NovelToon NovelToon
AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1

Siang itu, Agustus 2014. Udara Jakarta lebih panas dari biasanya.

Musim kemarau sedang galak-galaknya. Aspal meleleh. Kepala nyut-nyutan. Dan aku masih di atas motor, mengenakan jaket hijau yang sudah bau matahari.

Aku salah satu dari ribuan orang pertama yang mendaftar ojek online waktu itu.

Setelah kena PHK dari pabrik bulan lalu, aku nggak punya banyak pilihan.

Uang pesangon nyaris habis. Cicilan motor belum lunas. Jadi ojek online adalah satu-satunya jalan cepat yang masuk akal. Minimal, bisa makan hari ini.

Dua hari dua malam aku nyaris tanpa tidur. Onbit terus. Orderan datang silih berganti.

Penumpang, makanan, paket. Semuanya kuantar.

Kadang harus berdebat dengan ojek pangkalan yang merasa wilayah mereka direbut. Tapi aku masih bisa bicara baik-baik.

Karena aku tahu, mereka juga sedang bertahan. Sama sepertiku.

Keringat mengucur deras di dahiku.

Cuaca panas bukan main. Tapi aku tetap senang.

Hari ini aku bawa makanan kesukaan Larasati. Istriku.

Usianya baru 21 tahun. Masih muda, cantik, dan dulu... penuh harapan.

Hari ini genap empat tahun pernikahan kami.

Aku berharap dia senang. Minimal tersenyum. Minimal bilang "terima kasih". Itu saja sudah cukup.

Motorku kuparkir di halaman kos.

Ya, kami tinggal di kos-kosan sempit. Bukan karena kami suka gaya hidup sederhana. Tapi karena aku memilih berpisah dari keluarga mertuaku.

Alasannya? Katanya ingin mandiri.

Tapi sebenarnya... Laras malu.

Dia malu tinggal di rumah orang tuanya dengan suami seperti aku—anak panti yang bahkan nggak tahu siapa orang tua kandungnya.

Aku membuka pintu kosan.

Laras sudah rapi. Wajahnya bersih, sudah bersolek.

"Cantik sekali istriku," gumamku dalam hati.

Mungkin... mungkin hari ini dia mulai menerimaku.

Aku bahagia. Sungguh bahagia.

Hari ini empat tahun pernikahan kami.

Aku bawa pizza kesukaannya.

Kupikir dia akan tersenyum. Menyambutku. Mengatakan sesuatu yang hangat.

Tapi yang kudengar justru...

“Riko, aku mau bercerai.”

Kalimat itu seperti palu godam.

Jantungku nyaris copot. Berdetak tak karuan.

Tanganku lemas.

Kantung plastik berisi pizza jatuh ke lantai, pelan. Tapi suaranya terasa memekakkan telinga.

“Ke… kenapa, Ras?” tanyaku pelan. Suaraku gemetar. Tenggorokanku tercekat.

Laras tidak menatapku. Dia hanya berdiri di ambang pintu kamar, wajahnya datar.

“Doni sudah pulang dari Jepang. Aku harus bercerai darimu, Riko,” jawabnya tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.

Aku belum sempat berkata apa-apa.

Dia sudah melangkah melewatiku. Aroma parfumnya masih tertinggal. Langkahnya ringan, seperti beban sudah terangkat dari pundaknya.

Saat mencapai pintu, dia berbalik sebentar.

Tatapannya tidak dingin. Tapi juga bukan sedih. Hanya... kosong.

“Kamu urus Melati. Doni nggak mau ada anak.”

Lalu pintu tertutup.

Dan untuk beberapa detik, dunia terasa benar-benar sunyi.

Hanya ada pizza yang dingin di lantai, dan aku—seorang suami yang ditinggalkan tanpa sempat mempertanyakan apa pun.

Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di halaman kosan.

Aku berdiri mematung di ambang pintu.

Doni.

