Novel ini sakuel dari novel "Cinta yang pernah tersakiti."
Tuan, Dia Istriku.
Novel ini menceritakan kehidupan baru Jay dan Luna di Jakarta, namun kedatangannya di Ibu Kota membuka kisah tentang sosok Bu Liana yang merupakan Ibu dari Luna.
Kecelakaan yang menimpa Liana bersama dengan suami dan anaknya, membuatnya lupa ingatan. Dan berakhir bertemu dengan Usman, Ayah dari Luna. Usman pun mempersunting Liana meski dia sudah memiliki seorang istri dan akhirnya melahirkan Luna sebelum akhirnya meninggal akibat pendarahan.
Juga akan mengungkap identitas Indah yang sesungguhnya saat Rendi membawanya menghadiri pesta yang di adakan oleh Jay.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Banilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gara-gara Mie rebus
Jay berjalan mendekati Luna yang sedang duduk bersandar di sandaran ranjang. Dengan penuh perhatian, Jay membawa nampan berisi semangkuk mie instan yang masih mengepul, serta segelas jus jeruk.
Aroma hangat mie instan langsung memenuhi ruangan, membuat wajah Luna seketika berbinar saat Jay duduk di kursi yang ada di samping ranjang.
"Mie instan siap di santap." Ucap Jay seraya mengambil mangkok mie instan dari nampannya lalu memberikannya pada Luna.
"Terimakasih Mas." Ucap Luna dengan mata berbinar hendak menerima semangkuk mie instan tersebut.
Namun Jay memundurkannya lagi, membuat Luna jadi manyun kembali, "Mau Mas suapin atau makan sendiri?" Tawar Jay.
"Luna mau makan sendiri aja Mas." Jawab Luna yang matanya tak lepas dari semangkuk mie itu.
"Ya sudah, ini." Jay menyodorkan kembali mangkuknya didepan Luna.
Tak menunggu lama, Luna gegas meraih mangkuk itu lalu menyantap mie instan dengan lahap. Luna menyeruput kuah dari mie itu seraya memejamkan matanya, ia begitu menikmati setiap suapannya, seakan itu adalah makanan terenak yang pernah Ia makan.
Jay menelan ludahnya, melihat Luna begitu lahap memakan mie instan, membuat Jay rasanya ingin ikut makan juga, dia sedikit menyesal karena tadi hanya membeli satu mangkuk mie rebus.
"Kenapa aku tadi ngga beli dua mangkok aja." Sesalnya dalam hati.
Jay tak begitu menyukai Mie, tapi melihat Luna makan dengan lahap seperti itu, membuatnya menjadi ingin makan mie juga.
Luna yang merasa di perhatikan pun melirik pada Jay, dan dia bisa melihat mata Jay yang tertuju pada mangkok yang ada di tangannya.
"Mas mau?" Tanya Luna.
Sontak Jay terlonjak dan mengalihkan pandangannya, "Ahhh, ngga sayang." Jawabnya sedikit menahan malu karena tercyduk tengah menatap Mie.
"Luna suapin mau?" Kali ini Luna menyodorkan sesendok mie di depan mulut Jay.
Jay yang sedari tadi Menginginkannya pun segera membuka mulutnya, dan saat mie itu masuk ke dalam mulutnya, "Enak, ini enak banget sayang." Ucap Jay seraya merenggut mangkok dari tangan Luna.
Luna terpaku melihat tingkat Jay yang tiba-tiba seperti anak kecil, "Mas, itu punya Luna." Ucapnya cemberut saat Jay seakan tak menghiraukan nya, "Mas jangan dihabisin." Luna hendak meraih mangkok itu, namun Jay justru semakin menjauhkannya.
"Ihhhh, Mas nyebelin." Kesal Luna melipat kedua tangannya.
Jay seketika melirik Luna, lalu nyengir kuda, dia begitu malu dengan tingkahnya sendiri, "Maaf sayang, Mas khilaf, Mas suapin Luna ya?" Ucap Jay yang jadi bingung sendiri dengan tingkah nya.
Jay pun menyuapi Luna dengan lembut, Luna tersenyum, merasakan setiap suapan dari Jay yang semakin menambah kenikmatan dari rasa mie itu.
Hingga tak lama, mangkok itu sudah kosong, tak ada sisa dari mie ataupun kuahnya, semua bersih tak tersisa.
Jay tersenyum, lalu menaruh mangkok kosong itu ke nampan dan meraih jus jeruk untuk Luna.
"Ini sayang, minum dulu." Ucap Jay memberikan gelas yang berisi jus jeruk pada Luna.
"Terimakasih Mas." Luna meraih gelas itu lalu segera meneguk nya, Luna tak menghabiskannya karena merasa sudah sangat kenyang.
Jay mengambil gelas itu lalu menaruhnya kembali ke nampan, "Sekarang Luna minum obat ya." Ucapnya seraya memberikan dua butir obat dan segelas air putih yang ada di atas nakas.
Luna mengangguk lalu segera meminum obat nya, Tak lama setelah minum obat, Luna merasakan kantuk yang teramat sangat, hingga akhirnya dia tertidur.
Jay segera menarik selimut untuk Luna, di tatapnya wajah Sang istri yang begitu tenang, lalu ia mengecup kening sang istri sebelum akhirnya dia berjalan menuju sofa dan merebahkan tubuhnya disana.
***
Malam berganti pagi, sinar matahari menembus kaca jendela kamar hotel yang di sewa Nathan semalam. Mata Nathan mulai mengerjap dan perlahan mata itu mulai terbuka.
