Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
laila dan rasa gelisah
Pagi itu rumah tampak tenang, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan dan deru kendaraan dari luar. Laila duduk di sofa ruang tamu, tangannya sibuk membuka bungkus camilan ringan yang ada di meja, sementara mata menatap layar televisi. Meskipun acara yang ditayangkan cukup menarik, pikirannya melayang entah ke mana. Arfan, suaminya, sudah berangkat kerja beberapa jam yang lalu, meninggalkannya sendiri di rumah.
Di tengah keheningan, rasa ingin tahu yang menekan membuat Laila menunduk sebentar, lalu memutuskan untuk memanggil Bi Ratmi, pembantu rumah tangga sekaligus asisten pribadi suaminya yang sudah beberapa bulan bekerja di rumah mereka.
“Bi…” suara Laila memecah kesunyian, sedikit gemetar karena sebenarnya ia menahan perasaan cemasnya.
“Iya, Bu,” jawab Bi Ratmi sambil menghampiri, berjalan dengan lenggak-lenggok yang membuat Laila sedikit terguncang. Gerakan tubuhnya begitu percaya diri, seperti model yang berjalan di catwalk, dan senyum tipis di wajahnya memberi kesan misterius yang sulit dibaca.
Laila menelan ludah. Ia mencoba mengalihkan pandangannya, tapi secara otomatis matanya terus tertuju pada Bi Ratmi.
“Apa mungkin… suamiku bisa menahan diri melihat tubuh Bi Ratmi seperti itu?” pikir Laila dalam hati sambil menghela napas. Rasa khawatir perlahan-lahan menjalar di dalam dada.
“Bu… Bu…” suara Bi Ratmi kembali memecah lamunannya, membuat Laila tersentak.
“Oh… iya,” jawab Laila gugup.
“Ibu memanggil saya?” tanya Bi Ratmi, suaranya terdengar lembut namun penuh arti.
“Ya, Bi… Bi saya mau tanya, selama saya di kampung, Bapak kemana saja?” Laila memilih kata-kata dengan hati-hati. Suaranya sedikit gemetar, menandakan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan.
Bi Ratmi menunduk sebentar, seolah menimbang kata-katanya sebelum menjawab.
“Tidak kemana-mana, Bu. Setelah pulang kerja, Bapak istirahat di kamar.” Jawaban itu terdengar tenang, bahkan terlalu tenang, yang membuat Laila sedikit lega namun juga curiga.
“Benarkah?” pikir Laila. Ia ingin mempercayai kata-kata Bi Ratmi, tapi bayangan tubuh wanita itu yang menawan membuat hatinya tidak tenang. Bagaimana mungkin Arfan menahan hasratnya selama empat hari? pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.
Laila menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Ia mencoba memutar otak, bagaimana caranya menanyakan hal yang paling pribadi tanpa membuat suasana menjadi canggung. Namun setiap kali Bi Ratmi tersenyum atau menatapnya dengan tatapan penuh arti, Laila merasa sulit untuk berpikir jernih.
“Bu, ada lagi yang ibu butuhkan?” tanya Bi Ratmi tiba-tiba, membuat Laila tersadar dari lamunannya.
“Oh… sudah, Bi. Terima kasih ya, info-nya cukup,” kata Laila sambil tersenyum paksa. Senyum itu lebih sebagai topeng untuk menutupi kekhawatirannya.
Bi Ratmi membalas senyum itu, namun senyumannya penuh arti, seolah ada sesuatu yang disembunyikannya. Ia berbalik dan meninggalkan ruang tamu dengan langkah-langkah yang membuat Laila tidak bisa berhenti memperhatikannya.
Setelah Bi Ratmi pergi, Laila kembali menatap televisi. Namun mata dan pikirannya tetap tidak fokus. Bayangan senyum Bi Ratmi dan caranya berjalan masih menempel di benaknya, membuat hatinya berdebar. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mengunyah camilan, namun setiap kali mengunyah, rasa gelisahnya semakin menjadi.
Laila tahu, suaminya Arfan adalah pria yang kuat dan penuh kontrol. Namun empat hari ia meninggalkan rumah, membayangkan kemungkinan Arfan tergoda oleh Bi Ratmi membuat dadanya terasa sesak. Ia memikirkan semua hal yang mungkin terjadi, mulai dari interaksi kecil hingga hal-hal yang lebih intim yang mungkin saja terjadi.
Ia menutup mata sejenak dan mencoba menenangkan diri, mengingat setiap kenangan manisnya bersama Arfan. Senyumannya yang tulus saat sarapan, caranya memegang tangannya, dan tatapan penuh cinta yang selalu membuatnya merasa aman. Namun pikiran itu tidak mampu menyingkirkan bayangan Bi Ratmi yang menggoda di rumah mereka.
