Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kondisi Nada
Nada terbangun di tengah malam. Badannya panas, tapi keringat membasahi leher. Kepalanya berdenyut hebat, napasnya terasa berat. Bapak yang tidur di kursi dekat ranjang langsung terbangun.
"Teh… Teteh kenapa?”
"Panas banget, Pak…” jawab Nada dengan suara terengah.
Bapak meraba kening Nada. Panasnya seperti bara. Dengan tergesa, Bapak membangunkan Ibu dan mengambilkan air putih dan kompres dingin.
"Bu, Bu ...bangun si Teteh panas pisan badannya." kepanikan seketika terjadi, Ibu buru-buru bangun, mengambil baskom berisi air hangat dari yangan Bapak dan handuk kecil untuk mengompres sang putri.
Reza masuk membawa termometer. Angkanya membuat mereka saling berpandangan cemas—39,7°C.
“Besok pagi kita bawa Teteh ke rumah sakit. Ini nggak bisa dibiarkan.”
"Sekarang saja Pak, Ibu khawatir."
"Kalau sekarang mobil Pak Dadangnya tidak ada tadi sore dipake anaknya ke Bandung."
“Jangan repot-repot, Pak, Bu… Teteh cuma capek…” Nada masih mengelak.
“Diam dulu, istirahat. Ini bukan cuma capek.” Bapak tak mau lagi mendengar alasan sang putri.
Ibu duduk di tepi ranjang, mengelus rambut putrinya. Wajahnya tegang, tapi ia mencoba menenangkan diri. Bibirnya terus bergerak merafalkan dzikir dan do'a untuk kesembuhan sang putri. Di dalam hati, Ibu tahu Nada sudah melewati batas kekuatannya.
Sementara di Jakarta, Abyan duduk di meja kerjanya. Tumpukan dokumen ada di depannya, tapi pikirannya tidak di sana. Ia mencoba menghubungi Nada lagi. Masih tak aktif.
Tiba-tiba ponselnya berdering—Rosa.
"Pak Abyan… Maaf mengganggu waktunya, tadi aku telepon Reza adiknya Nada Katanya kondisi Nada makin drop. Dia mau dibawa ke rumah sakit.”
Abyan: “Apa?!” suaranya seketika meninggi.
“Iya… kalau Bapak mau ke Garut, Bapak harus cepat.”
Abyan menatap layar laptop, lalu menutupnya. Ia mengambil napas panjang, lalu berdiri.
“Kerjaan bisa menunggu. Nada nggak.” monolog Abyan dalam hati. Ia menelepon asistennya, Rendi.
“Tolong handle semua meeting minggu ini. Aku keluar kota. Jangan tanya kenapa.” tanpa menunggu jawaban Abyan langsung menutup teleponnya.
Di sisi lain kota Garut, Indira duduk di mobil, memperhatikan rumah Nada dari kejauhan. Lampu kamar depan menyala redup, diyakini jika di kamar itulah Nada berada.
Ia menghubungi pria yang kemarin ia temui di warung kopi.
“Besok pagi, saat dia dibawa ke rumah sakit, kalian harus bergerak. Buat bannya kempes di jalan. Biar dia kelelahan sebelum sampai. Sisanya kalian tahu.”
“Tenang, Neng. Semua beres.”
Indira menutup ponsel dan tersenyum miring.
“Kalau dia lemah, dia akan mudah untuk dicelakai. Dan Abyan akan kembali padaku.” gumam Indira dengan sorot mata tajamnya.
Pagi menyapa, Bapak, Reza, Ibu dan Nada sudah siap berangkat ke rumah sakit. Nada dibungkus jaket tebal, bersandar lemas di kursi depan mobil. Udara Garut yang sejuk terasa menusuk tulang sendinya.
Sekitar dua kilometer dari rumah, mobil tiba-tiba oleng.
“Pak, bannya kayaknya kempes!” ucap Reza, pemuda tanggung yang sekolah di SMK jurusan otomotif itu sedikit banyak tahu mengenai kondisi kendaraan.
“Astaghfirullah… tenang, kita minggir dulu.”
Mereka berhenti di pinggir jalan sepi. Saat Reza turun untuk memeriksa, dua pria berjaket kulit mendekat.
“Wah, bannya pecah ya? Biar kami bantu.”
"Oh… iya, terima kasih.”
Namun, tatapan mata mereka membuat Reza curiga. Ia mendekati Bapak dan berbisik.
“Pak… hati-hati. Mereka aneh.” bisik Reza di telinga Bapak.
Benar saja, salah satu pria membuka pintu depan, mencoba menarik Nada keluar.
