Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 02 Manusia Penuh Tipu
Jalanan sore yang sangat sibuk. Kendaraan lalu lalang entah itu untuk tetap berjalan lurus maupun berbelok.
Dzaka baru saja kembali dari tempat lesnya, ikut bergerak di antara keramaian. Kali ini tujuan Dzaka adalah supermarket persimpangan.
Dzaka kesulitan saat harus berbelok di depan supermarket. Tak ada yang mau mengalah dengan mengurangi kecepatan kendaraannya.
Setelah memarkirkan motornya, Dzaka melangkah masuk, mengambil keranjang belanja dan bergerak menuju rak makanan ringan. Dia harus selalu menyiapkan persediaan agar dia bisa lebih konsentrasi saat belajar di malam hari.
Dzaka memasukkan belanjaannya ke dalam keranjang dan bergerak menuju lemari pendingin. Dia hendak menghilangkan dahaganya, sekaligus membeli beberapa minuman untuk persediaan.
Saat dia melewati rak biskuit dan kue kering, Dzaka melihat ada yang aneh. Rak itu tidak berdiri tegak, melainkan sedikit miring. Namun, Dzaka memilih tak ambil pusing dan kembali melanjutkan langkahnya.
Dzaka mengambil susu kedelai dan meneguknya. Lalu Dzaka mengambil beberapa teh botol dan susu kedelai untuk stok di rumah.
Namun, saat Dzaka berbalik, rak biskuit dan kue kering itu terlihat semakin miring. Terlebih di sana ada seorang gadis yang tak menyadarinya dan terus berusaha menggapai sesuatu di rak itu.
Dzaka meninggalkan keranjang belanjaannya dan berlari menghampiri gadis itu. Beruntungnya Dzaka bisa sampai tepat waktu dan menjauhkan gadis itu dari rak.
Nahasnya, Dzaka yang menjadi korban. Ia tertimpa kue kering dan kaleng-kaleng biskuit yang terletak di rak teratas.
Bruk!
“Ow!” Dzaka mengusap pelipisnya yang tergores oleh kemasan biskuit yang cukup tajam.
Orang-orang mulai berdatangan demi melihat kondisi Dzaka yang kacau menahan rak tersebut agar tak jatuh. Petugas supermarket segera membantu Dzaka menahan rak, sehingga Dzaka bisa melepaskannya.
“Kamu gak pa-pa, kan?” Gadis itu gemetar mengingat apa yang barusan dia lihat.
Dzaka menggeleng meskipun tubuhnya terasa sakit karena harus menahan rak yang cukup berat. Belum lagi kaleng-kaleng biskuit yang menghantam kepala dan punggungnya. Dzaka memungut crackers keju yang tergeletak di hadapannya dan menyerahkannya pada gadis itu.
“Biar aku yang bayar. Ta-tadi, kan, kamu udah tolongin aku.” Gadis itu mengeluarkan dompetnya seraya mengambil lembaran uang berwarna merah.
Sebelum gadis itu menyerahkan uang pada kasir, Dzaka menahannya. Hal itu membuat mereka tak sengaja beradu tatap.
Dzaka segera memalingkan pandangannya dan membayar belanjaannya sendiri.
“Lain kali hati-hati!” peringat Dzaka sebelum keluar dari sana.
Gadis itu menyuruh kasir lebih cepat menghitung belanjaannya karena ingin mengejar Dzaka.
Namun, deru motor Dzaka sudah terdengar dan tak lama terlihat bergerak mengikuti arus jalanan yang masih saja padat.
“Padahal aku belum sempat bilang makasih,” lirih gadis itu seraya berjalan lesu ke luar supermarket.
Gadis itu memerhatikan lalu lintas yang masih padat. Padahal waktu maghrib sudah lewat, tapi masih banyak orang yang berada di luar rumah.
Dia bersandar di dinding kaca supermarket, mengeluarkan ponselnya dan mulai berselancar di sosial media untuk mengusir kebosanan. Dia hanya belum ingin kembali ke rumah.
Tangannya meraba-raba isi belanjaan demi mengambil crackers keju, tapi nihil. Gadis itu bahkan mencoba membolak-balik belanjaan di kresek itu, tapi tetap saja tidak ada.
"Kok gak ada sih?" gerutunya dengan kebingungan. Terlebih crackers keju tadi adalah yang terakhir. Ia hanya mampu menghela napas kecewa setelah lelah mencari.
“Ziya!”
Gadis itu segera mengangkat pandangannya demi melihat siapa yang memanggilnya. Dia tersenyum masam saat mendapati seorang cowok melambaikan tangan di seberang jalan. Dia memilih segera melangkah menjauhi supermarket.
Jalanan yang padat membuat geraknya terhambat. Saat dia pikir sudah aman, dia mulai melangkah tergesa. Namun, deru motor terdengar begitu jelas di telinganya, hingga dia terdiam membisu, padahal motor itu semakin dekat.
Bruk!
