Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18: Aura Kecantikan Sissel
Aroma kaldu rempah perlahan mengisi ruang sempit rumah batu itu. Asap tipis mengepul dari mangkuk-mangkuk tanah liat yang baru diangkat dari dapur, menguar bersama wangi daging panggang dan sup akar hutan yang kental.
Di meja panjang dari kayu tua, Krov duduk dengan tangan terlipat. Di sebelahnya, Sion duduk tenang, sementara Mimbo—dengan gaya lebih santai—menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya tak lepas dari dapur kecil di sudut ruangan.
Di sana, Sissel masih sibuk. Wajahnya sedikit merah karena uap panas, rambut merahnya dikuncir asal, dan lengan bajunya tergulung sampai siku. Ia sedang menata makanan dan menuang air minum ke cawan-cawan tembikar.
Krov memijit pelipisnya perlahan. Matanya sempat menatap lama ke arah putrinya. Seperti ada desir asing yang menjalari dadanya.
"Kenapa sekarang justru terlihat secantik itu?" batinnya. "Apa aku yang sudah terlalu lama tak melihatnya dewasa, atau waktu memang menyembunyikan perubahan sampai kau dipaksa menyadarinya?"
Putri kecil yang dulu selalu kotor bermain lumpur kini berdiri anggun, dengan tubuh tinggi semampai dan senyum tipis yang anehnya membuat dua pemuda di meja itu lupa bagaimana cara berkedip.
Ia menghela napas panjang, lalu memutar mata pada dua tamu mudanya yang duduk tak lebih seperti anak anjing kelaparan.
“Kalau kalian masih menatap seperti itu, bisa-bisa masakan gosong karena Sissel malu sendiri,” sindirnya pelan, setengah malas, setengah kesal.
Mimbo tertawa kecil tanpa rasa bersalah. “Tidak bisa disalahkan, Krov. Sissel sekarang… luar biasa. Dulu juga sudah cantik, tapi sekarang… seperti bunga liar yang mekar di hutan.” Ia bahkan menambahkan sedikit gerakan tangan, seperti menyambut embun pagi.
Krov menyipitkan mata, tapi hanya mendengus.
Sion diam. Tidak ikut tertawa, tidak membantah, tidak membenarkan. Hanya memandangi Sissel dengan pandangan netral yang berusaha tidak terlalu jujur. Tapi bagi Krov yang sudah hidup puluhan tahun, diam seperti itu justru lebih berbahaya dari seribu pujian.
"Dulu aku khawatir tidak ada elf yang akan menyukai anakku. Sekarang aku khawatir jika banyak yang menginginkannya," pikir Krov, menahan gumaman yang hampir lepas dari bibirnya.
Sissel akhirnya datang ke meja, membawa mangkuk terakhir berisi daging kelinci panggang berbalut daun aromatik. Ia meletakkannya perlahan, lalu duduk di ujung meja.
“Aku minta maaf kalau masakannya tidak seenak yang kalian harapkan,” ucapnya pelan, tanpa sadar menyibak rambut yang jatuh ke wajahnya.
“Kalau ini disebut biasa, aku mau jadi kelinci saja,” celetuk Mimbo dengan senyum lebar.
Krov menjitak kepala Mimbo pelan. “Makan, jangan banyak omong.”
Sion tersenyum kecil, mengambil sendok kayu dan mencicipi kaldu terlebih dahulu. Hangatnya langsung menyebar dari tenggorokan ke dada.
“Ini enak sekali,” katanya singkat. Tulus.
Ucapannya membuat pipi Sissel merona sedikit.
Mereka mulai makan dalam diam. Sendok bersentuhan dengan mangkuk, uap naik ke langit-langit rumah. Dari luar jendela, cahaya matahari menyaring masuk melalui kisi-kisi papan tua.
*****
Makan siang berakhir dengan tawa ringan dan mangkuk-mangkuk yang nyaris kosong. Sore mulai turun, dan matahari menggantung lelah di barat. Setelah mencuci tangan dan membereskan meja, ketiganya melangkah ke pekarangan belakang, tempat latihan dimulai.
Cahaya mentari mulai condong ke barat, menyaring lembut di antara celah pohon dan memantulkan rona keemasan di bebatuan pekarangan belakang rumah Sissel. Suara burung-burung kecil terdengar samar dari arah hutan, mengiringi gesekan kayu yang saling beradu.
Di tengah halaman tanah yang diratakan, dua pemuda berdiri berhadapan. Sion dan Mimbo. Keduanya memegang pedang kayu latihan dengan sikap penuh konsentrasi. Keringat membasahi pelipis mereka, namun langkah dan gerakan tetap stabil, seolah saling membaca dan mengukur.
Sion bergerak duluan, mengayunkan pedangnya ke arah bahu Mimbo, namun Mimbo menangkis dengan gerakan ringan lalu memutar ke samping, menyerang dari sisi yang tidak terduga. Suara “tok!” terdengar saat dua bilah kayu saling bertubrukan.
Di bawah rindang pohon tua, Krov duduk di bangku panjang, menatap mereka dengan penuh perhitungan. Di sampingnya, Sissel membawa secangkir teh panas untuk ayahnya dan duduk dengan tenang di sisi bangku, ikut menyaksikan latihan.
“Gerakan Mimbo makin baik. Tapi anak dari Tallava itu... lihai,” gumam Krov pelan.
Sissel hanya mengangguk. Matanya menatap ke arah Sion yang sedang menahan serangan dan membalas dengan gerakan pendek namun efektif. Di rambutnya, terselip sebuah hiasan berbentuk burung merak emas kecil, berkilau pelan diterpa cahaya sore.
Krov akhirnya menoleh ke samping. Matanya menyapu rambut putrinya, lalu berhenti tepat di hiasan itu.
“Kau pakai apa di rambutmu?” tanyanya, sedikit terkejut. “Itu... cantik.”
Sissel memegang hiasan itu, tersenyum tipis. “Ini… pemberian seseorang. Seorang nona bangsawan.”
Krov mengangkat alis. “Bangsawan?”
“Iya, Ayah. Namanya Nona Zenithia. Ia... sangat baik. Aku tak pernah bertemu elf bangsawan sebaik dia. Dia membelaku ketika semua orang menghinaku,” jelas Sissel, suaranya merendah, namun matanya bersinar. “Kalau pun harus ada yang menjadi ratu… aku rasa, tak ada yang lebih pantas darinya.”
Krov menatap putrinya dengan campuran heran dan kagum. “Kau... bertemu para bangsawan kerajaan? Dan masih hidup?”
Sissel tertawa kecil. “Ayah… aku tidak sampai menyentuh mereka. Aku hanya pelayan di pesta panen. Tapi... tidak semua bangsawan seperti yang kau kira.”
Krov mengangguk pelan, kembali menatap ke lapangan. Matanya bergerak dari Sion ke Mimbo… lalu kembali pada putrinya.
“Aku lupa kapan terakhir kali melihatmu seperti ini,” ucapnya pelan.
“Seperti apa?”
“…Cantik.”
Sissel mengerjapkan mata. Ia tersipu, lalu tertawa kecil, menutupi pipinya dengan telapak tangan. “Ayah bercanda. Aku masih aku yang dulu. Tak ada yang berubah.”
Krov menggeleng, lalu menghela napas panjang. “Kadang yang berubah bukan tubuhmu, tapi cara dunia memandangmu. Atau... cara seseorang melihatmu.”
Sissel menoleh, menatap ayahnya dengan wajah geli. “Ayah sedang bicara seperti seorang penyair. Kau pasti terlalu lama sendirian.”
“Dan kau terlalu lama tak pulang,” sahut Krov, tapi nadanya tidak keras.
Mereka terdiam sejenak. Hanya suara hentakan kaki dan denting kayu dari latihan Sion dan Mimbo yang mengisi udara.
Setelah jeda yang tenang, Krov kembali bertanya. Suaranya rendah, seperti hendak menyelami sesuatu yang lama dipendam.
“Sissel… kau… sudah mulai menyukai seseorang?”
Sissel nyaris menyemburkan teh yang baru diteguk. Ia tertawa kecil, menepuk dadanya.
“Ayah! Aku? Menyukai seseorang?” Ia menggeleng sambil terkekeh. “Diterima dengan baik saja aku sudah bersyukur. Dipanggil nama tanpa ejekan pun sudah cukup. Aku… tak berharap lebih. Siapa yang mau dengan elf merah buruk rupa sepertiku?”
Krov memalingkan wajah. Ia menatap langit yang mulai keemasan.
“Jangan pernah bicara seperti itu lagi,” ujarnya pelan namun tegas. “Kau adalah cahaya dari Meida. Kau cantik seperti ibumu.”
Sissel menunduk. Matanya sedikit berembun, tapi senyum di bibirnya tetap bertahan.
Dan dari kejauhan, Mimbo terjatuh ke tanah karena serangan cepat Sion.
“Uhuk! Itu licik!” serunya.
Sion mengulurkan tangan dengan senyum tipis. “Kau yang tidak menjaga sisi kirimu.”
Sissel tertawa kecil melihat keduanya, lalu berdiri.
“Sudahlah, kalian berdua! Ayo cuci tangan. Aku buatkan minuman.”
Mimbo sempat melirik sebentar ke arah Sissel, lalu buru-buru menunduk, menyeka keringat yang tak ada di dahinya. Wajahnya memerah, jantungnya berdegup setiap ia menatapnya.