NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Kultivasi Modern
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."

Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.

Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.

Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.

Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Cahaya redup menyelinap lewat celah tirai. Bau antiseptik menusuk hidungnya, bercampur dengan rasa pahit yang tertinggal di lidah.

Asterion mengerjapkan mata pelan, mencoba menyesuaikan pandangan. Langit-langit putih polos menatapnya kembali. Suara bip pelan dari monitor medis mengiringi napasnya.

“...Aku… di mana?” gumamnya pelan.

Begitu kesadarannya mulai pulih, ia segera menyadari satu hal—ini bukan kamarnya. Tidak ada poster kecil, tidak ada tumpukan mainan di sudut, dan yang paling penting… tidak ada aroma yogurt.

Matanya menurun, memandang tubuhnya yang terbungkus perban dari bahu hingga pergelangan kaki. Sakit seperti ribuan jarum menancap sekaligus menyambar tulang belakangnya.

“Aw… nyeri. Sepertinya ini efek sampingnya…” Ia menarik napas dalam, mencoba menahan rasa perih yang menusuk. “Ya, siapa juga anak tiga tahun yang mampu menahan ledakan energi Star Soul… aku sedikit gegabah.”

Gerakan kecil membuatnya merasa ada sesuatu yang aneh di wajahnya. Tangannya terangkat, menyentuh sisi kiri wajahnya. Sentuhan itu membuatnya meringis—kulitnya terasa kasar, retakan tipis menjalar seperti bekas kaca yang pecah.

Senyum kecut muncul. “Sial… wajah imutku… rusak.”

Namun alih-alih kesal berlarut-larut, Asterion terdiam. Di balik detak jantungnya, aura Star Soul putih berdenyut, liar dan kuat, seolah siap memancar keluar. Sepersekian detik, cahaya tipis mengelilingi tubuh mungilnya.

Refleks, ia menekannya kembali, menutup aura itu rapat-rapat. “Tidak. Aku akan beritahu ibu dan ayah nanti. Sekarang… bukan waktu yang tepat.”

Dengan usaha besar, ia mencoba duduk. Punggungnya protes, ototnya menjerit, tapi ia bertahan. Tatapannya berkeliling, mengamati ruangan: meja kecil, vas bunga, beberapa kartu ucapan, dan jendela yang memantulkan wajahnya.

Retakan di sisi kiri memang jelas, tapi ia tersenyum tipis. “Hm… tidak buruk juga. Bagiku, wajah imut tidak cocok dengan… aku.”

Klik.

Pintu terbuka.

Asterion langsung menoleh, dan di ambang pintu berdiri Elsha—membawa keranjang buah yang tampak berat. Begitu pandangan Elsha jatuh pada wajah anaknya yang kini sadar, keranjang itu terlepas dari genggaman. Buah-buahan menggelinding di lantai, sebagian berguling pelan hingga menghantam kaki ranjang.

Elsha menutup mulutnya, bahunya bergetar, dan air mata membanjiri pipinya.

“Ibu…” suara Asterion pelan, tapi hangat. “Maaf… membuatmu khawatir. Aku… bukan anak yang baik.”

Kata-kata itu bagai pelatuk yang memecahkan bendungan perasaan Elsha. Ia berlari tanpa ragu, memeluk anaknya dengan erat seolah takut Asterion akan lenyap jika dilepas.

Suara tangisnya pecah di bahu kecil itu. “Kau… bodoh sekali… kau membuat ibu… hampir… kehilanganmu.” Napasnya tersengal. “Kau tak sadarkan diri selama lima hari. Lima hari, Asterion! Kau bahkan sempat masuk kondisi kritis. Ibu… ibu takut sekali…”

Nada marahnya terselip di sela tangis—marah karena cemas, marah karena sayang.

Asterion hanya membalas dengan senyum kecil. “Maaf, Ibu.”

Namun di dalam hati, pikirannya bergolak.

Saat aku menjadi Naga Semesta… tidak ada yang pernah peduli padaku seperti ini, kecuali Tuan Revenant. Meski aku terluka parah, meski dunia memusuhi, aku menghadapi segalanya sendiri.

