Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gantungan Kunci (2)
Pagi itu aku tidak berangkat dengan Nizan. Mama yang mengantarku ke sekolah karena sekalian mau mampir ke pasar. Aku masih mengantuk. Aku berdiri di depan kelas dan bersandar di pagar lantai dua, sambil memandangi parkiran yang mulai ramai oleh siswa yang baru datang.
Angin pagi menyentuh pipiku. Sejenak aku menutup mata hingga tiba-tiba, "pagi Tisya!!!"
Suara itu membuatku sedikit terlonjak. Tentu saja itu Nizan.
Dengan senyum khasnya, ia berdiri di sampingku sambil menyodorkan sesuatu. Sebuah kantong kecil berbahan kain hitam. Di dalamnya terdapat gantungan kunci kayu bertuliskan "N" dan "T" yang ia ceritakan sebelumnya. Gantungan itu berbentuk persegi panjang dengan ukiran halus dan sedikit lengkungan yang membuatnya terlihat unik. Buatan tangan Nizan.
"Udah jadi nih, " katanya. "Kamu bawa ke Malaysia, ya. Biar inget aku terus. Jangan sampe terpikat sama cowok-cowok sana. Awas aja."
Aku menatap gantungan itu. Senyumku tipis.
Makin pusing aku Zan gimana balas perasaan kamu sambil ngejaga perasaan Mira, gumamku dalam hati.
Aku suka usahanya, aku terharu. Tapi di lain sisi aku juga takut. Takut kalau aku akan menyakitinya. Padahal, aku belum pernah memberi lampu hijau, kan?
"Aku gak mau bawa ini ke sana," jawabku akhirnya. "Nanti orang ngira aku punya pacar lagi," sambil mengambil gantungan itu dari tangan Nizan.
Nada bicaraku sengaja kubuat sebiasa mungkin. Tapi dari sorot matanya, aku tahu ia menangkap pesannya. Aku bahkan mencoba menjelaskan, walau mungkin suaraku terdengar lebih dingin dari yang kuinginkan.
"Nizan. Aku ngerti perasaan kamu. Aku juga hargai usaha kamu kok. Tapi kan kamu tau aku masih 15 tahun Nizan. Aku gak pengen pacaran sekarang. Bukan sama kamu aja, siapa pun juga. Jadi ga usah aneh-aneh."
Ia diam. Matanya menunduk sejenak, sebelum akhirnya tersenyum kaku.
"Iya bawel," katanya pendek. "Tapi kamu senang kan aku buatin ini?"
Aku mengangguk pelan. "Senang sih. Tapi kamu jangan berharap aneh-aneh lagi ya."
"Aneh-aneh gimana bawel??", katanya sambil tertawa mendekatkan wajahnya ke arahku. "Kalau kamu takut dikira punya pacar, biar aku aja yang pakai. Kamu terima aja aku udah senang kok." Tatapan matanya membuat aku makin merasa bersalah.
Entah aku terlalu kejam atau terlalu jujur. Aku takut membiarkannya berharap padahal aku belum siap.
Dari ujung kelas, aku melihat seseorang memperhatikan kami. Azzam. Tatapannya diam, tapi jelas melihat. Aku langsung mengalihkan pandanganku, berpura-pura tak peduli. Aku juga tidak tahu apa yang ia pikirkan.
"Oh ya," kata Nizan tiba-tiba sambil mengangkat tangannya sedikit.
Aku terkesiap. Ada luka sobek cukup besar di jarinya. Cukup parah untuk membuatku khawatir.
"Ini kenapa?"
"Kena mesin pas bikin gantungan kunci itu. Nggak sengaja," katanya santai. "Tapi nggak apa-apa, udah pakai salep kok."
Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi aku tidak mau menunjukkan kekhawatiranku. Akhirnya aku mengangguk cepat dan segera masuk ke dalam kelas.
...****************...
Hari ini pelajaran olahraga. Cuaca cukup cerah walau langit mendung tipis menggantung. Pak Dika, guru olahraga kami yang terkenal santai tapi tegas, mengumpulkan kami di lapangan belakang.
"Lari dua putaran ya. Pemanasan. Habis itu kalian bebas deh pilih mau main apa," katanya sambil mencatat kehadiran.
Aku menghela napas. Lari lagi. Baru juga semalam aku begadang menyelesaikan catatan Sejarah Indonesia. Baru satu putaran, aku sudah terengah-engah. Mira yang berlari di sampingku juga sudah ngos-ngosan. Berbeda dengan anak laki-laki di kelasku, seperti Raka dan Khalif. Mereka malah bersaing cepat-cepatan seperti sedang lomba lari estafet.
"Raka, ini gak lagi lomba, woy!" teriakku setengah tertawa.
