NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24 — Pertemuan yang Meledak

​Dion menemukan Aira di kamar Arvan. Anak itu sudah tidur pulas, damai di tempat tidur yang mewah, tanpa tahu betapa kacau dunia orang tuanya di luar sana. Aira duduk di tepi tempat tidur, punggungnya menghadap pintu, bahunya masih sedikit bergetar karena isakan dari insiden di mobil sebelumnya.

​Dion berdiri di ambang pintu, sosoknya membingkai dalam kegelapan. Ia terlihat seperti bayangan, tetapi aura kemarahannya yang dingin memenuhi ruangan. Di tangan kanannya, balutan kain sutra putih kini hampir seluruhnya ternoda merah. Itu adalah darahnya, dan itu adalah simbol dari luka di hatinya.

​Aira merasakan kehadirannya. Kehadiran Dion selalu terasa seperti tekanan udara yang tiba-tiba berubah, dingin dan berat. Ia tidak berani menoleh.

​“Dion,” bisik Aira, suaranya parau.

​“Bangun,” perintah Dion, suaranya datar, tanpa emosi, namun mematikan. “Ikut aku.”

​Aira bergidik. Nada bicara Dion tidak memberi ruang untuk penolakan. Ia berdiri perlahan, memastikan tidak ada suara yang membangunkan Arvan.

​“Jangan di sini. Arvan…”

​“Aku bilang, ikut aku,” potong Dion, langkahnya maju. Ia meraih pergelangan tangan Aira—bukan lagi tarikan yang penuh gairah seperti di mobil, tetapi cengkeraman baja yang dingin dan menyakitkan.

​Dion menyeret Aira menembus lorong sunyi. Aira tahu ke mana tujuan mereka: ruang kerja. Tempat di mana semua rahasia bisnis dipecahkan, dan kini, tempat di mana rahasia hidup mereka akan dihancurkan.

​Ruang kerja Dion terlihat kacau. Pecahan kaca dari gelas kristal berserakan di karpet di dekat meja, dan udara terasa berat, berbau whiskey dan amarah. Dion melempar Aira ke sofa kulit di tengah ruangan.

​“Duduk,” desis Dion, berdiri di hadapannya, menjulang tinggi dan mengerikan.

​Aira duduk, gemetar. Ia melihat pecahan kaca di lantai, melihat darah segar di balutan tangan Dion, dan ia tahu, Dion telah melihat hasil DNA. Pertarungan kini bukan lagi tentang utang atau kontrak. Ini adalah tentang nyawa.

​Dion mencondongkan tubuhnya ke depan, tangannya menekan meja, tepat di samping laptop yang masih terbuka menampilkan dokumen PDF laknat itu.

​“Aku tidak ingin mendengar kebohongan lain, Aira,” kata Dion, suaranya rendah, nyaris berbisik, yang ironisnya jauh lebih menakutkan daripada teriakan. “Aku ingin kebenaran yang mutlak. Jawab aku. Hanya dengan jujur, atau kau akan menyesal.”

​Aira memejamkan mata, mengumpulkan sisa keberaniannya. “Tanyakan saja, Dion.”

​“Sejak kapan kau tahu?” tanya Dion. Pertanyaan pertama, seperti tembakan pistol di ruangan yang sunyi. “Sejak kapan kau tahu bahwa Arvan adalah darahku? Benih Arganata?”

​Aira terisak. “Saat… saat dia berusia satu tahun. Saya melihat foto Anda di majalah bisnis di kantor, saat saya masih menjadi petugas kebersihan. Wajah itu… kemiripan itu… saya langsung tahu. Saya tahu Anda adalah pria di kafe malam itu.”

​Dion mundur selangkah, terhuyung-huyung. Ia tidak menyangka pengakuan itu akan datang begitu cepat dan begitu lugas.

​“Satu tahun,” ulang Dion, suaranya tercekat. “Satu tahun penuh. Dan kau tetap diam? Kau membiarkan putraku hidup di desa, tanpa identitas Ayah, sementara kau bekerja keras melunasi utang keluarga?”

​“Apa yang harus saya katakan?” balas Aira, air matanya membanjiri wajahnya. “Haruskah saya masuk ke kantor megah Anda, menemui asisten Anda yang angkuh, dan berkata: ‘Tuan Arganata, saya adalah wanita satu malam Anda, dan ini anak Anda?’ Anda akan membuang saya, Dion! Anda akan mengambilnya dariku! Anda akan menghukum saya karena menghancurkan citra Anda!”