Dengan napas tertahan, Laila memutuskan untuk menenangkan diri dengan cara lain. Ia berjalan menuju jendela ruang tamu, membuka gorden, dan menghirup udara segar dari luar. Angin pagi yang menyejukkan sedikit meredakan gelisahnya, namun tidak cukup untuk menghapus rasa takut dan cemas yang menghantui hatinya.
Ia berbalik menatap ruangan, melihat sarapan yang sudah disiapkan Bi Ratmi, meja yang rapi, dan aroma kopi yang baru diseduh. Semuanya tampak normal, namun Laila tahu bahwa di balik tampilan itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia lihat. Perasaan tidak nyaman semakin menekan dadanya.
Dalam hatinya, Laila mulai bertanya-tanya tentang kesetiaan Arfan.
“Apa mungkin Arfan benar-benar bisa menahan diri? Empat hari… terlalu lama. Apa yang terjadi di rumah saat aku tidak ada?” pertanyaan itu membuatnya menelan ludah dan menggigit bibir.
Laila memutuskan untuk menenangkan pikirannya dengan menonton acara televisi, mencoba fokus pada cerita yang ditayangkan. Namun setiap adegan romantis atau interaksi antara pria dan wanita membuatnya teringat pada situasinya sendiri. Hatinya berdebar setiap kali ia membayangkan kemungkinan Arfan dan Bi Ratmi berada dalam satu ruangan, sendirian, tanpa pengawasan.
Ia kemudian mencoba berbicara pada diri sendiri, menenangkan hatinya.
“Laila, jangan terlalu curiga. Arfan pria baik. Dia selalu setia. Jangan biarkan bayangan negatif menguasai pikiranmu. Mungkin Bi Ratmi hanya membantu dan tidak lebih dari itu.”
Namun pikiran itu tak mampu sepenuhnya menenangkan Laila. Setiap kali Bi Ratmi melewati ruang tamu atau bergerak dengan cara yang menawan, Laila merasa hati dan pikirannya diuji. Ia mencoba tersenyum tipis saat Bi Ratmi lewat, tapi dalam hatinya, ketidakpastian terus menghantui.
Sambil duduk kembali di sofa, Laila memikirkan strategi untuk menghadapi situasi ini. Ia sadar bahwa ia tidak bisa terus-menerus mencurigai Arfan tanpa bukti. Namun ia juga tidak bisa menutup mata terhadap potensi bahaya yang mungkin timbul dari kedekatan Bi Ratmi dengan suaminya.
Ia mulai membuat rencana di kepalanya.
“Aku harus berbicara dengan Arfan. Tapi… bagaimana caranya tanpa membuat dia merasa tersudut atau defensif? Aku harus menunggu waktu yang tepat, saat kita berdua tenang dan tidak ada gangguan.”
Pikiran itu terus berputar, membuatnya sibuk sendiri. Setiap detik yang berlalu terasa lambat, seperti menambah beban di dadanya. Laila tahu, ia harus sabar dan hati-hati. Kepercayaan adalah pondasi rumah tangganya, namun rasa cemas yang ia rasakan kini menguji batas kesabarannya.
Ia menoleh ke arah pintu kamar, menyadari bahwa Bi Ratmi mungkin sedang menyiapkan keperluan lain untuk suaminya. Perasaan campur aduk muncul: antara ingin tahu, khawatir, dan sedikit rasa curiga yang membuatnya tidak bisa tenang. Ia menggigit bibir, mencoba menahan diri dari keinginan untuk segera bertanya lebih banyak.
Laila sadar, ia sedang berada di persimpangan batin: antara mempercayai suaminya dan merasakan ketegangan dari kehadiran Bi Ratmi. Ia tahu bahwa keputusan yang diambilnya saat ini akan memengaruhi hubungan rumah tangganya, setidaknya untuk beberapa hari ke depan.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Aku harus kuat, Laila. Jangan biarkan rasa takut dan cemas menghancurkan hubungan kita. Aku harus percaya pada Arfan… tapi juga harus waspada terhadap Bi Ratmi. Aku harus bisa menyeimbangkan semuanya.”
Sambil meneguk segelas jus yang sudah ia buat sendiri, Laila mencoba mengalihkan pikirannya dengan menonton TV lagi. Namun setiap suara langkah, setiap gerakan yang terlihat dari luar jendela atau dari sudut rumah, membuatnya tetap waspada. Perasaan gelisah itu tetap membayangi, meskipun ia berusaha menenangkan diri dengan semua cara yang ia bisa.
Jam demi jam berlalu, dan Laila masih duduk di sofa, menonton TV dan sesekali memandang ke arah pintu kamar, berharap tidak ada hal-hal yang membuatnya semakin gelisah. Ia tahu, hari ini adalah hari penting untuk dirinya sendiri: untuk menenangkan hati, mengatur strategi, dan bersiap menghadapi Arfan nanti malam.
Sementara itu, Bi Ratmi, yang telah menyadari kegelisahan Laila, tersenyum sendiri. Ia tahu, kecemasannya Laila adalah senjata paling ampuh yang bisa ia manfaatkan