“Ayo, Teh. Kami bantu pindah—”
“Pak…”teriak Ibu, sementara Nada sudah tak mampu bersuara.
Bapak langsung mendorong pria itu.
“Hei! Apa-apaan kalian?!” pekik Bapak.
Ketegangan meningkat. Reza meraih besi dongkrak dan mengacungkannya.
"Minggir sebelum saya pecahin kepala kalian!” ancamnya sembari mengacungkan besi dongkrak.
Melihat situasi tak menguntungkan, kedua pria itu mundur sambil mengumpat. Mereka naikk motor dan pergi.
Bapak dan Reza saling pandang—keringat dingin membasahi pelipis mereka.
“Ini nggak wajar… seperti memang ada yang mau mencelakakan.”
“Siapa yang tega…?” pikir Abyan.
Dua lelaki beda generasi itu tak melanjutkan percakapan mereka, buru-buru kembali ke mobil untuk mengambil kompa. Pagi begini bengkel maupun tambah ban belum buka.
Siang itu, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Bapak. Abyan turun dengan wajah pucat dan napas terengah, seolah baru menempuh perjalanan tanpa henti. Walau pun ingatannya samar, namun dengan sisa ingatannya dia tidak salah mengenali rumah Nada.
Bapak yang baru pulang dari rumah sakit langsung menatap Abyan.
“Maaf, mau bertemu siapa ya?”Sapa Bapak setelah ucapan salamnya dijawab Abyan.
"Iya, Pak. Saya temannya Nada, saya mau menengok Nada.” Bapak mengangguk, meski masih bingung.
"Maaf, ade ini dari mana ya?"
"Saya dari Jakarta Pak,." jawab Abyan tenang, dari raut wajah Bapak dia tahu bapaknya Nada tidak sepenuhnya percaya.
"Saya dan Nada bekerja di hotel yang sana. Sebelumnya beberapa tahun yang lalu saya juga pernah tinggal di Garut selama KKN."Abyan menjelaskan tentang dirinya, dari raut wajah Bapak Nada dia tahu dirinya masih diragukan.
"Ouh, pantesan Bapak merasa pernah bertemu, pernah KKN di sini?"
"Iya, Pak."
Obrolan mereka berlanjut, Bapak menjelaskan tentang kondisi Nada yang drop dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit.
Abyan masuk ke kamar tempat Nada di rawat. Di sana, Nada terbaring, wajahnya pucat pasi. Melihatnya, Abyan langsung berlutut di sisi ranjang. Sebelumnya dia sudah menyapa Ibu dan Adik laki-laki Nada.
"Nad… ini aku. Maaf aku telat…” Ucap Abyan lirih, dia tak mampu menahan air mata melihat betapa lemahnya Nada.
Nada membuka mata perlahan
“Bang Byan… kamu… di sini?”
“Iya. Maaf aku terlambat datang.”
Air mata Abyan jatuh, membasahi tangan Nada yang dingin.
“Tidak apa-apa Bang, aku hanya kecapean dan perlu istirahat. Maaf jadi merepotkan, jauh-jauh Abang datang le sini, padahal aku tahu Abang tak seluang itu."
“Jangan ngomong gitu. Kamu tidak merepotkan sama sekali. Aku di sini buat jaga kamu.”
Indira, yang memantau dari jauh, mengepalkan tangan saat melihat Abyan keluar dari rumah Nada dan melajukan mobilnya menuju arah rumah sakit..
“Sial… kenapa dia ada di sini sekarang?”
Rencananya gagal total. Ia menyalakan mesin mobil dan pergi, tapi matanya menyala dengan tekad baru.
“Kalau begitu… aku harus serang dari sisi lain.” tekadnya.
Malam itu, Nada dirawat di rumah sakit Garut. Abyan duduk di kursi pendamping, menatap wajahnya yang tertidur di bawah infus. Bayangan kesibukan Nada di hotel, kuliah dan bisnis seblaknya membuat Abyan menarik nafas dalam, belum lagi ancaman kakeknya pasti membuat Nada tertekan dan jelas itu mempengaruhi kekuatan fisiknya.
Bapak masuk membawa kopi.
“Terima kasih sudah datang jauh-jauh. Terima kasih atas perhatian dan kepeduliannya.”
“Pak… saya minta maaf. Saya harusnya ada di sini dari awal.”
“Yang penting Nak Abyan di sini sekarang.” Saat ini di rumah sakit hanya Abyan dan Bapak yang menunggui Nada, Ibu sedang pulang dulu untuk berganti pakaian diantar Reza.
Abyan menatap Nada dengan lembut.
"Aku nggak akan biarkan siapa pun menyakitimu lagi.”
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak