SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LEBIH BANYAK BICARA
Mengapa tidak di barak?
Kanel dan Daren berjalan melewati jalan berbatu menuju sisi luar barak, di mana sebuah bangku kayu tua berada di bawah pohon kenari besar. Di sana, telah tersedia dua mangkuk kaldu hangat, roti lembut, dan sepiring kecil sayuran kukus. Sederhana, tapi jauh lebih layak dari pada apa pun yang pernah Daren makan.
Daren duduk perlahan, lututnya sedikit gemetar. Ia melirik ke arah komandan yang mulai makan dengan tenang.
Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara serangga malam yang mulai bangkit dan aroma kaldu yang mengepul lembut.
Daren menggenggam sendoknya, tapi pikirannya melayang.
Ia menatap lelaki di sebelahnya.
“Komandan...” suaranya lirih.
Kanel mengangkat wajahnya dari mangkuk.
“Apa… Anda tahu siapa orang tuaku?”
Seketika, keheningan itu berubah. Tak lagi ringan, tapi menggantung. Seperti malam yang menunda gelapnya.
Kanel idak langsung menjawab. Sebuah senyum samar muncul di wajahnya, bukan senyum riang, tapi senyum yang menyimpan terlalu banyak hal.
“Maaf Daren. Aku senang kamu berbicara seperti itu, tapi sepertinya kau belum bisa mengetahui semuanya.”
Nada suaranya lembut, namun tegas. Ia menatap lurus ke mata anak itu.
"Kelak kau akan mengetahui semuanya,"
Daren menunduk. Ia tak tahu apakah ia kecewa atau lega. Tapi di dalam dadanya, ada kekosongan kecil yang semakin jelas terasa.
Kanel kembali bicara, kali ini lebih lirih.
"Untuk sekarang kau sudah cukup terluka, Daren, Aku tidak ingin jika hidupmu di penuhi kebencian,"
Kata-kata itu menampar lebih keras dari pada latihan hari ini. Daren tidak bertanya lagi. Ia hanya mengangguk kecil, lalu menatap makanannya.
“Komandan,” ujar Daren tiba-tiba, matanya menatap mangkuk sup yang mengepul di hadapannya, “latih aku sekeras mungkin..."
Kanel menoleh, alisnya terangkat sedikit. Lalu ia terkekeh pelan, bukan karena mengejek, tapi karena sesuatu dalam diri anak itu… begitu familiar.
Bayangan lama melintas di benaknya, seseorang yang dulu berkata dengan nada yang hampir sama, dengan semangat yang mirip. Xander…
Tanpa berkata banyak, Kanel mengulurkan tangan dan mengusap kepala Daren pelan. Gerakan yang lembut, hangat… dan begitu asing bagi gadis kecil itu.
“Sebelum jadi kuat, kau harus makan yang cukup dulu,” ucapnya sambil tersenyum samar. “Kalau tidak, kau akan roboh bahkan sebelum mengangkat pedang,"
Daren terdiam. Sendoknya berhenti di tengah jalan. Untuk sejenak, dunia terasa hening.
Usapan itu sederhana. Tapi bagi Daren.... itu adalah pertama kalinya seseorang menyentuhnya tanpa amarah, tanpa teriakan, tanpa maksud menyakiti. Hanya… hangat.
Pipinya memerah. Ia menunduk dalam diam, tersipu, tapi juga bahagia.
Dan untuk pertama kalinya, sup sederhana itu terasa jauh lebih lezat dari sekadar makanan.
Setelah makan sore bersama Komandan Kanel, Daren tidak langsung kembali ke kamarnya. Perutnya hangat, tapi pikirannya belum tenang. Maka ia melangkah perlahan menyusuri jalan-jalan kecil yang mengarah ke taman luar istana.
lampu-lampu gantung dari kristal merah mulai dinyalakan satu per satu. Cahaya mereka berkilau seperti bintang yang turun lebih awal.
Daerah istana bagian timur ternyata menyimpan pemandangan yang tenang: kolam kecil dengan bunga air, jembatan batu melengkung, dan pohon-pohon tua dengan daun keemasan yang bergetar pelan ditiup angin senja.
Daren berdiri di salah satu sisi taman, menatap pantulan langit pada permukaan air. Ia tidak tahu nama tempat ini. Tapi keindahannya... membuat napasnya melambat.
“Tempat ini indah sekali…” batinnya.
Angin malam berhembus ringan, membawa aroma tanah basah dan bunga kastil yang jarang ia kenali. Meski lelah, matanya tetap mengamati. Seolah ingin merekam semuanya dalam ingatan, untuk dikenang di saat hari-hari pelatihan kembali menjadi keras.
