NovelToon NovelToon
Ajihan'S Silence

Ajihan'S Silence

Status: sedang berlangsung
Genre:Basket / Angst
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Affara

Jihan Alessa. Gadis ceria yang selalu mengejar cinta lelaki bernama Abintang Sagara.

Namun, ternyata perasaannya itu justru menambah luka di hidupnya. Hubungan yang seharusnya manis justru berakhir pahit. Mereka sama-sama memiliki luka, tetapi tanpa sadar mereka juga saling melukai karena itu.

"Suka lo itu bikin capek ya."

"Gue nggak pernah minta lo suka gue."

Rumah yang seharusnya tempat paling aman untuk singgah, justru menjadi tempat yang paling bahaya bagi Jihan. Dunia seakan mempermainkan hidupnya bagai badai menerjang sebuah pohon rapuh yang berharap tetap kokoh.

"Kamu adalah kesialan yang lahir!"

Itulah yang sering Jihan dengar.

Pada akhirnya aku pergi—Jihan Alessa

__________

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Affara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Abintang berubah

Jihan melangkah lesu ke dalam rumahnya. Setelah Abintang menolak untuk pulang bersama, dia memilih jalan kaki karena uangnya sudah habis untuk beli makan di kantin. Mira sama sekali tidak memberinya uang lebih untuk ongkos pulang. Akhirnya dia pulang sedikit terlambat dari biasanya. Jihan benar-benar tidak bersemangat hari ini. Kenapa semua orang membencinya? Apa salah Jihan?

Tubuh Jihan terasa lemas saat melihat mobil hitam yang terparkir di halaman rumah. "Papah udah pulang?" Dia meremas roknya ketakutan.

Jihan memaksakan kakinya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis itu merasa sedang memasuki sebuah api yang akan membakarnya hidup-hidup. "Jihan. Sudah jam berapa ini?" Suara bariton seorang pria terdengar membuat tubuh gadis itu menegang.

Hendra mendekati Jihan. Sorot matanya menghunus tajam. "Maaf, Pah. Jihan terlambat pulang. Soalnya tadi Jihan jalan kaki," Jawab Jihan dengan nada ketakutan.

"Kenapa jalan kaki? Apa uang papah nggak cukup buat ongkos kamu pulang. Atau emang kamu aja yang boros!?" Hendra memandang putrinya sekali lagi.

 Hendra tidak tahu saja berapa uang yang diberikan oleh Mira.

"Apa sih yang harus papah banggain dari kamu? Nggak bosen apa malu-maluin terus. Sekali-kali bikin papah bangga, Jihan! Jangan sampai bikin papah nyesel punya anak kayak kamu! Udah bodoh, ceroboh, nggak bisa diandelin. Benar-benar tidak berguna," Cemooh Hendra panjang lebar tanpa memberikan Jihan kesempatan.

"Jika ulangan bulan depan masih mendapatkan nilai di bawah tujuh puluh. Jangan harap kamu bisa makan! Belajar yang rajin. DENGER NGGAK KAMU?! MALAH DIEM AJA!" Bentak pria itu pada Jihan yang menunduk.

Di jawab salah. Diem juga salah. Mau papah itu apa sih sebenarnya!?

"Sekarang ke kamar! Dan jangan harap bisa makan sebelum nyelesaiin lima puluh soal yang papah kasih!" Hendra selalu memberikan lima puluh soal latihan kepada Jihan setiap sehari sekali. Tidak tanggung-tanggung, soal yang diberikan bukanlah soal yang mudah.

Karena jika Jihan salah menjawab sedikit saja, Hendra akan marah. Bukannya Jihan tambah pintar, justru Jihan mencari jawaban di hpnya karena takut salah. Itu lah mengapa Jihan tidak pernah berkembang dari hari ke hari. Tidak ada perubahan sama sekali dari nilainya. Karena terus mengandalkan aplikasi yang membantunya untuk mencari jawaban.

"Pah, sebenarnya aku anak siapa sih?" Pertanyaan itu keluar tiba-tiba. Tapi justru mengundang amarah yang lebih besar.

"APA MAKSUD KAMU BERTANYA SEPERTI ITU?" Tanya Hendra marah.

"Maaf. Jihan nggak bermaksud ngomong gitu. Jihan cuma iri. Iri sama abang yang selalu dapet perhatian mama papa. Tapi kenapa Jihan nggak pernah dapet itu? Kadang Jihan mikir. Apa Jihan bukan anak kalian? Kenapa kalian seakan benci sama Jihan?" Gadis itu menatap Hendra dengan sendu.