"Hoammm." Nathan menggeliat kan tubuhnya, lalu segera duduk.
Ia pandangi kamar hotel yang begitu sempit, ranjangnya pun tak seempuk hotel pada umumnya, semalam Ia terpaksa menyewa disana karena hanya hotel ini yang Ia temukan, itu pun dia harus keliling hingga larut malam.
Tentu saja dia kesulitan mencari hotel, karena desa tempat orang tua Luna tinggal merupakan desa yang terpencil dan sangat jarang ada hotel seperti di kota.
Nathan gegas bangkit dan pergi ke kamar mandi, "Namanya saja hotel, padahal sama sekali ngga pantas disebut hotel, aku baru tau ada hotel yang modelnya seperti ini, kamar mandi hanya ada ember dan closet. Hotel apaan ini." Cerocos nya.
Nathan pun tak berniat mandi, karena ia tak sempat membawa baju ganti, dia hanya sekedar cuci muka lalu memakai parfum yang selalu tersedia di dalam tas nya.
Setelah bersiap, Nathan pun segera pergi dari hotel itu menuju alamat rumah orang tua Luna.
"Apa benar ini rumahnya." Nathan celingukan saat mobilnya berhenti tepat di depan rumah sesuai dengan alamat yang di berikan oleh Marvin.
Dia pun turun dan bertanya pada orang yang berada di samping rumah itu.
"Permisi Bu, apa benar itu rumah Pak Usman?" Tanya Nathan pada wanita paruh baya seraya menunjuk rumah di hadapannya.
"Iya Mas, itu memang rumahnya Pak Usman." Jawab wanita paruh baya itu, "Mas nya siapa ya?" Tanyanya.
"Emmmmm ini, saya temennya... Luna." Jawab Nathan seraya tersenyum.
"Ohhh temennya Neng Luna, berarti Mas nya mau cari Luna ya?" Tanya wanita paruh baya itu lagi.
"I...iya Bu." Sahut Nathan.
"Ohhh, tapi Neng Luna sudah pindah ke Jakarta Mas, dia ikut suaminya." Ucap wanita itu.
"Gitu ya Bu." Sahut Nathan, "Tapi kalau Pak Usman nya ada kan Bu?" Tanyanya.
"Biasanya sih jam segini sudah di ladang Mas, tapi coba aja Mas nya kesana, barangkali belum berangkat ke Ladang." Jawab Wanita itu.
"Ya sudah kalau begitu saya permisi ya Bu." Pamit Nathan sopan, dan bertepatan dengan itu Pak Usman keluar dari rumahnya.
"Nah, itu Pak Usman Mas." Ucap wanita itu seraya menunjuk Pak Usman yang sepertinya akan segera pergi ke ladang.
Nathan mengikuti arah tunjuk wanita itu, dan melihat laki-laki yang berjalan semakin jauh.
"Jadi dia, Ayah Luna." Batin Nathan lalu gegas mengikuti Pak Usman dari belakang.
Terlihat Pak Usman berjalan menghampiri pangkalan ojek, dari kejauhan Nathan terus mengamatinya, dan ternyata Pak Usman menaiki salah satu ojek itu.
"Apa ladangnya jauh, makanya dia naik ojek." Gumam Nathan heran.
Karena tak ingin kehilangan jejak Pak Usman, Nathan pun berlari menghampiri tukang ojek yang lain dan memintanya untuk mengejar ojek yang membawa Pak Usman. Tak tanggung tanggung Nathan memberikan ongkos yang lumayan besar.
Dengan cepat tukang ojek itu pun berusaha menyusul Pak Usman, "Jangan terlalu dekat Pak, jangan sampai dia menyadari kalau saya mengikutinya." Pinta Nathan.
"Baik Mas." Sahut tukang ojek itu.
Nathan terkejut saat ojek yang membawa Pak Usman justru berhenti di depan tempat pemakaman umum.
"Astaga, kenapa dia malah kesini, bukankah kata wanita tadi dia akan pergi ke ladang." Gumamnya.
Dengan ragu, Nathan kembali mengikuti langkah Pak Usman yang mulai memasuki tempat pemakaman itu.
"Dia sedang mengunjungi makam siapa?" Nathan terus memperhatikan Pak Usman yang kini duduk di samping makam.
Pak Usman memandangi makam Sang istri yang kini sudah terlihat bersih dan terawat, matanya berbinar, ternyata menantunya begitu peduli pada makam Ibu mertuanya, "Li, ternyata menantumu memang membuat makammu jauh lebih baik. Anak kita sangat beruntung bisa menikah dengan laki-laki sebaik Jay."
"Sekarang kamu pasti jauh lebih tenang, karena putrimu akan selalu mendoakan kamu. Maafkan aku yang tak pernah menceritakan tentangmu pada putri kita. Aku takut Li, aku takut putri kita tak bisa memaafkan kesalahanku." Ucap Pak Usman merunduk dan air matanya langsung menetes ke pipinya.
"Menikahimu memang sebuah kesalahan, tapi aku sama sekali tak menyesalinya. Sungguh aku mencintai kamu, terlebih kamu sudah memberikan aku seorang putri yang sangat cantik, dia sama persis seperti kamu Li."
"Oh ya, Rini juga sudah mulai menerima Luna sekarang, meski belum sepenuhnya, tapi setidaknya sekarang dia sudah memperlakukan Luna dengan baik, dan aku sangat bahagia untuk itu, Li." Sambung Pak Usman.
Nathan cukup tercengang dengan apa yang ia dengar, "Apa maksudnya? Apa Rini bukan Ibu kandung Luna?" Pikir Nathan yang semakin di buat bingung.