Dia turun dari mobil dengan santai, membuka bagasi, lalu membantu Laras mengangkat koper.

Seperti tak terjadi apa-apa. Seperti ini memang bagian dari rencana mereka sejak lama.

Aku hanya berdiri. Menatap. Tak mampu bergerak.

Kurang apa aku sama dia?

Aku berusaha sekuat tenaga membahagiakan Laras.

Aku menikahinya bukan karena cinta waktu itu—tapi karena ingin menyelamatkan nama baik keluarganya.

Laras hamil di luar nikah. Doni kabur entah ke mana.

Dan aku... aku hanya seorang rekan kerja ayahnya.

Ayah Laras—Pak Ferdi, atasanku di pabrik—datang ke rumah kontrakanku malam-malam. Dia memohon. Berlutut.

“Tolong, Riko… selamatkan anak saya…”

Dan aku setuju.

Karena aku bodoh. Karena aku pikir ini bisa jadi awal hidup baru.

Laras cantik. Keluarganya punya nama.

Kupikir, mungkin dengan menikahinya… hidupku akan lebih baik.

Walau aku tahu… anak yang dikandungnya bukan anakku.

Kurang apa aku sama Laras?

Empat tahun menikah, aku tak pernah mengeluh.

Walau aku... bahkan tidak diizinkan menyentuhnya.

Bukan karena marah. Bukan karena benci. Katanya, dia belum siap. Katanya, dia trauma. Dan aku… aku percaya. Aku sabar.

Laras alergi pada anak kecil. Itu juga alasannya.

Jadi sejak Melati lahir, aku yang mengurus semuanya.

Aku yang membersihkan kotorannya.

Aku yang mengganti popoknya di tengah malam.

Aku yang mencuci pakaian Laras dan Melati.

Aku yang meracik susu formula, memasak nasi, membeli lauk, membereskan rumah.

Aku jadi ayah sekaligus ibu.

Dan semua itu kulakukan tanpa mengeluh. Sedikit pun tidak.

Karena aku berharap... suatu hari nanti Laras akan berubah.

Mungkin dia akan luluh. Mungkin dia akan melihat perjuanganku.

Mungkin dia akan belajar mencintaiku, walau semua ini dimulai dengan kebohongan.

Tapi harapan itu... berakhir hari ini.

Hari ini, Laras meminta cerai.

Dan sebelum aku bisa mengatakan setuju atau tidak—dia sudah pergi.

Naik mobil bersama Doni.

Meninggalkan pizza dingin dan seorang pria yang masih mematung di depan pintu.

Bersama seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

Dia pergi. Tepat di depan mataku.

Dengan koper-koper dan senyum kecil yang tak pernah kuberikan padanya.

Dia pergi... meninggalkan anaknya.

Anak dari hubungannya dengan Doni.

Aku marah.

Aku muak.

Aku kesal bukan main.

Kenapa hidupku begini?

Tanpa pikir panjang, aku ambil jaket ojolku.

Aku pakai helm.

Langkahku cepat, padat, penuh amarah.

Sudah cukup. Aku sudah dipermainkan terlalu lama.

Kenapa aku harus bertahan?

Melati bahkan bukan anakku.

Secara hukum, tak ada satu pasal pun yang mewajibkanku mengurusnya.

Dia bukan darah dagingku.

Bukan bagian dari hidup yang kuimpikan.

Aku melangkah ke pintu.

Tekadku bulat.

Aku akan pergi. Hari ini juga.

Biar Laras tahu rasanya ditinggalkan.

Tanganku menggenggam gagang pintu.

Kupelintir pelan.

Pintu mulai terbuka...

Dan saat itu juga—

“Yah... aku haus... yah, mimi cucu...”

Suara kecil itu menggema di telingaku.

Pelan. Lembut. Patahkan semuanya dalam sekejap.

Melati...

Anak yang kutunggu saat proses kelahirannya.