Hendra mengepalkan tangannya, hingga kuku jarinya memutih. Rahangnya mengeras. "Ya. Kamu bukan anakku."

"MASSS!!"

Suara itu berasal dari Mira yang baru datang dri dapur. Dia mendengar jelas pembicaraan Jihan dan Hendra. Wanita itu tampak marah ketika Hendra berkata Jihan bukan anaknya.

"Jadi gitu ya. Pantes aja Jihan nggak pernah diperlakukan adil. Di siksa terus. Ternyata Jihan emang bukan anak kalian ya? Jihan cuma orang asing di sini. Kenapa kalian nggak buang Jihan aja. Jihan kan bodoh, ceroboh, dan nggak berguna. Jadi kalian pasti rugi rawat Jihan," Ujar gadis itu dengan suara bergetar. Hatinya sungguh sakit mengetahui kenyataan sebenarnya.

Kenapa dunia jahat sekali. Apa Jihan memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?

"Jihan. Jangan dengarkan omongan papamu. Dia hanya sedang emosi. Lebih baik kamu masuk ke kamar sekarang," Titah Mira lembut. Tidak seperti biasanya membuat Jihan tertegun sejenak.

"Jihan sayang kalian. Meskipun kalian nggak sayang Jihan.Tapi nggak pa-pa kok. Makasih ya udah ngerawat Jihan. Besok-besok Jihan bakal lebih rajin belajar lagi supaya dapet nilai bagus. Jihan janji! Maaf ya. Jihan cuma bisa jadi anak nggak berguna buat kalian." Jihan berusaha tersenyum di hadapan kedua orang tuanya. Senyum luka.

"Kamu memang tidak berguna Jihan. Seharusnya waktu itu saya biarin kamu mati. Bodohnya saya malah biarin kamu hidup. Saya menyesal." Perkataan Hendra berhasil menyayat hati kecil Jihan.

"JIHAN. LEBIH BAIK KAMU KEMBALI KE KAMAR YA, NAK!" Suruh Mira sudah panik jika Hendra akan semakin membuka luka lama yang mereka sembunyikan rapat-rapat.

Jihan menatap langit-langit rumah. Berusaha menahan genangan air yang akan jatuh. "Lalu apa yang papah inginkan?"

Hendra tersenyum tipis. "Kematianmu!"

"STOPP!"

"MAS!! HENTIKAN PERKATAANMU. DIA ANAKMU, MAS!! DIA ANAKMU!! DARAH DAGINGMU SENDIRI!" Mira sudah berteriak keras. Wanita itu bahkan berani membentak Hendra hanya untuk membela Jihan.

"DARI DULU AKU MEMANG TIDAK MENGINGINKAN KEHADIRANNYA, MIRA!! DIA INI PEMBAWA SIAL! Lihat sekarang. Kamu berani membentak suamimu sendiri hanya karena anak ini! SEHARUSNYA DIA MEMANG TIDAK LAHIR! SEHARUSNYA DIA MATI!" Bentak Hendra berapi-api.

"Kita tidak bisa melawan takdir, Mas! Jika Jihan lahir. Dia memang sudah ditakdirkan lahir!" Balas Mira tak kalah emosi.

Jihan hanya menatap kosong pertengkaran di depannya. Ini semua karena dia. Pertengkaran ini karena Jihan. Benar kata Hendra. Seharusnya Jihan memang tidak lahir. "Mah. Pah. Jangan bertengkar," Lirihnya.

Hendra memandang Jihan tajam. Dia mendekati gadis itu cepat sembari mengambil vas bunga yang berada di meja ruang tamu. "Ini yang kau katakan takdir?! DIA HANYALAH KESIALAN YANG LAHIR!"

Vas itu terangkat tinggi.

Prak!

Vas kaca itu terlempar tepat di kening Jihan, hingga pecah begitu saja karena tenaga lemparan Hendra yang tidak main-main. "KAMU GILA, MAS!?" Teriak Mira terkejut.

Mira terlihat khawatir melihat cairan merah yang mulai mengalir ke wajah Jihan, dan menetes ke lantai. "MAMAH SUDAH BILANG UNTUK KE KAMAR!! KENAPA MASIH DIEM AJA KAMU!! PERGI JIHANN! DASAR ANAK PEMBANGKANG!!" Ujar Mira memarahi putrinya yang diam saja.

Untuk apa aku melawan? Semua itu sia-sia, Mah. Kalian semua memang nggak pernah menginginkan kehadiranku kan?

Mira menahan tangan Hendra untuk menjauh dari Jihan. Wanita itu takut jika Jihan akan terluka semakin parah. "Pergi, nak!" Mohon Mira dengan suara pasrah. Kenapa Jihan diam saja ketika Hendra melukainya. Hatinya perih melihat raut wajah Jihan yang tidak menunjukkan tanda kesakitan. Sebegitu terbiasanya Jihan dengan luka.

