NovelToon NovelToon
LINTASAN KEDUA

LINTASAN KEDUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / SPYxFAMILY / Identitas Tersembunyi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:19.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.

Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.

Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?

Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.

Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6.Bayangan dari Kebenaran

Terminal bus antarprovinsi lengang pagi itu. Kabut belum sepenuhnya mengangkat diri dari tanah, dan Aylin melangkah cepat menyusuri jalur keberangkatan, topi hoodie-nya menutupi sebagian wajah. Di tangannya, tas jinjing hitam kecil berisi liontin-liontin duplikat—semua identik dengan milik aslinya. Glow in the dark. Bintang dan bola kaca di tengah. Tak ada yang bisa membedakan.

Bus tujuan Medan hampir berangkat. Penumpang mulai menaiki tangga satu per satu.

"Satu ke pulau Sumatra," batin Aylin.

Ia ikut naik, menyamar sebagai penumpang yang salah jalur. Suara mesin diesel bergetar pelan. Matanya menyapu deretan kursi. Baris keempat dari belakang kosong.

Dengan tenang, ia duduk sebentar, pura-pura mencari tempat duduk sesuai tiket. Jemarinya menyelipkan liontin pertama di balik celah kursi, tepat di bawah tempat menggantung jaket.

"Cepat atau lambat, seseorang akan menemukannya. Lalu mereka akan bertanya. Dan semuanya akan dimulai di tempat yang salah."

Beberapa penumpang memerhatikan Aylin yang tampak bingung. Ia segera berdiri, berpura-pura menelepon.

“Hah? Salah terminal? Astaga. Iya, iya, aku turun sekarang...”

Wajahnya dibuat jengkel. Langkahnya tergesa, keluar dari bus.

Tak lama kemudian, Aylin sudah berada di bandara. Ia menunggu di area check-in. Tak ingin masuk ke boarding area, tapi mengamati. Seolah hanya menunggu seseorang. Tangannya memegang tas kecil itu lagi. Kini tersisa tujuh liontin.

Seorang wanita paruh baya menurunkan koper hitam besar untuk tujuan Singapura. Petugas sibuk menimbang barang.

Aylin bergerak cepat—berpura-pura tersandung. Tubuhnya hampir menabrak koper wanita itu.

“Aduh! Maaf, Bu! Saya nggak lihat koper Ibu tadi.”

Wanita itu tersenyum canggung. Petugas mengalihkan pandangan.

Dalam sekejap, liontin kedua diselipkan ke saku kecil di samping koper. Ritsletingnya nyaris tak bersuara saat ditutup kembali.

"Ke luar negeri. Ke tempat yang tak mungkin dikaitkan denganku."

Langkahnya berlanjut. Sisa liontin disebar dengan cara serupa: satu di tas punggung pelajar yang hendak ke Australia, satu lagi ke kantong jaket turis asing yang sedang bertanya arah ke Bali lalu ke berapa turis asing yang hendak kembali ke negaranya.

Saat keluar dari bandara, Aylin duduk di kursi taman kecil, menatap tangannya yang kosong.

“Sudah pergi... semuanya.”

Ia menatap langit.

“Semoga... mereka tidak pernah tahu liontin yang mereka pegang bukan apa-apa. Atau mungkin... justru karena mereka menganggap itu ‘sesuatu’, maka dunia akan salah menebak semuanya.”

Angin laut mulai terasa. Aylin menarik napas panjang. Di balik dada jaketnya, liontin asli masih tergantung di rantai tipis—masih memancarkan cahaya samar yang tidak pernah benar-benar padam.

***

Sore hari di ruang latihan Akay.

Dari balik jendela kaca besar, langit terbakar jingga. Cahaya senja menembus masuk, menciptakan pantulan hangat di lantai kayu yang licin.

Aylin berdiri tegak, tubuhnya dibalut kaus hitam ketat dan celana training yang mengikuti lekuk kakinya. Rambutnya diikat tinggi, menyisakan beberapa helai yang jatuh membingkai wajahnya yang serius.

Di depannya, Akay berdiri dengan tangan terlipat di dada, ekspresinya tak terbaca. Pandangannya tajam, memerhatikan setiap gerakan pemanasan Aylin yang luwes dan terkendali.

