Cerita ini sepenuhnya adalah fiksi ilmiah berdasarkan serial anime dan game Azur Lane dengan sedikit taburan sejarah sesuai yang kita semua ketahui.
Semua yang terkandung didalam cerita ini sepenuhnya hasil karya imajinasi saya pribadi. Jadi, selamat menikmati dunia imajinasi saya😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tirpitz von Eugene, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Setelah suara Dutchman tidak terdengar lagi, kali ini Tirpitz terjebak di ruangan gelap tanpa ada setitik pun cahaya. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya, seolah ia sedang berada di tengah badai salju Siberia yang sangat ekstrim.
Suara-suara aneh bergema di sekelilingnya, diiringi munculnya bayangan-bayangan masa lalu yang selama ini menghantui hidupnya. Ia melihat jelas bagaimana saat itu ia menangis sambil memukuli geladak kapal Yukikaze dengan pemandangan kapal penjelajah Kumano yang terbalik di atas permukaan laut.
Ia meratapi kematian Fatir setelah mencoba melindunginya saat tiga buah torpedo melesat ke arah kapalnya yang tengah mengevakuasi sisanya dari awak kapal Hiei yang masih hidup.
Tiba-tiba bayangan itu sirna dan digantikan detik-detik saat ia berlutut dihadapan laksamana Isoroku Yamamoto yang sedang bersandar di depat kemudi kapal, tubuhnya berlumuran darah akibat luka-luka yang berada di tubuh sang laksamana.
Kemudian bayangan itu berganti dengan momen dimana Hakeda terbaring di pangkuannya, nafasnya yang sesak membuat Tirpitz tak kuasa menahan air mata. Di matanya, Hakeda mengucapkan sebuah amanat maha besar yang diberikan kepada Tirpitz. Sebelum akhirnya semua bayangan itu hilang dan menyisakan keheningan.
Tuhan, apa salah ku selama ini?
Batinnya sambil meratapi masa lalunya yang telah ia lewati.
Jika kau benar-benar ada, jawablah pertanyaan ku ini!
Seketika setitik cahaya muncul di kejauhan. Sinarnya menyilaukan mata Tirpitz yang perlahan berjalan menuju cahaya itu.
"Kau adalah satu-satunya harapan kami, shikikan-san."
Bisikan dingin Madjapahit kembali terdengar, tapi kali ini ia mengucapkan kata-kata yang sama seperti yang diucapkan oleh Dutchman sebelumnya.
"Kembali lah kepada kami, shikikan-sama. Lautan membutuhkan pemimpin yang berani mempertaruhkan nyawanya demi umat manusia."
Terdengar bisikan Singosari yang menggema dari kejauhan, membuat Tirpitz mempercepat langkahnya dan hampir berlari. Cahaya di ujung pandangannya semakin membesar seiring dengan langkah kakinya yang semakin cepat, sebelum akhirnya semua kembali gelap dan Tirpitz sadar dari pingsannya.
Perlahan ia membuka matanya dan mendapati bahwa ia sedang berbaring di atas ranjang tidurnya. Sekilas terdengar suara tangisan disekelilingnya, diiringi suara jerit kesedihan pemuda yang ia kenali.
"Heh, lihat! Dia sudah siuman!" sahut seorang gadis.
Saat ia menoleh dengan perlahan, tiba-tiba Marina sudah menerjang dan memeluknya dengan erat, seolah gadis itu baru saja kehilangan harapan terakhir hidupnya.
"Apa yang terjadi selama aku pergi?" tanya Tirpitz lemah.
"Eugene-sama, ku kira kamu sudah tiada." jawab gadis itu sambil menangis tersedu-sedu.
Pergi? Pergi kemana? Ke Davy Jones' Locker?
Sekilas ia hampir saja berkeinginan untuk mengungkapkan bahwa ia baru saja pergi minum bersama Van Der Decken di kedai minum Davy Jones' Locker, tapi ia sadar bahwa ungkapan seperti itu hanyalah menambah kesedihan gadis itu.
