Masa remajaku tidak seindah remaja lain. Di mana saat hormon cinta itu datang, tapi semua orang disekitarku tidak menyetujuinya. Bagaimana?
Aku hanya ingin merasakannya sekali saja! Apa itu tetap tidak boleh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riaaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Aku mendengar bunyi berisik dan tersadar di PUSKESMAS. Ibu kembali membawa secarik kertas. Kali ini dugaan Suci benar. Aku anemia. Darah di tubuhku sangat kurang. Sampai-sampai ibuku sempat pergi ke PMI untuk mengambil kantong darah yang akan ditranfusikan ke dalam tubuhku.
Tapi, tiba-tiba saja ibu tidak jadi masuk ke dalam ruanganku. Nada bicaranya agak kencang sampai terdengar ke sini. Aku melihat dari sela pintu. Ibu sedang berdebat dengan seorang pria berseragam SMA.
Apa itu Alex? Ibu bertengkar dengan Alex?!
Ibu menarik pria itu untuk masuk ke dalan ruangan ini dengan wajah yang agak marah.
"Kamu lihat! Kalau ga di transfusi sekarang, anak saya bisa saja meninggal!" teriak Ibu padanya.
"Tapi darahnya bisa normal sendiri setelah 15 menit. Kita lihat saja nanti, jika 15 menit Mutia masih merasa ingin pingsan, silakan transfusi," balas pria itu.
Aku seperti tidak asing dengan wajahnya. Tapi aku tidak kenal siapa dia. Tapi dia tahu namaku.
Setelah 15 menit. Lebih tepatnya adalah 10 menit sejak aku sadarkan diri, aku benar-benar merasa sudah normal kembali. Sehingga transfusi darah tidak diperlukan, aku hanya menerima infus agar tidak lemas lagi.
Sayangnya, kali ini aku tidak diperbolehkan pulang alias harus menjalani rawat inap! Uh, kesal sekali rasanya. Aku ingin pulang. Aku tidak betah di rumah sakit. Bagaimana jika aku menginap di sini sampai hari Kamis? Itu artinya renacana jalan-jalanku dengan Alex akan dibatalkan? Aaaahhh! Penyakit iniiiii!
***
Benar saja. Aku berada di PUSKESMAS sampai hari Kamis. Pagi di hari itu aku baru diperbolehkan untuk pulang. Namun, aku masih harus kontrol seminggu sekali sebab dokter menemukan kelainan di pembuluh darah bagian otakku. Entahlah diagnosanya apa. Tapi kali ini aku tidak membantah, sebab semua pertanyaan dokter aku jawab dengan ....
"Tidak bisa lebih dari 5 menit?" tanyanya.
"Iya," jawabku.
"Sebelum pingsan, ada gejala perut dingin dan napas melambat?"
"Iya."
"Jantung berdetak pelan namun sangat kuat?"
"Iya, sampai terdengar di telinga saya sendiri."
Semuanya aku jawab iya. Dokter juga meminta Ibu menyiapkan makanan sehat untukku setiap hari. Beliau juga menyarankan kami untuk menyediakan tabung oksigen di rumah. Sewaktu-waktu aku pingsan, aku harus memakai itu sebab ....
"... pembuluh darah di otak Mutia mengalami penyempitan. Saat berdiri, pasokan oksigen dan darah akan turun dengan cepat mengikuti gravitasi. Sehingga darah mengalami gangguan mengirim oksigen ke otak. Otak akan bertahan setidaknya kurang dari 10 menit dengan oksigen yang kurang. Setelahnya, tidak akan sadarkan diri sebab kekurangan oksigen. Kalau mau berdiri, bertahap dulu ya, Mutia. Pelan-pelan aja. Biar tubuh menyesuaikan." Begitu penjelasan Dokter sebelum ia memberikan surat kontrol kepada Ibu.
Sesampainya di rumah, aku hanya dibolehkan tiduran di kamar. Padahal jika aku terus berbaring, kepalaku bertambah pusing. Jadi, aku memutuskan untuk ke dapur dan duduk melihat ibu mencuci piring.
"Udah dibilangin kamu tidur aja di kamar!" omelnya sambil tangan yang tidak berhenti menggosok buih ke semua perabotan.
"Bu, aku boleh ga nanti malam jalan-jalan?" tanyaku.
Ibu langsung memutar tubuh dan mencuci tangannya. Ia menghampiriku dengan wajah yang amat kesal. "Kamu itu baru pulang dari PUSKESMAS! Bukan baru pulang habis liburan! Setidaknya seminggu kamu harus istirahat!"
"Tapi aku udah janji."
"Suruh mereka ke sini aja! Mau ngobrol, mau main game, terserah! Yang penting di rumah aja! Kalo kamu ga enak buat ngomong ke mereka, sini biar Ibu yang ngomong sama Suci sama Bulan!"
"Tapi ...." Aku tak melanjutkan kalimatku lagi. Sepertinya seluruh alam memang ingin aku semakin jauh dari Alex. Bahkan satu titik kesempatan pun dihapus begitu saja oleh takdir.
"Sini, biar Ibu yang ngomong. Kalo Ibu yang ngomong, mereka pasti mau!"