Sekarang… aku tidak sendirian lagi. Aku punya keluarga. Aku… seharusnya tidak membuat mereka khawatir karena keegoisanku.

Ia mengangkat tangannya yang masih lemah, mengusap lembut air mata ibunya.

“Jangan menangis lagi, Ibu.” Senyumnya kali ini lebih cerah, tulus, dan menghangatkan hati.

Elsha tersenyum di balik air matanya, meski wajahnya masih merah karena tangis.

Suara langkah cepat terdengar di lorong, lalu pintu kembali terbuka. Ryu berdiri di sana, wajahnya tegang—namun saat matanya bertemu dengan tatapan jernih Asterion yang kini sadar, seluruh ketegangan itu runtuh.

“...Syukurlah.” Suaranya nyaris seperti bisikan lega. Ia melangkah mendekat, memegang bahu anaknya, dan untuk pertama kali sejak insiden itu, ia membiarkan dirinya bernapas bebas.

“Kau membuat ayah dan ibu… nyaris gila karena khawatir.”

Asterion menatap ayahnya, sedikit kikuk tapi hangat. “Maaf, Ayah. Aku… akan lebih hati-hati.”

Namun di luar gedung rumah sakit, di sebuah sudut hutan kota… sesuatu mulai berubah.

Balok logam hitam pekat yang pernah jatuh dari luar angkasa—yang kini dikelilingi pagar pembatas dan dijadikan semacam objek edukasi publik—terbaring diam di tengah kawah kecilnya. Sudah bertahun-tahun tak ada perubahan, para ilmuwan bahkan mulai menganggapnya hanya batu antariksa biasa.

Tapi sore itu, permukaannya bergetar. Hampir tak terdengar, seperti dengungan yang hanya dimengerti oleh alam.

Garis tipis—retakan kecil—muncul di permukaan, bercahaya redup sejenak sebelum menghilang.

Para penjaga di perimeter tidak memperhatikan. Mereka sedang bercakap-cakap sambil menyeruput kopi, membiarkan “batu aneh” itu sendirian.

Hari demi hari berlalu.

Luka di tubuh Asterion perlahan mengering, nyeri mulai berkurang. Perban yang membungkus sebagian besar tubuhnya kini sudah diganti hanya di beberapa titik. Para dokter mencatat hal yang sama di setiap laporan medis: Regenerasi jaringan pasien ini tidak normal.

Bahkan ada satu dokter yang bergumam sambil memeriksa hasil scan, “Kalau semua pasien punya regenerasi secepat ini, rumah sakit bisa bangkrut.”

Akhirnya, setelah hampir dua minggu perawatan intensif, izin pulang diberikan.

Elsha yang sedari awal mempersiapkan segala kebutuhan anaknya terlihat lega, sedangkan Ryu memasang wajah waspada bahkan sebelum mereka meninggalkan rumah sakit.

Mobil hitam besar dengan lapisan pelindung khusus sudah menunggu di parkiran VIP. Saat mereka masuk, Asterion sempat melirik ke luar—di setiap sudut, prajurit Stellaris berjaga. Armor mereka berkilau di bawah sinar sore, senjata terpasang di punggung.

Ryu tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya. Pelaku ledakan itu masih bebas, dan Ryu tahu ancaman belum berakhir.

Perjalanan menuju rumah baru terasa tenang di luar, tapi tegang di dalam hati Ryu. Elsha duduk di sebelah Asterion, memegang tangannya erat seolah takut anak itu akan lenyap jika ia melepasnya.

Rumah baru mereka akhirnya terlihat di kejauhan. Bangunan megah bergaya modern, dikelilingi pagar tinggi dengan gerbang elektronik dan menara penjaga di empat sudut. Begitu mobil masuk, Asterion langsung ternganga kecil—bukan karena kemewahannya, tapi karena aroma… sofa baru.

Begitu pintu mobil terbuka, Asterion melompat kecil (walau sedikit pincang) dan masuk ke ruang tamu. Sofa empuk besar menyambutnya. Ia langsung duduk dan menenggelamkan tubuhnya.

