari aku dan beritahu aku tentang apa yang tidak ku ketahui. Aku akan sangat berterimakasih padamu, bahkan jika nanti kamu tidak lagi bekerja untuk menjadi pengawal pribadi ku."
Ben menghela nafas panjang, ada rasa tak suka ketika Haya berkata seperti itu. "Maka, saya akan mengajari nona Hayaning, saya akan buat Nona pandai menjaga diri."