Setelah lari selesai, kami duduk sebentar di pinggir lapangan. Keringat mengalir di pelipis. Pak Dika pun membiarkan kami memilih aktivitas.
"Main badminton kuy," ajak Raka sambil mengeluarkan raket dari tas olahraga.
"Ganda ya. Gue sama Mira, lo sama Khalif," usulku.
"Kok gue se-tim sama Raka sih? Nanti kalah lagi kaya kemarin," keluh Khalif, membuat kami tertawa.
Erina tidak ikut bermain. Ia duduk di bangku dekat lapangan dengan wajah lesu. "Sakit perut gue. Kalian aja yang main," katanya lemas. Kami mengangguk maklum.
Kami mulai bermain. Ternyata hari ini Raka dan Khalif cukup kompak. Sementara aku dan Mira lebih banyak tertawa karena sering salah tangkap bola.
"Miraaa, itu bolanya ke kiri bukan ke kanan!" protesku sambil tertawa.
"Eh iya ya Sya! Kaga pandai gue!" balas Mira.
Tiba-tiba, saat aku mengejar bola tanggung, kakiku tersandung kerikil kecil di pinggir lapangan. Aku jatuh tersungkur. Tanganku lebih dulu menyentuh pinggir lapangan yang penuh pasir dan bebatuan itu.
"Sya!!" teriak Mira panik.
Mereka semua menghampiri. "Lo gak papa?" tanya Raka cemas.
Aku mengangguk, berusaha menahan perih. "Gapapa gapapa. Cuma luka dikit kok."
"Ya udah ayo ke UKS aja," saran Khalif.
"Nggak usah rame-rame lah, gue bisa sendiri kok. Kalian main aja," jawabku cepat sambil bangkit.
Sambil meniup-niup telapak tanganku, aku berjalan keluar dari lapangan. Di koridor menuju UKS, aku berpapasan dengan Azzam yang baru turun dari tangga.
Dia mengerutkan alis. "Eh, tangan lo kenapa?"
Aku buru-buru menurunkan tangan. "Gapapa."
"Gapapa gimana? Coba liat."
"Ih orang gue gapapa. Kepo deh," ucap Tisya sambil berlalu meninggalkan Azzam
Tanpa banyak kata, Azzam membuntutiku. Dia mengikutiku sampai UKS. Begitu sampai, ruangan sepi. Tidak ada penjaga UKS hari ini.
Dia menarik tanganku. "Duduk sini," kata Azzam sambil menarik kursi.
Aku duduk diam. Azzam mengambil kotak P3K di sudut ruangan dan membuka plester luka. Tangannya cekatan membersihkan lukaku dengan alkohol. Perihnya bukan main. Ia segera menutupnya dengan plester.
"Thanks," gumamku pelan.
"Iya deh yang gapapa. Mau bohong tu jangan sama gue. Jatuh dimana lo?" tanyanya.
"Di lapangan belakang."
"Kok bisa? Emang olahraga apaan lo?"
"Main badminton. Biasa, ngejar bola. Terus kesandung," jawabku sambil tertawa kecil.
"Ga usah main deh kalau ga pandai," katanya.
"Dih, gue pandai ya. Emang musibah aja karena mainnya di lapangan belakang, lapangannya banyak pasirnya. Siapa coba yang ga kepeleset. Lo ga masuk kelas?"
"Ngga la. Kalau gue ke kelas yang ngobatin lu siapa? Tadi gue mau ke lab RPL, tapi liat lo niup tangan sambil jalan sendiri, ya udah bolos aja sekalian."
"Bolos?" mataku membulat.
"Kan sebentar lagi juga istirahat. Nanti habis itu baru ke lab. Gak dosa bangetlah," katanya santai.
Kami tertawa kecil. Suasana tiba-tiba terasa nyaman. Tapi belum lama kami keluar dari UKS, suara langkah cepat terdengar mendekat.
"Nah! Tisya!" teriak seseorang.
Itu Nizan. Nafasnya memburu, pelipisnya berkeringat.
"Kamu gak papa?" tanyanya langsung.
"Gapapa kok, cuma luka dikit. Gak separah tangan kamu," jawabku sambil melirik luka di jarinya yang masih terbalut.
"Kok kamu tahu aku di UKS?" tanyaku heran.
"Raka yang bilang," jawabnya sambil melirik Azzam di sampingku. Aku bisa merasakan hawa aneh di antara mereka. Mereka saling melirik sekilas, tidak bicara.
Aku buru-buru menyela, "Aku duluan ya, mau ganti baju buat pelajaran berikutnya."
Aku meninggalkan mereka di depan UKS. Tak berani menengok ke belakang. Tapi aku tahu ada sesuatu yang menggantung di udara antara dua laki-laki itu. Dan entah kenapa, aku takut aku ada di tengahnya lagi.