“Ibu… apakah aku sudah boleh makan yogurt?” tanyanya penuh harap.

Elsha langsung menghela napas panjang, lalu mengomel.

“Asterion! Kau baru saja keluar dari rumah sakit, masih banyak luka dalam, dan yang kau pikirkan yogurt?!”

Asterion mengangkat kedua tangannya seperti menyerah. “Tapi… itu sumber kebahagiaanku.”

Ryu menahan senyum, lalu mencoba menenangkan Elsha. “Biarkan saja nanti malam, Sayang. Asal tidak terlalu banyak.”

“Ryu!” Elsha menatapnya tajam, tapi akhirnya mengembuskan napas. Ia tahu, kalau melarang total malah membuat Asterion merengek semalaman.

Setelah beberapa saat, Elsha membawa baskom kecil untuk membersihkan luka-luka Asterion. Saat jemarinya menyentuh wajah anaknya, matanya tanpa sadar memandangi retakan di pipi kiri itu. Wajahnya muram.

Asterion menangkap ekspresi itu. “Maaf ya, Ibu… wajahku tidak imut lagi.”

Elsha langsung terdiam, lalu tersenyum tipis. “Tidak perlu khawatir. Ibu pasti akan menemukan obatnya. Dan soal wajah imutmu…” Ia menatap dalam-dalam mata anaknya. “Kamu selalu menjadi yang terimut di mata Ibu. Sejujurnya… Ibu tidak ingin kau tumbuh dewasa secepat ini, apalagi mengalami hal seperti ini.”

Suaranya mulai bergetar. “Maaf… Ibu terlalu lemah untuk melindungimu.”

Asterion tersenyum lembut, lalu memeluk ibunya erat. “Ibu adalah malaikat pelindungku. Aku selalu merasa aman berada di dekatmu.”

Pelukan itu membuat Elsha terdiam sejenak, lalu ia tersenyum sambil mencubit pipi anaknya. “Dasar manis…”

Namun dalam hati, Asterion menatap jauh ke masa depan. Dan untuk harapan Ibu agar aku terus kecil seperti ini… aku harus menolak. Tubuh kecil ini menghambat perkembanganku. Aku… ingin cepat dewasa.

Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi. Prajurit Stellaris yang berjaga di pintu memeriksa identitas tamu sebelum mempersilakan masuk.

Elsha tersenyum hangat begitu melihat tiga sahabatnya—Alra, Liana, dan Yura—masuk dengan membawa berbagai bingkisan. Di belakang mereka, tiga anak ikut berlarian kecil: Nolan, Kei, dan Mira.

Ruang tamu segera dipenuhi kehangatan percakapan. Elsha dan ketiga sahabatnya berbincang tentang kabar terbaru, sementara Asterion duduk di sofa, menjadi pusat perhatian anak-anak lain.

Nolan, dengan mata berbinar, menunjuk wajah Asterion. “Wah! Retakan itu… keren banget! Kayak pahlawan di film.”

Kei mengangguk antusias. “Boleh nggak aku sentuh? Penasaran rasanya!”

Belum sempat Asterion menjawab, “Ck!” Mira langsung mencubit kedua sahabatnya itu di lengan. “Kalian ini! Asterion baru pulang dari rumah sakit!”

“Auw! Miraaa! Sakit!”

“Rasain!” Mira melipat tangan, lalu menatap Asterion. “Jangan hiraukan mereka, Asterion. Otak mereka kadang suka nyasar.”

Asterion hanya tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan.” Tapi dalam hatinya ia mengakui—sedikit menyenangkan punya teman sebaya yang bereaksi polos seperti itu.

Di sudut ruangan, Ryu memperhatikan semua interaksi itu sambil meneguk teh. "Haishh..dasar anak-anak."

1
Candra Fadillah
hahahahahaha, naga semesta yang perkasa di cubit oleh seorang wanita
Unknown
keren kak, semangat teruss
RDXA: siap terimakasih atas dukungannya /Determined/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!