Aku menghela napas dan kembali ke kamar tanpa memberikan balasan.
***
Sore hari itu, seorang pria duduk di ruang tamu bersama Ibu. Aku mengintip dari sela pintu, benar saja! Itu Alex. Entah tahu dari mana dia lokasi rumahku ada di sini.
"Maaf ya, Alex. Mutia baru pulang dari rumah sakit, jadi dia belum Tante bolehin ke luar. Dia masih butuh istirahat." Itu kalimat yang ibu ucapkan saat aku membuka sedikit pintu demi menguping pembicaraan mereka.
"Oh, ga apa-apa Tante. Saya ke sini mau kasih catatan buat Mutia, kan dia beberapa hari kemaren ga masuk."
Alex nyari muka apa gimana sih? Batinku.
"Waah! Banyak juga ya catatannya," balas ibu.
"Mutia sakit apa ya Tante?" tanya Alex.
"Ada penyempitan pembuluh darah di dekat otaknya, jadi sering kekurangan oksigen di otak soalnya darah ga lancar, jadi ga bisa berdiri lama-lama."
Sebelum ibu bercerita panjang lebar, aku lebih dulu ke luar kamar dan menatap mereka.
"Mutia sering nyontek ke kamu ya?"
Kan, sesuai prediksi. Ibu pasti nanya yang aneh-aneh!
"Ga kok!" bantahku.
"Ibu nanya Alex!"
"Dia yang ngasih contekan!" bantahku lagi.
"Kalo ga nyontek, Mutia mana bisa kerjain tugas Tante." Aku terdiam mendengar jawaban tersebut.
"Gue ga pernah minta loh Lex!" bantahku.
"Udah-udah jangan ribut. Kalian ngobrol aja di sini, jangan jalan ke luar rumah. Ibu beli jajanan bentar di depan. Kamu mau nitip apa, Mut?" tanya Ibu.
"Somay," jawabku singkat sebab masih merasa kesal.
Setelah ibu benar-benar pergi, aku hanya berdiri di hadapan Alex. Dia hanya tersenyum-senyum tidak keruan.
"Kenapa?!" bentakku. "Mau ngejekin gue?"
"Temen-temen lo mana? Ga ke sini?" tanyanya.
"Malam Jum'at? Cuma lo yang ke sini malem Jum'at!" ejekku.
Ia tertawa kecil. "Kan malam Minggu sama pacar, malam Jum'at sama selingkuhan," balasnya sambil terkekeh.
"Jangan sampai gue dilabrak cewek lo, Lex. Ntar dia ngajakin gue adu cwrdas cermat, gue kalah," balasku yang ikut tertawa. "Oh iya, lo tau rumah gue dari mana?"
"Suci," jawabnya begitu singkat.
Suci? Apa Alex chat-chattan sama Suci ya? Mereka chat apa aja? Apa mereka bercandaan gitu ya di chat? Apa jangan-jangan Alex juga bercandain Suci jadi selingkuhannya? Ohhh! Otakku mulai lagi.
"Kenapa? Kok diem?" tanyanya.
"Lo chattan sama Suci?" balasku tanpa rasa malu.
"Di sekolah. Gue nanya di sekolah tadi," jawabnya.
"Gue ga nanya lo nanyanya di mana, tapi gue nanya lo chattan sama Suci?" Berlagak cemburu. Padahal memang cemburu.
"Oh, gue kira lo mikir gue chat Suci buat nanyain rumah lo." Dia mengeluarkan ponsel dan memberikannya padaku. "Nih, cari nomer Suci kalo ada."
Aku menoleh ke arah lain, sialnya Alex malah tertawa. "Sini duduk! Berdiri mulu, ntar pingsan gue yang disalahin!" ucapnya sambil tertawa.
Aku turuti pintanya untuk duduk berhadapan. Alex mendorong ponselnya di atas meja ke arahku. Dengan cepat aku mengambil ponsel itu tapi sayangnya dia memakai kata sandi. "Ini apaan?" tanyaku.
"0000," jawabnya.
Setelah ponsel itu terbuka aku langsung mengincar kontak dan tidak ada nomor Suci di sana. Yang lebih menarik perhatianku adalah hanya ada 4 nomor wanita di sana. Aku, pacar Alex, Mama dan Kak Reni.
"Kak Reni selingkuhan lo juga?" tanyaku.
Dia malah memasang wajah lucu kemudian tertawa mengejek. "Itu kakak gue," jawabnya.
"Sejak kapan lo punya kakak?" balasku kemudian kembali bergerilya di dalam elektronik 5 inci tersebut.
Sepertinya aku bertindak terlalu jauh, sampai-sampai chat pribadi Alex dengan pacarnya juga aku buka. Ternyata Alex bertengkar dengan pacarnya dan mereka tidak saling menghubungi sejak 2 hari yang lalu.
"Lo berantem sama ...." Alex langsung mengambil ponselnya sebelum aku menyelesaikan kalimat itu. "Sorry," ucapku yang baru menyadari bahwa aku sudah memasuki rana pribadi Alex.
"Jangan mikir gue ke sini karena gue lagi berantem sama dia." Kalimat itu membuatku bingung. Apa itu maksudnya?