Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mata yang Terpejam dan Hitungan Kerugian
Pukul 14.00, sore hari itu terasa dingin dan hening di dalam kamar Anita. Tirai jendela telah ditarik, tetapi cahaya matahari yang menembus tipis tidak mampu menghangatkan suasana. Ruangan itu kini menyerupai unit gawat darurat mini. Monitor vital berkedip pelan, jarum infus meneteskan cairan antibiotik yang pekat, dan aroma antiseptik tipis menggantikan bau parfum mahal di rumah itu.
Anita masih terbaring tanpa bergerak. Sejak ambruk di hadapan Aidan pagi tadi, ia belum juga membuka mata.
Dr. Sherly, meski semalam suntuk menangani krisisnya di klinik, kini terlihat lelah namun profesional. Ia duduk di kursi samping tempat tidur, mata cokelatnya terpaku pada layar monitor. Ia adalah perawat utama dan satu-satunya yang tahu seberapa dekat Anita dengan jurang kematian.
Di sudut kamar, Aidan berdiri seperti patung. Ia tidak lagi marah seperti pagi tadi.
Kemarahan telah digantikan oleh kegelisahan yang dingin. Ia mengenakan kemeja yang sedikit kusut, belum sempat mandi atau mengganti pakaiannya—bukan karena kekhawatiran pribadi, tetapi karena ia tidak bisa meninggalkan aset yang sedang terancam ini.
Aidan tidak melihat Anita sebagai istri yang sakit. Ia melihat Anita sebagai brankas yang terkunci. Dan jika brankas itu rusak permanen, semua yang ia rencanakan—utang 60 juta, toko, dan pelepasan tanggung jawab—akan sia-sia.
Aidan memperhatikan Sherly. Sahabatnya itu terlihat sangat khawatir. Dahi Sherly berkerut dalam, ia terus-menerus menyesuaikan infus dan memeriksa kantong urine—tanda-tanda yang Aidan tahu adalah indikator dari kondisi yang sangat serius. Kekhawatiran Sherly terasa mencurigakan di mata Aidan.
"Kenapa Sherly bereaksi berlebihan? Wanita itu selalu mendramatisir. Dia hanya perlu bangun dan meminum obatnya. Jika dia mati, Sherly tahu semua akan jadi kacau. Sherly harus menyelamatkannya." batin Aidan
"Sher," panggil Aidan, suaranya pelan, mencoba menyembunyikan nada mendesak.
"Bagaimana keadaannya? Kenapa dia belum sadar juga?"
Sherly tidak menoleh. Ia menekan tombol di monitor, membaca angka tekanan darah Anita yang masih di batas bawah normal. "Dia belum keluar dari zona bahaya, Aidan. Syok sepsisnya sudah mereda berkat antibiotik cepat, tapi infeksi di dalam tubuhnya masih harus dilawan keras."
"Tapi dia akan sadar, kan? Sebentar lagi?" desak Aidan.
Sherly akhirnya menoleh. Ekspresinya tenang, tetapi matanya dingin. "Aidan, dia sudah memaksa dirinya hingga tubuhnya runtuh. Aku sudah memberinya dosis antibiotik yang sangat tinggi, tapi kita harus bersabar. Jika organ-organnya sudah bekerja normal lagi, ia akan sadar."
Dalam hati, Sherly berteriak. Ia tahu Anita belum sadar karena badannya telah terkuras habis oleh kuretase darurat yang dilakukan kurang dari dua minggu lalu. Sepsis ini adalah komplikasi yang tidak terhindarkan. Sherly yakin, Imelda pasti sudah memperingatkan Anita untuk total istirahat. Melihat luka di tangan Anita, Sherly tahu Anita telah melarikan diri dari perawatan, semua demi uang.
"Aidan benar-benar tidak tahu apa-apa, atau pura-pura tidak tahu? Dia terus-menerus mengeluh tentang 'istri drama' padahal wanita ini sedang menghadapi kematian karena prosedur medis ginekologis yang berat. Apa yang terjadi di antara mereka hingga Anita harus merahasiakan ini dari suaminya sendiri?." batin Sherly
Sherly memilih untuk menjaga rahasia itu. Dia tidak akan menyebutkan kata "kuretase" atau "operasi" di depan Aidan. Dia ingin melihat seberapa jauh kebohongan dan kekejaman Aidan ini berlangsung.