​“Aku akan menghukummu lebih parah sekarang!” teriak Dion, akhirnya meledak. Ia membanting tangannya ke meja, membuat laptop di atasnya bergetar. “Kau pikir aku tidak akan tahu? Kau pikir kau bisa menyembunyikan pewarisku? Kau tahu betapa pentingnya garis keturunan bagiku!”

​“Bagi Anda, penting karena warisan! Bagi saya, penting karena cinta!” balas Aira, suaranya sedikit meninggi, menantang Dion.

​Dion terdiam. “Cinta? Kebohongan apa lagi ini, Aira?”

​Aira bangkit dari sofa, matanya yang basah kini menatap Dion dengan pandangan yang penuh kepedihan.

​“Ya, cinta! Saya mencintai pria yang saya temui malam itu! Pria yang mabuk, yang tulus, yang bicara tentang bintang dan impian, bukan tentang uang!” Aira melangkah mendekat. “Saya tidak peduli siapa Anda, Dion Arganata. Saya mencintai dia. Dan ketika saya hamil, saya mencoba mencari Anda, tetapi Anda menghilang. Saya memutuskan untuk membesarkan Arvan dengan cerita indah, dengan janji bahwa Ayahnya adalah pria baik yang mengawasi kami dari bintang paling terang!”

​Setiap kata Aira menusuk Dion. Dia tidak hanya menyembunyikan seorang anak; dia menyembunyikan konsekuensi dari momen paling rentan dan manusiawi dalam hidup Dion.

​“Dan ketika kau datang dengan kontrak utang itu,” lanjut Aira, suaranya bergetar. “Saya melihat peluang. Saya pikir, ini adalah cara Tuhan untuk mempertemukan kami. Tetapi ketika Anda mulai menghukum saya, ketika Anda memperlakukan saya seperti barang, saya sadar. Pria yang saya cintai sudah mati. Yang tersisa hanyalah tiran yang membayar utang!”

​Dion merasakan lututnya lemas. Ia tidak hanya terpukul oleh kebohongan DNA, tetapi oleh kebenaran di baliknya: Aira menyembunyikan putranya karena mencintai pria yang hilang di dalam diri Dion.

​“Kau… kau bahkan tidak mencoba mengatakan yang sebenarnya saat kau tahu siapa aku?” tanya Dion, suaranya kini terdengar seperti bisikan yang hancur.

​“Bagaimana saya bisa mencoba?” tanya Aira balik, air mata mengalir deras. “Anda mengklaim saya. Anda menghukum saya. Anda menuntut kepatuhan! Saya adalah seorang Ibu yang ketakutan. Saya tahu, jika saya bilang kebenaran, Anda akan mengambil Arvan dan membuang saya! Jadi saya memilih untuk diam, dan mencoba mencari cara untuk melunasi utang itu, sehingga saya bisa membawa Arvan pergi dari Anda dengan damai!”

​Dion menundukkan kepalanya, tangannya yang berdarah terkepal erat. Dia telah mengira Aira adalah wanita cerdas yang memanfaatkan situasi. Ternyata, Aira adalah seorang Ibu yang putus asa, yang mencintai dan melindungi putranya dari monster yang ia cintai.

​“Berapa banyak kebohongan yang kau buat?” tanya Dion, pertanyaan terakhir yang tak lagi terdengar seperti tuntutan, tetapi sebuah ratapan.

​“Semua,” jawab Aira, tanpa daya. “Semua tentang kami. Tentang pernikahan ini. Tentang kontrak ini. Satu-satunya kebenaran yang saya miliki adalah Arvan. Dan dia adalah putra Anda, Dion. Putra darah Anda.”

​Dion mengangkat kepalanya. Matanya yang dingin kini dipenuhi oleh kesadaran yang sangat menyakitkan. Dia melihat Aira, seorang wanita yang telah memikul beban utang, kehamilan, persalinan, dan kebohongan selama empat tahun, sendirian, hanya untuk melindungi benihnya.

​Dion merasakan kekalahan total. Dia telah meremehkan Aira. Dia telah menyiksa Aira. Dia telah menghukum seorang wanita yang mencintai versi dirinya yang paling rentan.

​Dion berjalan mundur, menjauh dari Aira. Dia tidak bisa lagi berada dekat dengannya. Pengkhianatan itu terlalu besar, tetapi rasa sakit yang ia lihat di mata Aira terlalu dalam.

​Dion menyentuh pecahan kaca di meja, seolah mencari rasa sakit untuk menenggelamkan rasa bersalahnya.

​“Kau menyembunyikan terlalu banyak, Aira,” bisik Dion, suaranya hancur. “Kau menyembunyikan hal terpenting dalam hidupku. Kau menyembunyikan darahku sendiri.”

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!