...----------------...
Plak!
“Dari mana saja kamu, hah?!” Sosok itu menarik rambut Dzaka dengan kuat membuat sang empunya meringis kesakitan. Belanjaan yang tadi berada di genggamannya sudah berserakan di lantai.
“Kamu pikir saya punya banyak waktu untuk menunggu kamu? Iya?!” Rambut Dzaka dilepas secara kasar membuatnya sedikit oleng.
Belum selesai dia berdiri tegak, kerah seragamnya ditarik kasar, membuat Dzaka kesulitan bernapas. Dzaka tak membela diri sama sekali. Dia biarkan dirinya diperlakukan seperti apa pun.
“Sudah, Tuan! Saya mohon! Kasian Den Dzaka baru pulang,” ujar Bi Edah mencoba menghentikan aksi kekerasan itu.
“Dzaka gak apa-apa, Bi. Bi Edah jangan ikut campur, ya!” pinta Dzaka dengan suara lirih dan senyuman sendu yang berhasil membuat Bi Edah menitikkan air mata.
Sosok itu kemudian mendekatkan wajahnya ke Dzaka, membuat tubuh Dzaka mendadak kaku. “Kamu sudah sadar kesalahan yang sudah kamu perbuat, kan?”
Dzaka mengangguk patah-patah sebagai balasan membuat sosok itu tersenyum miring, kemudian melepaskan cengkeramannya di kerah seragam Dzaka.
Netra Dzaka menangkap kemasan crackers keju di antara barang belanjaannya. Ia ingat bahwa itu milik gadis tadi.
Tanpa berucap sepatah kata pun, Dzaka mengambil crackers keju itu dan berlari menuju motornya kemudian pergi. Dzaka tak mengindahkan sosok yang sedang begitu murka karena tingkahnya.
Dzaka baru saja memarkirkan motornya di depan swalayan. Namun, di depan sana seorang gadis berdiri termangu melihat motor yang semakin dekat dengannya.
Tanpa pikir panjang, Dzaka berlari mendekat dan menarik gadis itu kembali ke tepi.
Bruk!
Meski tubuhnya terasa remuk, Dzaka berhasil menyelamatkan gadis itu tepat waktu. Setelah memastikan tidak ada luka pada gadis itu, Dzaka menghela napas lega.
“Si-siku kamu ....” Gadis itu gemetar menunjuk darah di siku Dzaka. Dia terlihat kebingungan saat akan menyentuh Dzaka.
Dzaka menyembunyikan lengannya di balik tubuh. Meski terasa perih, Dzaka mencoba menahan agar tak meringis. Sedangkan seseorang di seberang yang menyaksikan itu menutup kaca helmnya saat mengetahui ada Dzaka di sana.
“Ayo! Gue antar pulang!” titah Dzaka yang mendapat gelengan dari gadis itu.
“A-aku harus obati ka-kamu dulu. Itu pasti perih banget.” Gadis itu kembali berdiri dan berniat pergi ke apotek yang tak terlalu jauh dari sana. Namun, lengan bajunya ditarik Dzaka. Dzaka menggeleng pelan.
“Dia pulang sama gue!” sela seseorang yang muncul dengan kaca helm yang masih tertutup.
Dzaka memicing curiga melihat gelagat sosok itu. Sedangkan gadis itu hanya menatap lesu.
“Kalau lo bukan siapa-siapanya dia, gue gak akan biarin dia pulang sama lo!” balas Dzaka tegas.
“Gue abangnya! Jadi, gue berhak, kan, buat bawa adek gue balik?”
Dzaka masih tak percaya. Namun, yang lebih aneh lagi, Dzaka merasa familiar dengan suara itu.
“Buka dulu kaca helm lo!” suruh Dzaka yang membuat sosok itu gelisah.
“Hmm, lo bisa tanya dia langsung,” putus sosok itu.
Dzaka dibuat kebingungan dan memilih diam.
Setelah terdiam cukup lama, akhirnya gadis itu mengangguk pelan pada Dzaka, mengiyakan ucapan sosok berhelm itu.
Dzaka akhirnya mempersilakan mereka pulang. Saat mereka sudah di seberang, Dzaka teringat bahwa ia harus mengembalikan crackers keju milik gadis itu. Dzaka mengambil motornya dan memutar arah.
“TUNGGU!” teriak Dzaka sekeras yang dia bisa dan berhasil membuat motor di depannya berhenti.
“Gue cuma mau balikin crackers keju ini. Tadi kebawa di belanjaan gue.”
Setelahnya, motor itu bergerak meninggalkan Dzaka. Saat motor itu sudah berbelok Dzaka menyadari sesuatu. Dia merasa sangat familiar dengan suara itu.
Lantas jika memang sesuai tebakannya, seharusnya sosok itu bertingkah seperti biasa, bukannya menyembunyikan dirinya.
“Ah, mungkin cuma perasaan gue,” ujarnya bermonolog meski penuh keraguan.