"Bodoh!" Suara berat seorang lelaki membuat Jihan menoleh. Ternyata abangnya sudah pulang. Terlihat dari baju yang dikenakan olehnya.

"Arsen. Bawa adikmu ke kamar!" Pinta Mira masih menenangkan Hendra.

Arsen menarik tangan Jihan kasar. "Lo memang sumber masalah." Arsen membuka pintu kamar Jihan cepat setelah sampai. Mendorong tubuh gadis itu masuk ke dalamnya. "Lo nggak bisa ya. Sehari aja nggak bikin masalah?" Ucap Arsen menusuk.

"Maaf." Jihan lemah jika sudah berhadapan dengan Arsen.

Arsen membuang napas kasar. Ini bukan saatnya marah. Jihan sedang terluka, jadi Arsen harus menahannya. Dia menarik tubuh Jihan untuk duduk di kasur, lalu mengeluarkan handphone dari saku celananya. Mengetikkan beberapa kata kemudian menutup benda itu.

"Bang." Panggil Jihan pelan. Dia mengusap darah yang masih terus mengalir di lukanya.

"Kenapa?" Arsen menatap Jihan dengan sorot mata sulit diartikan.

"Jihan pantes ya buat mati?." Mukanya semakin pucat membuat Arsen sedikit panik.

"Nggak usah ngomong aneh-aneh!"

Keheningan menyelimuti mereka. Arsen tidak tahu harus berbicara apa. Dari dulu dia memang tidak dekat dengan adiknya sendiri. Ayah mereka selalu memisahkan mereka karena tidak mau Arsen ketularan bodoh seperti Jihan. Perasaan itu lebih terasa ketika mereka bertemu seperti ini.

Tidak ada perasaan batin yang terikat. Seperti wadah tanpa isi. Dari dulu Arsen memang sering menyaksikan Jihan di perlakukan seperti ini. Namun Arsen malah selalu mengira jika Jihan yang membuat masalah.

"Nanti minta maaf sama papah. Lo udah bikin salah sama dia," Ujar Arsen memecah keheningan.

Jihan tersenyum tipis. Rasa perih dari lukanya tidak seberapa dibandingkan luka hatinya. "Lo sama aja bang." Arsen selalu begitu, dan selamanya seperti itu. Tidak berubah.

"Mau gue dibikin mati babak belur juga lo bakal nyuruh gue minta maaf sama papa." Nadanya terlihat kecewa.

"Di mata lo. Cuma gue yang salah. Iya kan?"

Arsen terdiam lama. Matanya menatap lurus wajah Jihan. "Mereka orang tua kita, Han. Lo nggak sepatutnya kayak gitu. Kasihan mama papa."

Jihan berusaha keras menahan gejolak emosi yang ingin meledak. "Lo nggak akan paham posisi gue bang. Karena lo nggak pernah ngerasain jadi gue. Lo kan selalu di raja kan di rumah. Selalu di puji karena lo pinter. Sedangkan gue? Bodoh!" Balas Jihan muak.

"Han."

Mata Arsen membulat ketika menyadari Jihan sudah kehabisan banyak darah. Namun, terdengar suara ketukan pintu hingga Arsen membukanya. Lelaki itu bernapas lega ketika dokter yang dia hubungi sudah datang. Segera pria berjas putih itu menangani luka Jihan. Sedikit terkejut melihat kondisi Jihan yang mengerikan.

Dr. Satria harus menjahit luka robek Jihan, karena lukanya cukup panjang. Setiap penanganan, Satria tidak melihat respon Jihan yang kesakitan. Pria itu cukup heran, karena baru pertama kali mendapatkan pasien seperti ini. Setelah selesai, Satria membalut perban pada keningnya.

"Saya berikan tablet tambah darah untukmu. Kamu sudah kehilangan banyak darah. Mungkin jika saya terlambat satu menit saja, kamu bisa kehilangan nyawa," Ujar Satria pada Jihan. Dokter tampan itu sedikit tertarik dengan gadis cantik di depannya ini.

Arsen yang merasa Jihan sudah aman pun berniat pergi. Dia tidak terlalu peduli keadaan Jihan. Benarkah begitu. Arsen tidak tahu. "Setelah ini kau bisa pergi," Usir Arsen pada Satria.

Yahh, mereka adalah teman. Tapi umur mereka berbeda dua tahun. Mereka saling mengenal juga karena satu universitas. Satria adalah lelaki jenius yang berhasil menjadi dokter termuda di kota ini. Tidak heran, karena keluarga Satria juga kebanyakan anggota medis yang sudah profesional. Ayahnya saja lulusan universitas luar negeri ternama. Kepintarannya menurun ke Satria.

"Kau mengusirku? Tidak sopan sekali. Padahal aku sudah repot-repot datang," Ucap Satria terkekeh pelan sembari membereskan alat medisnya.

Arsen memutar bola matanya malas. Dia langsung beranjak pergi dari kamar Jihan. Meninggalkan Satria dan Jihan begitu saja. Satria benar-benar tidak habis pikir. Arsen adalah kakak yang buruk. Pria itu menoleh pada Jihan yang sedari tadi terdiam dengan tatapan kosong. Satria paham jika Jihan sedang tidak baik-baik saja. Mentalnya udah kena, ya? Aku jadi penasaran, apa yang sudah gadis ini lalui?

"Bisakah aku meminta id line milikmu?"

***

Abintang Sagara: Jihan udah tidur?

Notifikasi pesan itu membuat mata Jihan membulat. Apakah ini mimpi. Abintang mengirimi dia pesan. Senyumnya mengembang. Segera membalas pesan tersebut.

Jihan Alessa: Belum.

Jihan Alessa: Kenapa emangnya?

Abintang Sagara: Siap-siap gue jemput.

Jihan Alessa: EHHH BENERAN?!!

Jihan Alessa: Mau kemana emang?

Jihan tidak bisa menahan rasa senangnya. Tanpa menunggu balasan pesan dari Abintang dia segera bersiap memakai jaket kain abu-abu, dipadukan celana putih panjang. Rambutnya dibiarkan tergerai. Jihan menatap cermin, menata sedikit poninya supaya menutupi kain perban putih di keningnya. Meski tahu itu sia-sia.

Jihan memakai sepatu putihnya lalu berjalan keluar rumah. Tidak perlu izin orang tua. Toh mereka juga tidak peduli. Kata-kata Hendra masih melekat di hatinya, tapi Jihan memilih tidak menghiraukan.

Saat sudah sampai di depan halaman. Jihan melihat motor sport hitam yang terparkir, dengan sosok lelaki yang mendudukinya. Dalam jarak sejauh ini saja Abintang masih terlihat tampan, meskipun wajahnya tertutup oleh topi yang dikenakan cowok itu. Jihan segera mendekat. "Udah lama nunggu?"

Abintang menoleh, tertegun sejenak melihat penampilan Jihan. "Nggak. Baru aja nyampe." Jihan tersenyum paham lalu mengangguk.

"Kita mau kemana? Tumben kamu ngajakin aku jalan. Aku kira kamu tadi nge-prank aku!" Kata Jihan cemberut.

Abintang memperhatikan wajah Jihan. Salah fokus pada perban di kening Jihan. Bukannya tadi sekolah cewek ini baik-baik saja. Kenapa sekarang tiba-tiba terluka. "Keningnya kenapa?" Tanyanya dengan nada lembut membuat Jihan tidak percaya.

"Kamu nggak lagi kesurupan kan? Atau kamu lagi sakit gitu? Masa gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba berubah gini?" Jihan menyentuh kening Abintang.

Seperti tersetrum listrik. Abintang terlihat gugup saat Jihan menyentuhnya. Kenapa dia merasa seperti ini. "Jihan." Lelaki itu menggenggam pelan tangan Jihan.

"Ehh kenapa?" Sekarang Jihan yang malah gugup.

"Mau temenin gue sebentar nggak?"

"MAUU! Lama juga nggak masalah, hehe. Emangnya mau ke mana?" Tanya Jihan berseru senang. Kapan-kapan lagi bisa jalan bareng sama Abintang.

Abintang memandangnya ragu. "Kuburan."

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"HAHH!! SERIUSS?! KAMU NGGAK LAGI BERCANDA KAN?" Jihan melongo tak percaya. Apakah benar di depannya ini Abintang.

"Kamu siapa? Kamu bukan Abintang kan!?? Jangan-jangan kamu hantu yang mirip Abintang. IHHH JADI AKU NGOMONG SAMA HANTU?" Jihan mulai merinding. Mana ada orang yang mau ke kuburan malem-malem gini.

Abintang berdecak malas. Menyesal karena sudah mengajak Jihan. Lagi pula kenapa otaknya kepikiran untuk mengajak Jihan. "Gue serius, Han." Wajahnya sedang tidak bersahabat.