"Ternyata ada banyak tempat yang indah, makanan yang enak," batinnya lagi.
Ia menelusuri sisi taman itu, berjalan perlahan menyusuri jalur batu kecil. Beberapa prajurit penjaga yang berjaga hanya melirik sekilas lalu memberi hormat sopan, karena mengenali lambang kecil di dada bajunya: tanda pelatihan langsung dari Komandan Utama.
Tapi Daren tidak membalas hormat. Ia hanya menunduk sebentar, lebih karena malu, bukan karena sombong.
Ia menghabiskan beberapa menit lagi berdiri di bawah pohon tua, memandangi lampu-lampu istana yang memantul di atas air.
Dan ketika angin mulai lebih dingin, ia akhirnya menghela napas dan berjalan kembali menuju kamar.
Daren baru hendak melangkah pergi dari bawah pohon tua itu, ketika sesuatu...
tok! mengenai kepalanya.
“...Ow,” gumamnya pelan, memegang kepalanya yang baru saja kena lempar sesuatu.
Ia menunduk. Sebatang tangkai kayu kecil jatuh ke tanah.
Daren mengangkat alis. Matanya lalu menyapu ke atas, ke dahan besar pohon tempat daun-daunnya lebat. Dan di sanalah…
“Oi, wajahmu lucu sekali saat kena lempar!”
Putra Mahkota Gerald, dengan rambut berantakan dan kaki bergoyang-goyang di udara... duduk santai di dahan pohon, menatapnya dari atas dengan senyum tengil.
“Pangeran” Daren nyaris tidak percaya.
“Dari tadi. Kau jalan-jalan sendiri seperti pangeran buangan yang kehilangan takhtanya.” Ia tertawa. “Tapi… ya, pangeran tidak mungkin sekecil dirimu.”
Daren mengerutkan alis. “Saya bukan anak kecil.”
“Gadis mungil,” sahut Gerald sambil melempar lagi satu tangkai, kali ini tidak diarahkan tepat ke kepala, hanya meluncur turun dekat kaki Daren.
Daren mengangkat kepalanya, tatapannya dingin. “Apa pangeran selalu duduk di pohon dan melempari orang?”
“Yap. Tradisi kerajaan.” Gerald beringsut sedikit, lalu meluncur turun dengan lincah, mendarat tak jauh dari Daren. “Kau pikir semua bangsawan itu makan buah emas dan berdansa sepanjang hari? Ini pohon pelarian.”
Daren masih diam. Tapi matanya menatap tajam pada Gerald, putra mahkota yang seharusnya agung, tapi malah seperti anak jalanan yang kabur dari pelajaran etika.
Gerald tersenyum lebih hangat.
“Apa…” Gerald menggaruk tengkuknya, seperti malu sendiri akan pertanyaan itu. “Apa makanannya enak?”
Daren mengangguk pelan. “Enak….”
Ding, dong.
Lonceng dari barak terdengar, menandakan setiap prajurit harus segera kembali ke kamarnya.
"Pangeran saya pamit," Kata Daren lalu melangkah.
Sebelum benar-benar melangkah pergi, Daren berhenti di tengah jalan setapak yang diterangi cahaya lentera. Ia menarik napas pelan, lalu memutar tubuhnya kembali menghadap ke pohon tempat Gerald berada.
Dengan gerakan ragu tapi penuh ketulusan, Daren menundukkan kepala dalam-dalam. Rambut peraknya terjatuh ke depan, menutupi sebagian wajah mungilnya yang serius.
“Terima kasih… Terima kasih karena sudah menerima kami di sisi istana,” ucapnya lirih namun jelas.
Gerald terdiam sesaat. Tidak ada candaan tengil atau komentar sarkastik seperti biasanya. Hanya hembusan angin malam yang menyapu daun-daun dan membiarkan keheningan itu menyatu dengan ketulusan Daren.
“Bicaramu seperti orang dewasa saja, ”
Daren mengangkat kepalanya perlahan, matanya membulat sedikit.
Gerald melanjutkan, masih menatap bintang-bintang. “Makan yang banyak... agar kau tumbuh menjadi gadis yang sangat kuat,"
Ucapan itu membuat dada Daren terasa hangat dan neh, tapi menyenangkan. Ia mengangguk kecil, tak tahu harus berkata apa lagi, lalu membalikkan tubuh dan melangkah kembali menuju barak.
Langkah-langkahnya kini terasa lebih ringan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya… Daren merasa seolah dunia ini, masih menyisakan ruang kecil baginya untuk hidup.