Dengan perlahan ia angkat tangan kanannya lalu membelai lembut rambut putih Marina. Ia memaksakan senyum di wajahnya, agar Marina dan yang lainnya merasa terhibur.
"Sudahlah, tak perlu menangis. Aku kehabisan tiket kereta menuju Davy Jones' Locker, jadi penjaga stasiun sana mengusir ku sehingga aku bisa kembali lagi kesini."
Tiba-tiba dirasakannya tangan seseorang menampar pelan dahinya, dan ternyata itu adalah Takumi yang terlihat baru saja berhenti menangis.
"Kalo ngomong tuh di jaga! Asal aja moncong kau berbicara, siapa yang rela kehilangan orang sepertimu di saat-saat begini? Hah?!"
Beberapa detik kemudian Singosari muncul. Alih-alih menangis, ia justru terlihat biasa saja saat ia mendekati Tirpitz.
"Bagaimana liburannya, shikikan-sama? Apakah Davy Jones' sangat indah dimata mu?" tanya gadis itu bercanda.
"Sangat indah, sayang. Bahkan lebih indah dari lelucon nenek lampir liburan ke Hawai."
...****************...
Malam harinya Tirpitz menjalani pemeriksaan kesehatan bersama seorang dokter yang merupakan dokter pribadinya. Dokter itu adalah pria paruh baya berkebangsaan Perancis, ia bisa berada di Indonesia berkat tumpangan sebuah kapal pelarian yang menuju ke Indochina saat ibukota Paris jatuh ke tangan pasukan Jerman.
"Wah kalau begini terus, lama-lama saya terpaksa membelikan tiket kapal menuju alam baka," ujar dokter itu sambil melepas stetoskop yang terpasang di telinganya, "kesehatan anda lebih buruk dari pemeriksaan terakhir, seharusnya anda lebih mementingkan kesehatan diri sendiri daripada berbatang-batang tembakau yang kau bakar."
Tirpitz mengerang sebentar saat dokter itu menekan salah satu benjolan pada betis kirinya, benjolan itu mengeluarkan nanah sebagai akibat luka lamanya yang terinfeksi.
"Apa kau butuh mimbar, dok?"
"Ah, tak usah! Saya sedang malas berceramah, karna percuma menceramahi kepala batu sepertimu."
"Bagus lah, saya juga sedang malas mendengarkan ceramah."
Dokter segera membereskan peralatannya lalu meletakkan dua buah botol berisi penisilin dan parasetamol di meja tidur kamar itu, "jangan lupa meminumnya, setidaknya obat-obat ini bisa menambah nyawa mu untuk beberapa waktu ke depan."
Tirpitz segera bangkit dengan di bantu Takumi, lalu ia memberikan sebuah amplop putih kepada dokter pribadinya itu.
"Ini untukmu membeli tempe di pasar. Meskipun tak banyak, tapi cukuplah untuk memborong satu truk penuh tempe."
Sang dokter menerimanya dengan wajah berseri, lalu ia berkata, "ah ente ini bisa saja, tahu saja kalau saya suka makanan khas negeri ini."
Setelah berpamitan, dokter itu segera keluar lalu menutup pintu kamar tidur Tirpitz. Takumi segera membantu kakak tirinya itu untuk berbaring di tempat tidur.
"Farel masih di luar?"
"Iya kak. Semenjak kakak siuman, dia belum pulang."
"Ah yaudah, biarin aja dia kedinginan di luar, nanti toh dia pulang sendiri."
Takumi segera mematikan lampu kamar lalu keluar dan menutup pintu, menyisakan Tirpitz yang terbaring sendirian di atas ranjang. Bisikan Dutchman kembali terngiang di telinganya, tapi ia tak menggubrisnya lalu mencoba untuk tidur.