Aidan berjalan mendekat ke sisi tempat tidur, tatapannya menyapu wajah Anita yang terpejam.
"Aku sudah bilang, dia keras kepala," kata Aidan, berusaha meyakinkan Sherly dan dirinya sendiri. "Dia yang memilih untuk bekerja. Dia tahu dia punya utang padaku. Aku sudah memberinya istirahat yang cukup. Dia seharusnya sudah pulih." tentunya ucapan iden ini dibubuhi dengan sebuah kebohongan
Sherly mendengus pelan, tetapi tidak berkomentar. Kata-kata Aidan membuat hatinya sakit. Dia seharusnya sudah pulih. Seolah penyembuhan adalah tombol yang bisa dihidupkan-matikan.
"Sher, jujur saja," lanjut Aidan, kini merendahkan suaranya seolah berbisik, kembali ke modus sahabat yang mencari solusi. "Kapan dia akan bisa kembali ke toko? Toko itu harus buka. Keuangannya harus dia awasi. Utang itu harus lunas. Aku tidak mau mengambil alih sekarang."
Pertanyaan Aidan, yang seluruhnya didasarkan pada kerugian finansial, membuat Sherly merasa muak.
"Fokusmu harusnya bukan pada toko, Aidan, tapi pada apakah dia bisa bernapas tanpa bantuan besok pagi," jawab Sherly dingin. "Dia sakit parah. Mungkin perlu satu atau dua minggu untuk pulih total, itu pun jika tidak ada komplikasi organ."
Dua minggu! Angka itu menghantam Aidan seperti palu. Dua minggu tanpa pemasukan dari toko, dua minggu harus mengeluarkan biaya untuk dokter dan obat-obatan. Total kerugian yang tak terbayangkan.
Aidan menoleh, menatap Sherly dengan tatapan menuntut yang biasa ia gunakan pada bawahannya. "Kamu harus mempercepat prosesnya, Sher. Aku sudah membayar mahal. Aku butuh dia pulih dengan cepat."
Sherly bangkit dari kursinya, berdiri tegak di hadapan Aidan. Ia tidak gentar. Sebagai seorang dokter, ia kini memegang kekuasaan.
"Aku bisa mempercepat proses, Aidan," kata Sherly, suaranya tegas. "Tapi itu namanya keajaiban, bukan pengobatan. Tubuhnya harus pulih sendiri. Dan agar pulih, ia tidak boleh mengalami stres apa pun. Tidak ada tekanan tentang utang, tidak ada tekanan untuk bangun, tidak ada tekanan untuk kembali bekerja."
Sherly kemudian mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya mengunci mata Aidan. "Aku akan menyelamatkan nyawanya. Tapi jika dia sadar, dan kamu kembali mengancamnya dengan utang itu, aku tidak menjamin dia akan pulih. Aku adalah dokternya, dan aku yang bertanggung jawab penuh atas nyawanya sekarang. Kamu dengar? Jauhkan semua tekanan darinya."
Ancaman balik Sherly—ancaman bahwa ia akan menyerahkan nyawa Anita pada takdir jika Aidan tidak patuh—membuat Aidan terdiam. Ia tahu betul reputasi Sherly dan profesionalismenya. Aidan mundur selangkah. Untuk pertama kalinya, ia merasa kekuasaannya sebagai pemberi utang diambil alih oleh seorang sahabat.
Aidan hanya bisa mendengus kesal. "Baik. Tapi pastikan dia hidup, Sher. Pastikan dia hidup dan bisa bekerja."
Sherly mengangguk kaku, tanpa senyum. Ia kembali duduk, memandang wajah Anita yang pucat. Ia melihat bukan hanya seorang pasien yang sakit, tetapi seorang korban yang berjuang. Rasa iba Sherly kini bercampur dengan tekad: ia tidak hanya akan menyelamatkan tubuh Anita, tetapi ia juga akan melindungi rahasia dan martabat terakhir wanita itu dari kekejaman Aidan.