"Serius kamu mau belajar bela diri sekarang?" Akay mengangkat alis, suaranya terdengar santai tapi penuh nada menyelidik. “Baru kepikiran setelah kejadian di lintasan itu?”

Aylin menghentikan gerakannya, menghadap Akay dengan tatapan lurus. Matanya menyala, penuh tekad. "Waktu itu aku cuma bisa lari. Aku nggak mau lagi jadi orang yang harus diselamatkan."

Akay tersenyum samar, nyaris tidak terlihat, lalu melemparkan pelindung tangan padanya. “Oke, kita mulai. Tapi ingat, aku nggak bakal nahan.”

“Bagus,” Aylin menyambar pelindung tangan itu.

Senyum tipisnya terbit, bukan senyum manis, tapi lebih seperti tantangan.

“Karena aku juga nggak akan minta dikasihani.”

Latihan dimulai.

Aylin mengikuti gerakan Akay: pukulan dasar, tangkisan, elakan. Ritme mereka cepat dan presisi. Tubuh Aylin lentur, setiap pukulan dan langkahnya lincah, tapi bertenaga. Napasnya mulai berat, tapi sorot matanya tetap fokus. Akay sempat terdiam satu-dua detik, terkejut pada seberapa cepat Aylin bisa menyesuaikan diri.

Suara sepatu menghantam lantai kayu berulang, bersahut dengan suara napas dan desah keringat. Aylin melompat mundur, lalu kembali melesat dengan pukulan lurus ke arah dada Akay—yang langsung ditangkis dan dibelokkan ke samping.

“Latihannya keras banget,” komentar Akay, masih menahan pergelangan tangan Aylin.

“Suamiku ahli bela diri, masa aku nggak bisa apa-apa?” Aylin mendorong balik, melepaskan diri, lalu meluncur ke samping dengan gerakan memutar.

Akay menyeringai. “Oke, ayo lihat seberapa jauh kamu bisa ikut irama ini.”

Akay menyerang dengan cepat—kombinasi pukulan dan tendangan yang membuat Aylin terpaksa bergerak cepat. Ia mengelak dengan satu gulungan ke bawah, lalu berdiri kembali dalam satu gerakan mulus. Ia balas menyerang dengan dua pukulan lurus ke wajah Akay, lalu tendangan ke arah rusuk.

Akay menangkis, mundur satu langkah, lalu menyapu kaki Aylin. Tapi Aylin melompat tepat waktu, tubuhnya berputar di udara dan mendarat ringan, kuda-kuda kembali terpasang.

“Refleksmu tajam banget.” Akay menyeka pelipis yang mulai berkeringat. Ia menatap Aylin dengan penasaran. “Kamu bilang baru mau belajar bela diri?”

Aylin tidak langsung menjawab. Ia hanya menyunggingkan senyum tipis, penuh rahasia. “Aku nggak bilang aku pemula. Cuma butuh pemanasan ulang.”

Tepat saat itu, ia meluncur ke depan, pukulannya hampir menyentuh dagu Akay yang nyaris terlambat menghindar.

"Ups." Aylin berpura-pura tersenyum polos. “Refleks.”

Mereka kembali beradu gerak. Tapi kini, ada sesuatu yang berubah. Intensitas di antara mereka menegang—bukan hanya karena latihan, tapi karena ketegangan emosi yang perlahan menyusup di sela-sela pukulan dan tangkisan. Mereka bergerak seperti dua orang yang sedang menari, tapi masing-masing menyimpan sesuatu di balik gerakan mereka.

“Kamu nyembunyiin banyak hal, ya?” tanya Akay, masih sambil bergerak mengitari Aylin.

Aylin memutar bola matanya. "Kalau aku cerita semua hal di hari pertama kita nikah, kamu pasti kabur.”

Akay tertawa pendek, tapi tawanya hanya mempertegas ketegangan yang ada. “Gerakan dasarmu sangat kokoh. Ini bukan gerakan hasil nonton YouTube semalam atau ikut kelas bela diri sebulan.”

Aylin mengambil posisi bertahan, nadanya pelan tapi penuh bobot. "Aku dilatih sejak kecil. Nenek yang nyuruh. Ada satu pria yang ditugaskan ngajarin aku. Tapi... dulu aku pikir hidup terlalu indah buat diisi kekerasan. Jadi aku lebih milih balapan."

“Dan ikut tawuran pelajar,” seloroh Akay sambil menyunggingkan senyum menyebalkan. “Kamu nggak tahu gimana paniknya aku waktu nyari istriku—yang kabur dua hari setelah nikah. Istri yang bahkan nggak ngasih aku malam pertama.”

Dia menggeleng pelan, masih dengan nada setengah tak percaya.

“Tiga bulan aku nyariin kamu. Dan pas nemu... kamu lagi pakai seragam SMA, ikut tawuran di pinggir jalan. Mau pingsan aku.”

Aylin mendengus geli, lalu menyerang—pukulan cepat ke arah dada Akay, yang ditangkis, tapi diikuti tendangan yang memaksa Akay mundur.

Akay mengambil celah. Dalam satu gerakan cepat, ia berhasil menangkap tangan Aylin, memutar tubuh gadis itu dan menguncinya dari belakang. Tubuh mereka nyaris menempel. Napas mereka bertemu. Hening.

“Menyerah?” bisik Akay, suaranya serak di dekat telinganya.

Aylin bisa merasakan detak jantung Akay di punggungnya. Detaknya cepat, mungkin karena latihan. Atau mungkin... karena yang lain.

Aylin menarik napas cepat. “Belum…”

Dengan gerakan refleks, ia menyikut perut Akay, keras. Akay mengaduh tertahan, lengannya terlepas. Aylin berbalik, menghentakkan kaki dan berdiri tegak.

“Sekarang kamu yang nyerah,” ucapnya pelan, napasnya terengah, dada naik-turun, tapi tatapannya tajam.

Akay tergelak, tubuhnya membungkuk sedikit sambil memegangi perut. “Gila. Kamu makin berbahaya.”

Aylin hanya tersenyum, tapi senyumnya penuh bayangan. Ia tahu, latihan ini lebih dari sekadar bela diri. Ini tentang bersiap... untuk hal yang belum diucapkan.

Di dalam hatinya, ia berbisik:

"Cepat atau lambat, liontin itu akan memancing masalah. Dan saat itu tiba, aku harus siap. Bukan untuk lari. Tapi untuk melawan. Aku harus bisa melindungi diriku sendiri... dan kamu, Kay."

Aylin melepaskan napas panjang, lalu duduk di lantai kayu. Tangannya menyangga tubuh ke belakang. Sinar senja menyapu kulitnya yang berkeringat, membentuk siluet indah yang nyaris menipu—di balik kecantikannya, tersimpan bahaya yang belum sepenuhnya bangkit.

Akay berjalan pelan, duduk di sampingnya, memerhatikan wajah Aylin dari samping. Napasnya masih berat, tapi senyumnya tenang. “Kamu tahu... kalau kamu nyembunyiin hal besar dari aku, aku nggak akan marah.”

🌸❤️🌸

.

To be continued

1
ilhmid
gila, makin epik gini
phity
mamtap thor aku suka
phity
astaga aku baca sambil teriak2....hhhh
sum mia
akhirnya bisa ngejar sampai disini lagi .
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
durrotul aimmsh
luar biasa....kyak lg nonton film action
asih
😲😲😲😲 kakak sampai hafal nama² jenis senjata
sum mia
emang seru kak.... sangat menegangkan .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
sum mia
meski banyak jalan terjal dan banyak ujian semoga mereka tetap baik-baik saja .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
naifa Al Adlin
keren lah kak nana/Good/
Hanima
lanjut kk
ilhmid
mendebarkan💔
sum mia
masih penasaran....

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
sum mia
makin menegangkan

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
asih
hahhhh Masih slamet AA couple
Puji Hastuti
Para Legenda mulai menunjukan keahlianya, luarrrr biasa, serasa ikut bertempur
Puji Hastuti
Cerita mu luar biasa thor,
sum mia
sungguh luar biasa imajinasi kak othor ini . misal dijadikan film pasti seru banget .

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
abimasta
huufff pasukan niel dan rayyan keren,lebih kereen authornya
syisya
puas banget setiap bab panjang jadi serasa baca 1bab tapi gak habis" 🙏🏼
Tika Nurliyasari
selalu di tunggu thor, banyakin up nya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!