"Hans, cukup! kamu udah kelewat batas dan keterlaluan menuduh mas Arka seperti itu! Dia suamiku, dan dia mencintaiku, Hans. Mana mungkin memberikan racun untuk istri tersayangnya?" sanggah Nadine.
"Terserah kamu, Nad. Tapi kamu sekarang sedang berada di rumah sakit! Apapun barang atau kiriman yang akan kamu terima, harus dicek terlebih dahulu." ucap dokter Hans, masih mencegah Nadine agar tidak memakan kue tersebut.
"Tidak perlu, Hans. Justru dengan begini, aku lebih yakin apakah mas Arka benar-benar mencintaiku, atau sudah mengkhianatiku." ucap Nadine pelan sambil memandangi kue itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 - Pulang
Mendengar hal tersebut, hati dan perasaan Nadine kali ini sempat goyah. Ia cukup tergoda untuk menerima lamaran mendadak dokter Hans.
Di sisi lain, melihat diamnya Nadine, dokter Hans merasa ajakannya cuma candaan bagi pujaan hatinya itu.
Ia paham, Nadine pasti 100 persen menolak untuk menikah dengannya. Meski hatinya terasa perih karena mengetahui Nadine tidak bisa ia miliki, dokter Hans tetap tegar.
"Tujuanku menikahimu adalah... hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nad. Itu sudah cukup bagiku," balas Hans dengan tatapan lembut.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu alasan sebenarnya mengapa ia rela melakukan semua ini.
Nadine menyadari, perhatian yang diberikan Hans bukan sekadar tanggung jawab seorang dokter. Ada perasaan yang lebih dalam di balik semua sikapnya itu.
Terdapat niat terselubung dokter Hans, yang selalu standby dan ada untuknya.
"Hans, aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan padaku. Kamu menjagaku dengan sangat baik. Tapi mohon maaf, aku tidak bisa menikah denganmu!" ucapnya dengan tulus, agar tidak menyakiti Hans.
Dokter muda dan tampan itu menundukkan kepala, berusaha menutupi emosinya yang mulai terbaca. "Aku hanya ingin kamu selamat dan bahagia, Nad!" jawabnya lirih.
"Aku paham. Tapi, pasti bukan aku orangnya, Hans. Kamu pantas dan cocok mendapat yang jauh lebih baik lagi." Nadine tersenyum, sedikit sedih, karena menyadari perasaan Hans yang tak bisa ia balas.
"Aku sudah menikah, Hans. Aku masih mencintai suamiku, mas Arka," lanjutnya dengan lembut, berusaha tidak menyakiti perasaan Hans.
Percakapan mereka disudahi dengan kondisi sunyi. Hening sekali. Dokter Hans dengan pelan berjalan keluar ruangan. Nadine menatap teman semasa kecilnya dengan penuh kasihan. Namun, ia juga tidak ingin memberi hati kepada seseorang lantaran rasa iba.
Bu Minah dengan setia menemani dan menjaga Nadine yang akan istirahat, sebelum pulang esok hari.
------
Setelah bersiap dan memastikan tidak ada yang ketinggalan lagi, Nadine serta Bu Minah pamit kepada dokter Hans.
Hans menghela napas panjang, lalu menatap Nadine dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
"Tapi, beneran kamu ingin kembali ke rumah itu? Setelah apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Nadine mengangguk pelan, tetap teguh pada keputusannya.
"Aku harus kembali, Hans. Walau bagaimanapun, itu masih rumah suamiku, aku masih istrinya mas Arka. Rumah itu adalah tempat di mana suamiku berada," jawabnya dengan mantap.
Hans mengepalkan tangannya, merasa geram pada Arka dan keluarganya yang telah menyakiti wanita yang ia cintai. Bahkan sampai separah ini. Dihina, dicaci maki, dan wajah Nadine yang rusak, semua karena perbuatan keluarga Arka.
Hans mengutuk keras keluarga itu. Ia menaruh dendam besar yang akan dibalas suatu saat nanti, atas nama cinta.
"Beneran deh! Aku nggak bisa membiarkanmu kembali ke tempat yang tidak aman itu, Nad!" tegasnya diiringi rasa khawatir berlebih.
"Hans, aku nggak sendirian kok. Bu Minah akan selalu mendampingiku," Nadine berusaha menenangkan hatinya.
Bu Minah yang sejak tadi berada di dekat mereka, mengangguk dengan penuh keyakinan.
"Dokter Hans, saya sudah berjanji akan menjaga Nadine seperti anak saya sendiri," ujarnya dengan mantap.