Jihan langsung memahami situasi. Sepertinya Abintang sedang tidak baik-baik saja. "Tapi kenapa malem-malem gini? Nggak takut setan emang?" Ujar Jihan sedikit takut

"Setan juga lari kalo liat lo," Kata Abintang menistakan.

"IHHH JAHAT!!" Jihan melipat kedua tangannya di depan dada lalu membuang muka ngambek. Abintang tersenyum melihatnya. Bersama Jihan membuat masalahnya sedikit lebih ringan. Abintang menyukai kepribadian Jihan yang blak-blakan.

Abintang melepaskan topinya yang kebetulan warnanya juga abu-abu seperti jaket Jihan, kemudian memakai kan topi itu pada Jihan. "Ayo naik," Suruhnya.

Jihan tersenyum manis, lalu menaiki motor besar Abintang. "Kita beneran mau ke kuburan?" Bisiknya masih takut-takut.

"Nanti kalo aku di culik gimana? Terus aku di gangguin sampe di ikutin sampe rumah. IIHHH SEREMM!"

Tawa Abintang pecah. Beban Abintang seketika hilang. Dia tidak pernah tertawa selepas ini sebelumnya. "KOK KAMU KETAWA? Nggak ada yang lucu tahu!"

"Lo yang lucu."

Jihan kicep. Apa dia tidak salah dengar. Abintang berkata seperti itu padanya? Abintang langsung berdehem ketika menyadari salah berbicara. Dia langsung memakai helem nya dan menjalankan motornya ke tempat tujuan.

****

Jihan meneguk ludahnya sendiri. Ternyata Abintang tidak bercanda. Mereka benar-benar ke kuburan. Di mana-mana kalo cowok ngajak cewek jalan itu ke tempat romantis. LAH INI KUBURAN?

"Takut?"

Pake nanya! Ya takut lah. Gila apa!

Abintang menggandeng tangan Jihan. Mengajaknya berjalan masuk. Jihan memeluk lengan Abintang erat ketika ada suara burung hantu. "Nggak usah takut. Ada gue," Ujar Abintang menenangkan.

Jihan hanya mengangguk. Kini Abintang sudah berada di depan makam ibunya. Abintang berjongkok di sebelah batu nisan bernama itu. "Bunda apa kabar? Maaf ya, Abintang telat mampir," Suara lelaki itu sangat berbeda dari biasanya.

Jihan berjongkok di sebelah Abintang, tanpa berniat mengganggu atau bertanya. Hanya menatap Abintang diam. Dapat Jihan dengar keluh kesah Abintang yang biasanya di sembunyikan. Gadis itu langsung menutup telinganya rapat-rapat. Menghargai privasi Abintang.

Setelah lima menit berlalu Abintang menoleh pada Jihan. Menatapnya aneh. Karena cewek itu memejamkan matanya sembari menutupi telinganya. "Lo kenapa? Takut?" Tanya Abintang.

Jihan membuka matanya. "Udah selesai?" Tanyanya balik, langsung mendapatkan respon senyum dari Abintang. Ternyata ide untuk mengajak Jihan tidak seburuk itu.

"Kamu ganteng." Puji Jihan menatap binar Abintang yang tersenyum.

Percayalah, cowok suka dipuji ganteng. Abintang menekan pipi dalamnya menahan senyum. Dia segera berdiri. Mengulurkan tangannya pada Jihan. "Ayo pergi."

Jihan menaikan sedikit topinya, lalu menerima uluran tangan Abintang. Perlakuan manis Abintang membuat Jihan lagi-lagi berharap. Apakah boleh seperti itu? Tapi Jihan benar-benar merasa Abintang memberinya harapan. Nggak boleh berharap lebih, Han. Nanti kalo jatuh sakit.

Malam ini Abintang menunjukkan sisi lainnya yang berbeda. Hanya pada Jihan. Apakah Abintang mulai membuka hatinya untuk gadis itu. Jihan Alessa.

"Han."

"Iyaa?"

"Jangan berhenti suka gue ya?"

Jihan terdiam lama.

1
Forta Wahyuni
knapa bego x jd cewek, knapa stiap novel slalu merendahkan perempuan n krn cinta jadi bodoh dan tolol.
Gibran Cintaku
semangattt thorr/Smile/
Ruby: thank you prenn/Frown//Drool/
total 1 replies
Gibran Cintaku
The real cegil/Proud/
Ruby: Cegil premium itu prenn /Smile/
total 1 replies
Nika Trinawati
Temenan sama aku aja om😼
Ruby: jewer aja prenn😣
Gibran Cintaku: Arsen nih nyebelin juga ya/Speechless/
total 2 replies
Nika Trinawati
Pake nanya!!
Ruby: Hehe santai prenn 🤧
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!