"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
"Satu minggu lagi. Aku yakin, kamu akan menemuiku."
Belum sempat Syifa membuka bibirnya untuk menjawab, suara lantang memanggil namanya dari kejauhan.
“Syifa!”
Bibi Nur berdiri di ambang pintu rumah dengan ekspresi marah. Wajahnya mengeras, matanya menatap tajam penuh kecurigaan.
Syifa tersentak, seketika tubuhnya menegang. Tanpa menoleh lagi ke arah Sadewa, dia buru-buru bangkit dan bergegas menuju rumah.
Sadewa hanya bisa menatap kepergiannya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Dia tahu, Syifa terjebak dalam situasi yang sulit.
Begitu Syifa melangkah masuk ke dalam rumah, suara tamparan keras menghantam udara.
Plak!
“Kenapa kamu berbicara dengan pria yang tidak dikenal?!” bentak Bibi Nur.
Syifa terhuyung ke belakang, tangannya otomatis menyentuh pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Napasnya tersengal, tapi dia menegakkan tubuhnya dengan sisa keberanian yang dia miliki.
“Saya tidak ingin menikah dengan Ustaz Rayyan, Bibi,” ucapnya dengan suara bergetar. “Saya tidak sanggup menjadi istri kedua—”
Bibi Nur membelalak marah. “Diam! Kamu pikir kamu punya pilihan?! Kamu hanyalah beban sejak orang tuamu meninggal! Sudah seharusnya kamu bersyukur ada yang mau menikahimu!”
Syifa menggeleng. “Tapi saya—”
Dorongan kasar menghantam bahunya. Syifa kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur ke lantai.
Brak!
Alat bantu pendengarannya ikut terlepas, berguling di lantai sebelum akhirnya menghantam kaki meja dengan bunyi keras. Syifa berusaha meraihnya dengan panik, tapi saat dia memasangnya kembali di telinganya, dunia di sekelilingnya terasa hampa. Sepi. Tidak ada suara.
Dia menahan napasnya sesaat, mencoba mengutak-atik alat itu. Tapi tidak ada gunanya. Tidak ada suara yang masuk.
Tangannya gemetar, air matanya jatuh tanpa bisa dia tahan. Bibirnya bergetar, ingin berteriak, dan menangis tapi tertahan karena tidak ada yang bisa mendengar jeritannya. Tidak ada yang peduli dengannya.
Bibi Nur hanya mendengus puas melihat Syifa yang terdiam pasrah di lantai.
“Jangan pernah membantah lagi, Syifa,” ucapnya dingin. “Sebentar lagi kamu akan menikah, dan semua ini akan selesai.”
Syifa tidak menjawab. Dia hanya duduk membeku di lantai, tenggelam dalam sunyi yang begitu menyakitkan.
"Masuk ke kamar kamu! Jangan kemana-mana sampai acara pernikahan kamu nanti!" Bibi Nur menarik Syifa hingga berdiri dan menyeretnya ke kamar.
Syifa hanya bisa pasrah. Dia duduk di sudut kamar dengan tubuh yang lemah. Pintu telah dikunci dari luar, meninggalkannya dalam kesunyian yang menyiksa. Matanya memandangi alat bantu dengar yang rusak di genggamannya. Tanpa itu, dunia terasa begitu hampa.
Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dalam keputusasaan, dia hanya memiliki satu tempat untuk bersandar. Ya, dia hanya bisa berserah diri pada yang kuasa.
...***...
Di sepertiga malam itu, Syifa bersujud dengan penuh air mata. Doanya lirih, hanya terucap dalam hati.
"Ya Allah, jika memang ini takdir hamba, berilah hamba kekuatan. Jika masih ada jalan lain, tunjukkanlah pada hamba. Hamba hanya ingin hidup dalam kebaikan, bukan dalam paksaan."
Usai sholat, dia duduk diam dalam dzikir, hingga lelah akhirnya membuatnya tertidur di atas sajadah.
Dalam tidurnya, dia bermimpi.
Syifa melihat sebuah cahaya yang begitu terang, menenangkan, dan hangat. Dari dalam cahaya itu, muncul sosok pria mengenakan pakaian putih bersih, bersinar begitu indah. Ya, dia adalah Sadewa.
Sadewa tersenyum lembut dan menatapnya dengan penuh ketulusan.
“Aku akan menjadi imammu, dan membahagiakanmu,” ucapnya dengan suara yang begitu jelas.
Syifa merasakan hatinya bergetar. Entah kenapa, melihat senyum itu membuatnya merasa tenang dan bahagia. Semua ketakutan dan kesedihan yang selama ini menyesaki dadanya seakan menghilang.
Dia ingin mengulurkan tangan dan ingin meraih sosok itu, tapi sebelum dia sempat bergerak, cahaya di sekelilingnya memudar. Sosok Sadewa pun menghilang dalam kedamaian itu.
Syifa tersentak bangun. Napasnya masih terengah dengan kening yang sedikit berkeringat. Dia memandangi sekeliling kamar yang gelap, kemudian menyentuh dadanya yang berdebar.
Mimpi itu terasa begitu nyata.
"Apa ini sebuah petunjuk?"
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