Anak yang kuadzanin saat dia lahir ke dunia, kugendong dengan tangan gemetar, kubisikkan iqamah di telinganya.

Anak manis yang selalu berlari memelukku setiap aku pulang.

Anak yang selalu merentangkan tangan kecilnya, seolah dunia akan runtuh kalau aku tidak memeluknya.

Melati... yang selalu ingin tidur di pelukanku.

Yang setiap malam menarik-narik baju ini dan bilang, "Yah, temenin ya."

Anak yang entah bagaimana, selalu membuat rasa lelahku lenyap.

Langkahku terhenti.

Aku berbalik.

Kubuka helm. Jaket ojol kulepas perlahan.

Kuhirup napas dalam-dalam, lalu berjalan ke dapur.

Kukeluarkan panci kecil. Kupenuhi dengan air. Kutaruh di atas kompor.

Air mulai panas. Tapi mataku justru yang lebih dulu memanas.

Tak terasa... aku terisak.

Entah karena kesal. Entah karena sedih. Entah karena bingung harus memilih siapa.

Lalu suara kecil itu terdengar dari balik pintu kamar.

Pelan. Lembut. Merayap sampai ke lubuk hati.

“Yah…”

“Kok nangis, Yah?”

Aku diam. Tak mampu menjawab.

“Aku nakal ya…?”

Kalimat itu menghantam lebih keras dari semua luka yang pernah kupikul.

Dan air mataku... akhirnya jatuh.

Tak bisa kutahan lagi. Tak bisa kubendung.

Tetes demi tetes jatuh ke lantai dapur. Panas. Perih.

Mungkin ini puncaknya. Mungkin memang harus tumpah dulu semuanya.

Aku berbalik.

Melati berdiri di ambang pintu, memeluk boneka kecilnya.

Matanya polos. Tidak paham apa-apa. Tapi tatapannya... seperti mengerti segalanya.

Aku berjongkok.

Kupeluk dia erat-erat.

Kecil. Hangat. Dan satu-satunya alasan kenapa aku masih bertahan hari ini.

“Maafkan Ayah, Nak…”

Hanya itu yang bisa kuucapkan.

Suara serak. Dada sesak.

Melati tidak menjawab.

Dia hanya menepuk-nepuk punggungku pelan.

Seolah ingin bilang,

“Tenang, Yah… Ayah baik-baik saja.”

KALAU RAMAI AKU TERUSIN, KALAU ENGGAK KITA UDAHAN,

1
Tismar Khadijah
Banyak riko2 dan melati2 lain di dunia nyata, ttp berjuang dan berharap
Inyos Sape Sengga
Luar biasa
Sri Lestari
thor....aku salut akan crita2mu...n othor hebat ngegrab kog bs sambil nulis....mntabbb/Good/
adelina rossa
astagfirullah laras...belum aja kamu tau aslinya doni ...kalau tau pasti nyesel sampe.nangis darah pun rahim kamu ga bakalan ada lagi...lanjut kak
SOPYAN KAMALGrab
tolong dibantu likekom
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
menunggu karma utk laras
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dari sini harusnya tau donk, kalo gada melati, gakan ada riko
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
teruslah maklumi dan dukung anakmu yg salah.. sampaii kau pun akan tak dia pedulikan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
salahin anakmu yg bikiinyaa buuukkk
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
ayah
Su Narti
lanjutkan 👍👍👍👍💪💪💪💪💪💪💪
mahira
makasih kk bab banyak banget
Nandi Ni
Bersyukur bukan dari darah para pecundang yg menyelamatkan melati
SOPYAN KAMALGrab
jangan fokuskan energimu pada kecemasan fokus pada keyakinan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
alhamdulillah
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apa? mau duit ya?
mahira
lanjut
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apalagi ini..? mau dijual juga laras?
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dirumah doni thoorrrr
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
untung mood anak cewek gampang berubah 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!