Hans menatap wanita paruh baya itu, mencoba mencari keyakinan dalam kata-katanya. "Tapi, bagaimana jika sesuatu buruk terjadi lagi pada Nadine? Aku tidak ingin melihatnya menderita lebih dari ini," kata dokter muda itu dengan nada memohon ke arah Bu Minah.
Nadine menggenggam tangan Hans dengan lembut, memberikan senyuman yang menenangkan. Ia terpaksa melakukan ini, agar Hans tidak perlu khawatir lagi pada dirinya.
"Aku berjanji akan lebih berhati-hati. Aku tahu kamu sangat khawatir, Hans... tapi ini yang mesti aku hadapi," katanya dengan keteguhan hati yang kuat.
Hans menundukkan kepala, merasa tak berdaya menghadapi keteguhan hati Nadine yang memang keras kepala itu.
Sebelum benar-benar pergi, Nadine kembali menatap Hans dengan penuh rasa terima kasih.
"Aku tak tahu, bagaimana aku bisa membalas semua kebaikanmu," ucap Nadine tulus.
Hans menatapnya dengan mata yang penuh harapan namun juga kesedihan.
"Nggak perlu, Nad! Cukup pastikan kamu bahagia, itu sudah lebih dari cukup untukku," katanya dengan suara bergetar.
Nadine menelan ludah, merasa hatinya ikut tersayat mendengar ketulusan Hans yang tidak dibuat-buat.
Andai saja ia bisa mengulang waktu dan bertemu lebih dulu dengan sosok dan karakter Hans yang saat ini, mungkin akan beda cerita. Tapi, ia tidak menyesali semua hal yang telah dilewati dalam fase hidupnya.
"Aku akan berusaha, Hans. Terima kasih untuk segalanya," balasnya dengan penuh perasaan. Rasa terhadap sahabat.
Hans hanya mengangguk, tidak ingin mengucapkan kata-kata lagi, ucapan yang akan membuat perpisahan ini semakin berat.
Ia tahu, cintanya kepada Nadine harus tetap disimpan seorang diri, dalam ruangan terkecil di hatinya yang sangat spesial.
Setelah memastika kembali semua urusan administrasi selesai, Nadine akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit, sekaligus berpisah dari Hans.
------
Bu Minah menggandengnya, memastikan Nadine agar tidak kesulitan berjalan. Bu Minah masih khawatir dengan kondisi fisik Nadine yang belum stabil dan harus terus dipantau.
Hans masih berdiri di pintu keluar, menyaksikan wanita yang dicintainya pergi dengan perasaan yang campur aduk.
"Jaga dirimu baik-baik ya, Nad! Kalau perlu bantuan atau apapun, kamu tahu harus pergi ke mana. Datanglah ke sini dan menemuiku lagi. Nggak usah sungkan," ucapnya lirih.
Nadine menoleh dan memberikan senyum terakhir sebelum melangkah menuju mobil yang dipesan oleh dokter Hans.
Hans menggertakkan rahangnya, berusaha menahan gejolak perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Ia ingin menangis, tapi harus menjaga kharismanya di depan pegawai lain.
"Semoga kamu benar-benar menemukan kebahagiaan di sana, Nad!" bisiknya, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke dalam rumah sakit.
Di perjalanan menuju rumah, Nadine merasakan kegelisahan yang tak bisa ia hindari.
Ia tahu, jika kembali ke rumah Arka, berarti siaplah menghadapi ketidakpastian. Belum lagi mendapat banyak perilaku jahat dari Miranda.
Namun, hatinya tetap yakin, bahwa ia harus kembali. "Bu Minah, menurutmu, apakah Mas Arka akan menerimaku kembali?" tanyanya dengan suara lirih.
Bu Minah menatapnya dengan penuh kasih sayang, layaknya ibu kepada seorang anak.
"Tuan Arka pasti sangat mencintai nyonya, kok. Aku yakin dia akan menyesali semua yang telah terjadi," jawabnya.
Nadine hanya bisa berharap kata-kata Bu Minah, masih benar. Ia ingin kembali ke pelukan suaminya, meskipun luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh.
Saat tiba di rumah, Nadine merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Pintu rumah terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Arka yang sedang duduk di kursi pasien, dengan ekspresi dan tatapan kosong.
Pakaian Arka pun layaknya pasien rumah sakit. Setelah memperhatikan bagian wajah suaminya, Nadine shock bukan main.
Ia menatap Arka dengan balutan kain kasa dikepalanya. Beberapa bagian masih bernoda merah pekat.
Di sana, tidak hanya Miranda, Vania, dan Hartono di sisi Arka. Tapi ada seorang wanita muda cantik yang senantiasa menggandeng tangan suaminya itu.
Siapakah wanita tersebut?
Bersambung.....